Jumat, 01 Agustus 2008

RAPAT

BEBERAPA hari lalu, saya mendapat pengalaman menggelikan dari sebuah rapat. Rapat yang saya maksud adalah musyawarah, bukan makna kata, yang berarti krap. Sengaja saya perjelas, karena di sekeliling gampong saya ada fenomena asing yang terlihat selama ini. Ketika ada pasangan anak muda lewat di jalan raya, pasti ada celutuk: meu sipade hana cre!
Ada pemandangan lazim di jalan, di mana anak-anak muda yang berpasang-pasang naik kendaraan, itu akan memeluk erat pasangannya. Itu bukan hanya pasangan yang sudah menikah, yang belum menikah pun sangat banyak. Makanya orang-orang yang lihat, mengatakan, tak ada ruang sebiji padi pun antara tempat duduk lelaki dan perempuan.
Nah, ini bukan cerita tentang krap atau rapat, yang bisa jadi bermakna dekat. Tulisan ini ingin melihat sebuah musyawarah, sebuah rapat yang berlangsung di sebuah tempat. Waktu menandatangani absen, saya sempat melihat siapa saja yang mengikutinya. Ternyata, kebanyakan adalah orang-orang yang bergelar.
Dalam musyawarah itu, yang terjadi adalah saling berbicara. Jadi siapa saja tak ada yang larang untuk mengatakan sesuatu, terutama kepada orang-orang yang di sampingnya.
Tujuan musyawarah itu untuk membahas berbagai persoalan di antara mereka. Sebagai pembahasan, tentu ada yang memberi pendapat, ada yang mengoreksi, dan ada yang menerima saja tanpa memberi komentar apa-apa. Namun sebuah musyawarah, di mana pun, selalu menuntut untuk tidak ada rapat dalam rapat.
Yang terjadi di sana, walau diikuti oleh orang-orang bergelar, ternyata banyak rapat dalam rapat. Sehingga yang terjadi bukan pembahasan, tapi adanya banyak pembicaraan.
Bukankah ini menjadi lucu?
Rapat di bale bineh blang saja untuk membahas rencana khanduri blang, tidak pernah berlangsung seperti itu. Padahal peserta rapat adalah orang-orang gampong. Seharusnya, dalam rapat yang dihadiri oleh orang-orang bergelar, bisa berlangsung lebih cemerlang lagi.
Rupanya rapat yang bagus tak selalu dijamin oleh pesertanya yang bergelar. Dawa bisa terjadi di komunitas apa saja. Dalam dawa, menjadi tidak jelas siapa yang dipimpin dan siapa yang memimpin. Dalam suasana seperti itu, sangat rentan untuk terjadi saling sak-meusak tubee.
Sesekali, bagi Anda yang belum pernah melihat gilingan air tebu, lihatlah bagaimana tebu yang satu selalu berhimpit dengan tebu yang lain. Jangan pernah bermimpi akan mendapat satu jenis air tebu bila konsepnya seperti itu. Orang gampong pun akan arif, untuk memberi kesempatan untuk orang lain bila ingin menikmati air tebu kepunyaan diri.
Dalam rapat juga begitu. Ada pemberian ruang berupa kesempatan untuk orang lain, akan melahirkan kesempatan untuk diri sendiri.
Pimpinan rapat harus mengerti hal itu, kalau tidak, janganlah memimpin rapat. Dalam rapat yang saya ikuti, pimpinan rapat justru tidak mengerti suasana. Maka ada banyak rapat dalam rapat.
Suasana juga lambat laun menjadi berbeda. Kursi yang tersedia di dalam ruangan awalnya terisi penuh. Namun tak berapa lama, hilang satu persatu. Kursi jadi kosong. Hanya tinggal beberapa orang saja.
Bayangkan bila rapat orang-orang yang bergelar saja seperti itu![]

(Sulaiman Tripa)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda