Senin, 04 Agustus 2008

BULE

SALAH satu penanda seseorang itu bule atau bukan, adalah di rambutnya yang pirang. Sebutan bule, kalau di gampong saya, hanya khusus untuk orang-orang luar negeri yang berkulit putih. Selain yang berkulit putih, walau itu orang luar negeri, kalau di gampong saya, tidak akan disebut bule.
Konon lagi kalau warna kulitnya hitam. Itu malah disebut negro. Yang jelas, ada perbedaan ketika menyebut bule dengan negro. Ada kebanggaan ketika menyebut bule yang tidak sama bangganya ketika menyebut dengan negro.
Maka di sini, orang-orang yang disebut bule akan senang hati menerimanya, tapi giliran menyebut negro, dianggap sedang mencaci maki.
Membedakan bule dan negro, adalah perilaku yang diskriminatif. Tapi, terus terang, saya tak begitu paham dengan makna kedua kata itu: bule dan negro. Saya hanya menangkap perbedaan reaksi dar orang dalam masyarakat gampong ketika menggunakan dua kata itu.
Okelah, kita anggak saja bahwa bule itu berambut pirang. Maka kita tutup buku terhadap negro. Kita akan bicarakan tentang rambut pirang saja.
Adalah suatu keanehan bila orang-orang yang tidak berambut pirang, lalu akan mewarnai rambutnya. Orang-orang seperti itu adalah orang yang miring. Warna rambut adalah ciptaan Tuhan, yang sama seperti warna kulit, atau warna bibir.
Sebagai ciptaan Tuhan, maka tidak seharusnya diutak-atik. Orang yang berusaha mengutak-atik, merupakan corak orang yang tidak mau menerima kenyataan. Kalau di gampong, orang seperti ini dikatakan sebagai; som gasien pulumah kaya.
Orang-orang yang sudah sekalipun, lalu menyembunyikan rambutnya yang sudah beruban, juga sebagai orang yang miring. Uban adalah penanda sebuah fase dari umur manusia, maka dapat dibayangkan ketika orang melawan penanda-penanda itu.
Kembali ke soal rambut pirang. Akhir-akhir ini, walau pun akan dianggap sebagai orang-orang yang miring, tapi nyatanya orang-orang yang mencat rambutnya agar terlihat pirang, itu jumlahnya bertambah banyak. Baik laki-laki, maupun perempuan. Biasanya, kalau perempuan, yang memakai penutup kepala, akan memperlihatkan sedikit bagian rambutnya, agar terlihat warna yang pirang itu.
Itulah orang-orang yang berkeinginan menjadi bule. Selebihnya, seputar kebanggaan tadi. Bahwa setelah tsunami terjadi di Aceh, banyak orang yang datang ke tanah ini. Banyak orang yang datang; ada yang berambut pirang, berkulit putih, ada juga berkulit hitam.
Mereka datang dengan berbagai maksud, berbagai tujuan. Datang karena menjadi pekerja atau konsultan di berbagai nongovernment organization (NGO) atau lembaga, baik negeri atau swasta.
Ada pula yang datang secara khusus untuk mewakili negaranya sebagai tenaga yang akan membantu pembangunan Aceh. Ada juga yang melancong untuk melihat ekses tsunami yang terbesar sepanjang sejarah.
Yang menjadi perhatian, adalah mereka yang datang sebagai pekerja. Mereka selalu ke lapangan, mewawancarai orang-orang, kadang-kadang disertai membawa sesuatu, buah tangan.
Mereka selalu datang dengan ditemani para pekerja lokal. Kalau ada kunjungan NGO, sebagian orang gampong sangat menginginkan bule yang datang. Mereka akan sangat merasa bergairah, walau timbul persoalaan di komunikasi.
Akhir-akhir ini, orang gampong sudah berubah. Sebagian orang lokal yang kerja dengan orang bule, juga akan disebut bule. Tapi diberi catatan kaki. Kalau bule lokal, sama sekali tak berambut pirang.
Entah karena ada beberapa persoalan yang tak tuntas di kalangan mereka, orang gampong mulai memprotes. Tapi sebagian protes itu, oleh bule lokal, kerap diputarbalikkan sebagai sanjungan.
Mudah-mudahan in tidak terjadi di sekitar kita.[]

(Sulaiman Tripa)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda