Kamis, 07 Agustus 2008

PENGEMIS

DALAM kamus klasik, orang memahami pengemis sebagai peminta-minta. Dalam kamus kasat mata, yang dipandang pengemis adalah yang ada di Simpang Lima, Simpang Jam, Simpang Jambo Tape, simpang-simpang yang lain, serta terminal.
Dalam kamus sehari-hari, orang memahami pengemis seperti terumus dalam kamus klasik. Secara umum, orang melihat pengemis menurut yang tertangkap dalam kamus kasat mata.
Barangkali, dalam dua kamus itu, ada kemungkinan mendapat dua bentuk pengemis: sebagai “korban” atau sebagai yang “dikorbankan”. Pengemis yang “korban” adalah pengemis yang memang berasal dari golongan papa dan mereka sama sekali tak punya akses kemana-mana. Akan tetapi yang namanya pengemis yang “dikorbankan”, mereka juga berasal dari golongan papa, namun ada yang mengatur –pagi ada yang jemput untuk diletakkan di tempat tertentu dan sorenya ketika dianggap sudah melaksanakan tugasnya akan dijemput untuk dibawa pulang kembali ke tempat yang sepertinya disediakan.
Pengemis yang “korban” merupakan orang-orang yang tidak beruntung –menurut kamus masa kini. Sementara pengemis yang “dikorbankan” merupakan orang-orang yang jauh lebih tidak beruntung.
Dalam kamus agama, jelas dan tegas, bukan sesuatu yang dilarang bila memang sebagai orang papa. Jangan lupa, di sebalik itu, agama memberi catatan bahwa “tangan di atas jauh lebih baik dari tangan di bawah”. Orang papa harus tahu diri tentang hal itu. Namun orang yang berlebihan juga harus tahu diri, karena agama memberi catatan, bahwa “dalam sebagian harta kita, sesungguhnya ada bagian untuk orang-orang yang papa.”
Yang terlihat adalah keseimbangan, keserasian, kealamiahan, kerasionalan, masuk akal. Bahwa dalam dunia ada orang yang kurang dan ada orang yang lebih, adalah sesuatu yang masuk akal. Orang yang kurang membutuhkan orang yang lebih. Begitu pula sebaliknya.
Orang-orang yang tidak rasional adalah orang-orang yang tidak mengerti kenyataan ini. Dalam kamus kesombongan, orang-orang yang congkak karena kelebihan dan merasa tidak butuh golongan yang berkekurangan, bisa dianggap sebagai orang yang kurang waras.
Bayangkan ketika dunia ini hanya tersedia orang-orang yang kaya, maka sungguh semua orang kaya harus melakukan sendiri semua tugasnya. Dan ini, akan menimbulkan kekacauan yang luar biasa karena ternyata kebiasaan orang-orang yang kaya, adalah orang-orang yang kurang terbiasa melaksanakan sendiri segala tugasnya.
Sungguh, seperti menghadapi kematian kalau saja dalam dunia ini hanya ada masyarakat miskin semata. Maka kamus agama telah menyelaraskan berbagai kenyataan ini: “Tangan di atas lebih bagus dari tangan di bawah.”
Orang-orang yang papa menyorongkan tangannya kepada orang-orang dan instansi –yang menyediakan anggaran untuk mereka. Mereka memang berada pada posisi lemah karena telah memberanikan diri untuk mengekspresikan bahwa tangan mereka memang harus berada di bawah.
Ironisnya, sekarang ini, orang-orang yang berani memposisikan tangan di bawah tidak hanya dari golongan papa. Orang-orang terhormat, orang-orang atas, orang-orang yang berkelebihan, juga sering menempatkan tangannya di bawah untuk meminta-minta kepada manusia dan instansi –yang menyediakan anggaran untuk orang-orang papa.
Dengan menggunakan kamus moderen, maka tangan di bawah seperti ini tidak lagi dengan menggunakan tangan, tapi menggunakan surat, dan sebagainya. Peminta jenis ini, akan menghiasi suratnya, keterangannya, konsepnya, sedemikian rupa. Mereka akan melengkapinya dengan berbagai angka-angka yang bisa membuat segala permintaan menjadi rasional.
Dalam kamus klasik, konsep pengemis membuat manusia yang terakhir disebut menjadi tidak masuk di dalamnya. Namun dalam kamus moderen, bukankah menjadi sama saja?
Namanya, ya pengemis! Bukankah begitu?[]

(Sulaiman Tripa)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda