Jumat, 08 Agustus 2008

PATUNG

PATUNG, tiga puluh tahun yang lalu, masih menjadi barang yang dibenci di Aceh. Masyarakat Aceh, di masa lalu, sangat membenci patung. Patung, akan dianggap sebagai usaha untuk menandingi kekuasaan Tuhan dalam menciptakan makhluk-Nya.
Segala sesuatu yang dibuat menyerupai makhluk Tuhan, akan dianggap sebagai patung. Maka dalam kehidupan orang Aceh, dulu, tak ditemui ada patung-patung. Orang-orang tua akan marah bila anaknya diminta belikan patung. Orang-orang gampong yang kebetulan pergi ke kota lalu membawa pulang patung untuk anaknya, akan dicibir sesampai di gampong.
Di beberapa gampong, fenomena seperti itu masih menjadi kenyataan. Namun di banyak kawasan di Aceh, hal seperti itu bukan lagi sebagai sesuatu yang patut digelisahkan.
Perubahan pola pikir, persepsi, pandangan, asosiasi, atau bahkan sampai kepada interpretasi, sudah terjadi dalam masyarakat Aceh: tak hanya di kota-kota, tai juga sampai di pelosok gampong-gampong.
Maka patung, sudah ditemui dalam kehidupan orang Aceh. Patung mudah didapat sebagai alat permainan anak-anak. Orang-orang gampong yang pergi ke kota sesekali, tidak lagi sungkan untuk membawa pulang oleh-oleh kepada anaknya dengan patung.
Aset penjualan patung pun semakin menjanjikan. Berbagai perusahaan berlomba-lomba untuk mendesain patung masa depan. Dulu patung dibuat dari plastik atau karet. Kini banyak patung yang dari logam atau bahan-bahan lainnya. Kalau dulu patung tak dipasang pakaian, kini banyak patung yang diselingi dengan kreasi pakaiannya sedemikian rupa.
Untuk mendapatkan patung, kalau dulu hanya ada di took-toko tertentu, tapi kini, segala jenis patung akan mudah didapat di mana saja –termasuk pada penjual-penjual yang di kaki lima.
Bentuknya juga sudah berubah. Dari berbentuk celengan dan mainan, kini hampir semua alat sudah dijadikan patung: mainan, aksesoris, bantal, teman tidur, pajangan, jam, pokoknya segala sesuatu sudah tersedia dalam bentuk patung –bahkan pemuas nafsu biologis sekalipun, sudah disediakan lewat bentuk-bantuk patung.
Tak ada wajah patung yang cantik pada masa lalu. Tapi kini, semua dibuat patung. Setelah Mike Tyson mengigit kuping Holyfild, maka perusahaan coklat di Amerika membuat makanan (coklat) dalam bentuk patung. Ketika Britney Spears tenar, maka patung-patung berwajah Britney bermunculan di mana-mana. Bahkan setelah Zinedine Zidane menanduk Materrazzi di Final Piala Dunia 2006 yang lalu di Jerman pun, oleh perusahaan pakaian sudah dibuat dalam bentuk patung. Lengkaplah sudah.
Kehadiran patung-patung seperti itu, tentu saja, sedikit banyak akan merubah pandangan terhadap patung. Apalagi di hampir semua toko di Aceh, mudah ditemukan bentuk patung yang sedemikian rupa. Di Aceh sudah ditemukan patung-patung sebagai mainan anak-anak yang bisa berbicara, berpakaian Islami, bahkan patung-patung berkelamin perempuan sudah dipasang jilbab sedemikian rupa.
Kalau dalam bentuk lain, sudah sering ditemui. Katakanlah seperti pelampung, makanan anak-anak, dan sebagainya.
Dalam dunia yang lebih luas, fenomena patung menjadi persaingan tersendiri dalam konteks ilmu pengetahuan. Patung yang ada mesinnya, dinamakan dengan robot, mungkin untuk beberapa waktu mendatang akan mengambil seluruh peran yang bisa dilakukan manusia. Maka patung-patung hiasan, untuk waktu-waktu yang akan datang, mungkin akan digantikan oleh patung-patung yang bisa menggantikan berbagai tugas manusia tersebut.
Masa kini, yang tidak bisa dilakukan manusia adalah menciptakan nyawa. Dalam konteks tertentu sekalipun, misalnya penemuan kloning, semua kaum yang cerdas –baik berfaham liberal atau bukan—sepakat untuk tidak menggunakannya terhadap manusia.
Lewat proses kloning, manusia sudah menciptakan pembelahan sel, bukan menghidupkan sel. Ini perkembangan mutakhir yang terjadi dalam dua puluh tahun terakhir.
Segala perkembangan di dunia, pada akhirnya akan mengubah pandangan orang terhadap patung –terlepas sebesar apa tingkat perubahan tersebut.
Dalam konteks Aceh, perubahan pandangan itu juga terjadi dalam masyarakat. Inilah menjadi salah satu perubahan. Ya, dalam masyarakat Aceh![]

(Sulaiman Tripa)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda