Lubang
Tiba-tiba, saya teringat lubang. hampir di persimpangan jalan di Banda Aceh, saya lihat sudah ada lubang yang dibuat oleh pihak-pihak yang mengurusi telepon, air bersih dan listrik. Padahal jalan itu, baru saja diperbaiki. Jalan itu sebenarnya sudah lumayan bagus. Suasana ini, sesungguhnya lebih tepat disebut dilubangi, ketimbang hanya disebut sebagai lubang semata. Lubang adalah penanda, sedangkan dilubangi adalah pekerjaan yang membuat penanda.
Kehidupan di Kota Banda Aceh, kita sering dihadapkan dengan lubang karena dilubangi. Kalau kasusnya lubang besar dijalan-jalan, biasanya pelakunya perusahaan telepon, perusahaan listrik, dan perusahaan air bersih. Mereka seperti berlomba-lomba untuk membuat lubang. Sangat sering kita menyaksikan keadaan jalan yang sudah baik, tiba-tiba sudah berlubang kembali. Ironisnya, setelah pekerjaan itu selesai, kerap dibiarkan dengan menutup lubang itu seadanya. Bayangkan betapa besar potensi kecelakaan di jalan raya, hanya gara-gara lubang. Dan, kita seolah tak bisa menuntut siapa pun untuk bertanggung jawab, termasuk pihak-pihak yang membuat lubang yang seharusnya bertanggung jawab.
Kondisi ini memperlihatkan betapa pelayanan publik di jalan raya yang kita dapatkan ternyata sangat tidak seimbang dengan pajak yang kita bayar, katakanlah pajak kendaraan yang setiap tahun kita bayar. Jadi dengan satu lubang saja, sudah berimplikasi kepada penghargaan terhadap pelayanan. Itu menjadi satu konsekuensi dari keberadaan lubang yang seharusnya telah dipikirkan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Dengan satu lubang, bisa membuka banyak lubang-lubang selanjutnya dalam konteks yang lain. Tentu, sebuah lubang, tanpa pekerjaan berupa dilubangi, adalah omong kosong. Nah, dengan lubang di jalan ada potensi untuk dibuatkan lubang-lubang baru lainya. Ini memang akan mengikuti konteks.
Dalam hal koordinasi, Pemerintah Kota Banda Aceh, khususnya pihak-pihak yang menangani telepon, listrik atau air bersih, patut bertanggung jawab. Seharusnya, agar tidak terjadi ketimpangan melubungi, mereka harus didudukkan bersama agar tidak terjadi lagi pelubangan serentak, namun semua itu tidak terjadi atau memang sengaja tidak dipertemukan agar kondisi miskoordinasi itu terus berjalan. Adakah 'permainan' disana? Kalau ada, maka implikasinya ada dua. Pertama, akan ada pahe, paket hemat. Semua anggaran bisa disatukan untuk direncanakan dalam satu sesi melubangi (satu lubang bersama-sama). Tapi ini menimbulkan konsekuensi, tidak akan banyak anggaran yang bisa digunakan. Orang yang terlibat tidak akan banyak, otomatis orang-orang yang akan mendapatkan honor juga sedikit. Bayangkan bila dilakukan masing-masing, berapa orang yang akan mendapat honor di masing-masing lembaga itu. Fenomena ini seharusnya sudah saatnya diubah agar tercapainya paket hemat. Dengan pahe, penggunaan anggaran bisa lebih efisien, juga kontrol atas penggunaan anggaran bisa dilakukan dengan rapi. Di samping itu, dengan satu lubang, akan mudah menutupnya dan tidak akan berulang-ulang. Jadi, hana jipeujeut-peujeut, dibuat-buat, kata orang Aceh.
Kedua, pengguna jalan raya tidak akan muak dengan pelubangan yang dilakukan itu. Pelubangan hanya dilakukan sekali dan dilakukan bersama-sama, pada sekali waktu, dan akan ditutup bersama-sama pula. Ini tidak akan memperlihatkan ada perulangan. Hari ini dibuka lubang untuk telepon, lalu setelah beberapa hari ditutup-–walau dengan kurang rapi--lalu besoknya, giliran pemasangan, entah pipa air bersih, lalu dibiarkan untuk beberapa hari, dan ditutup-–biasanya juga kurang rapi. Tidak lama berselang, muncul lagi yang mengurusi listrik, membongkar lubang kembali untuk dimasukkan kabel listrik, setelah itu proses penutupan terhadap lubang-lubang juga sering tidak rapi.
Dengan kondisi gali lobang tutup lobang itu, konsekuensi lubang akan sangat merugikan khalayak ramai (khususnya pengguna jalan). Orang-orang yang terperosok ke dalam lubang akan semakin bertambah banyak. Apalagi di lubang-lubang yang dilubangi itu, seringkali tak dibuat semacam tanda berbahaya, semacam bendera merah atau bendera warna apapun yang menandakan di sana ada bahaya.
Tahukah Anda, apa yang sering dikatakan orang yang kebetulan terperosok ke lubang? Sudah pasti makian meluncur dari mulut pengguna jalan dan itu sungguh menggelisahkan karena akan menambah catatan dosa terutama orang yang memaki, karena orang yang dimaki ironisnya sama sekali tidak mendengar. Bila musim hujan, lubang-lubang itu akan menjadi masalah baru bagi pengguna jalan. Mereka tidak akan bisa mengingat di mana letak lubang-lubang.
Saya cerita tentang lubang jalan. Bukan lubang yang lain. Walau saya akui, dengan lubang jalan, belum tentu tidak membuat lubang-lubang yang lain. Namanya dilubangi.[Sulaiman Tripa]
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda