Kamis, 23 April 2009

manajemen komunitas

MANAJEMEN PERIKANAN BERBASIS KOMUNITAS
(Sulaiman Tripa)

Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, sudah lama dikenal salah satu pendekatan yang dinamakan dengan community based management (CBM) atau pengelolaan berbasis masyarakat. Namun demikian, pendekatan ini baru dalam satu dekade terakhir mendapat posisi yang kuat.
Sudah lama sekali pendekatan ini tidak dipakai dalam mengelola sumberdaya. Penyebabnya bisa ditebak, bahwa keinginan memanfaatkan sumberdaya untuk mengejar kekayaan dalam bentuknya yang materil, kerap berbenturan dengan manajemen masyarakat yang berbasis pada kelestarian. Pola yang kedua hanya dijalankan untuk memenuhi kebutuhan hidup semata.
Dalam konsep aslinya, pendekatan berbasis masyarakat ini adalah apa yang menjadi kenyataan berupa kearifan lokal, kebiasaan dan adat. Dalam masyarakat Aceh misalnya, dikenal dengan adat laot, adat blang, hingga adat gle. Pengaturan adat tersebut mengatur salah satunya manajemen dalam pemanfaatan sumberdaya.
Intinya, pendekatan ini berada dalam lingkup pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan pengetahuan, kearifan, dan kesadaran masyarakat lokal sebagai konsep dasar pengelolaannya. Konsep ini, tidak mungkin dipisahkan dari pengaruh unsur religiusitas di dalamnya. Malah salah satu kekhasan yang dimiliki masyarakat dengan pengetahuan lokalnya adalah adanya unsur agama di dalamnya. Seseorang yang melakukan sesuatu turut didasari oleh pertimbangan selaras atau tidaknya dengan nilai-nilai agama.
Hal yang sama terlihat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Berbagai kearifan dan aturan adat yang mengatur bagaimana perikanan dikelola, pada akhirnya dikaitkan dengan nilai-nilai Islam. Artinya dalam lingkup perikanan pun, tidak bisa dipisahkan dari pengaruh kepercayaan yang dimilikinya. Bisa dikatakan di sinilah kelebihan dalam menggunakan kenyataan ini sebagai salah satu pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di masa mendatang. Apalagi dalam pendekatan pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayahnya.
Bila kita menelusuri lebih jauh, sebenarnya akar filosofis dari menyelamatkan sosial dari persoalan lingkungan hidup adalah sebagaimana dalam Penjelasan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyebutkan bahwa ”Kegiatan pembangunan yang makin meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.”
Sangat penting diberi penekanan pada frase; ”perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya,” karena hal ini berkaitan dengan konsep yang sangat maju. Menurut saya, keberpihakan terhadap manajemen berbasis masyarakat, pada akhirnya juga sebuah jalan untuk melindungi jalan kesejahteraan yang paling hakiki untuk masyarakat yang bersangkutan. Saya kita konsep kesejahteraan sangat terkait dengan maksud ”beban sosial” ini. Kesejahteraan yang ”materil” kerap melupakan ”beban sosial” dimaksud.
Dalam konteks kearifan lokal, ”beban sosial” ini seperti sudah diperhitungkan –walau bukan lewat kalkulasi intelektual. Kita akan menemukan betapa kearifan lokal memiliki banyak kemajuan dalam mengatur ”eksploitasi” terhadap alam.
Di samping itu, setelah perbincangan pendekatan di atas dilakukan (bentuk kearifan dan kesadaran masyarakat lokal), bentuk lain lagi lahir, yakni pengelolaan bersama perikanan berbasis komunitas. Kedua pendekatan tersebut menempatkan masyarakat sendiri sebagai pendefinisi kebutuhan, tujuan, dan keputusan. Di samping itu, kedua pendekatan ini juga melibatkan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah, yang sama-sama berperan dalam pengelolaan perikanan.
Selebihnya, kita mengenai pula manajemen bersama pengelolaan perikanan, di mana semua stakeholders atau pemangku kepentingan saling membagi peran dan tanggung jawab dalam mengelola sumberdaya perikanan.
Sebenarnya, inti dari ketiga pendekatan pengelolaan perikanan tersebut, adalah bagaimana generasi mendatang dari umat manusia masih bisa mendapatkan sumberdaya perikanan untuk kebutuhan hidupnya.
Menurut Tulungen dkk (2000), pengelolaan berbasis masyarakat sudah merupakan suatu pendekatan yang banyak dipakai di berbagai negara di dunia ini, khususnya di negara-negara berkembang. Pendekatan ini secara luas digunakan di wilayah Asia Pasifik seperti di negara-negara Filipina dan Pasifik Selatan. Malah menurut mereka, di negara-negara di mana sistem pemerintahannya semakin mengarah pada desentralisasi dan otonomi lokal, pendekatan berbasis masyarakat ini dapat merupakan pendekatan yang lebih tepat guna, lebih mudah dan dalam jangka panjang dapat terbukti lebih efektif dalam hal biaya.
Pasca lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006, Pemerintahan Aceh telah medapat kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik, kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisia, moneter dan fiscal, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Di samping itu, delegasi ini juga dengan jelas diatur UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang antara lain, “Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut”. Kewenangan ini diatur dalam jarak 12 mil untuk provinsi, dan sepertiganya untuk kabupaten dan kota.
Seterusnya diatur bahwa kewenangan tersebut meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan kekayaan laut, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah, ikut serta dalam pemeliharaan keamanan, dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Kewenangan yang besar masa otonomi ini, merupakan momentum pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat dilaksanakan. Pendekatan ini menjanjikan untuk masa depan, khususnya dalam konteks upaya peningkatan partisipasi masyarakat. Namun yang harus menjadi perhatian, sejauhmana kebijakan Pemerintah Daerah akan berpihak dalam pendekatan ini.
Apalagi khusus untuk Aceh, Pasal 162 ayat (2) huruf (e) memberi wewenang yang cukup jelas. Bila dilaksanakan sebagaimana mestinya, keberadaan hukom adat laot menjadi manajemen paling strategis dalam pengelolaan berbasis masyarakat di masa mendatang.
Dengan pendekatan ini, kita akan mendapatkan beberapa keuntungan penting di mana keberpihakan itu menjadi semakin jelas. Pertama, masyarakat yang ada di wilayah pesisir ikut mengontrol sumberdaya perikanan dan lautan yang tersedia di sekitar mereka. Dengan demikian, kemunduran atau kemajuan –akan banyak ditentukan oleh masyarakat sendiri. Kedua, dalam hal peningkatan kualitas kehidupan mereka, sebagai konsekuensi dari pengontrolan, juga akan bisa seimbang dalam hal mengeksploitasi. Ketiga, tak bisa dilupakan bahwa pendekatan ini berbiaya murah, karena menyangkut dua hubungan penting dalam kehidupan manusia: hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan Pencipta –hubungan ini yang tidak dimiliki oleh banyak pendekatan lain.
Namun demikian pendekatan ini bukan tanpa kelemahan. Di tengah gencarnya kampanye kehidupan modern yang individualistik, konsep yang berbasis kebersamaan dipandang sebagai konsep yang ketinggalan zaman. Di samping itu, konsep seperti ini pasti akan dibenci oleh orang atau kelompok yang hanya mengejar keuntungan uang semata.
Satu hal yang patut diingat, bahwa dunia yang berbasis tuntutan material, memiliki peluang lebih besar untuk mengalahkan dunia yang ingin hidup selaras atau seimbang dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada.[]

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda