Senin, 24 November 2008

PEMASANG

PADA suatu waktu, saya tiba-tiba tersentak dengan sebuah pertanyaan orang gampong yang sedang menghabiskan senja di sebuah bale. Kata mereka, koran-koran di gampong kita sekarang ini, sudah cukup sering menyiarkan iklan-iklan berbahasa yang tidak dipahami oleh orang-orang gampong.
Dalam satu hari, lebih sebagian iklan dipahami mereka. Padahal, mereka selalu berpikir bahwa jangan-jangan, iklan tersebut untuk memberitahukan masalah-masalah mereka.
Pernah suatu kali, rombongan tuha peut mengunjungi koran gampong. Waktu itu, mereka menanyakan kepada pimpinan koran seputar masalah iklan yang tidak dipahami. Orang-orang dari gampong itu tidak paham bahwa semua iklan adalah order. Seseorang yang memasang iklan, yang penting membayar kepada koran dan isinya tergantung dari yang memasang. Yang penting tidak menyinggung SARA.
Sampai pada kata-kata SARA, orang-orang gampong kembali tersentak. Apa itu SARA, tanya mereka. Lalu pimpinan koran menjelaskan, masalah-masalah yang mendiskriminasikan orang lain, dengan menyakitkan agama, ras, bangsa, dan sebagainya, termasuk dalam persoalan SARA.
Mereka bingung. Lalu, bagaimana kami tahu kalau di dalamnya ada SARA, sementara bahasa yang dipakai sama sekali bukan bahasa kami, tanya orang-orang gampong lagi.
Sesampai di sini, masalah dianggap semakin menggurita. Karena orang-orang gampong sebenarnya juga bisa memasang iklan dengan bahasa sendiri. Tapi, sebuah iklan, tentu butuh biaya.
Masalahnya, darimana biaya-biaya berbahasa asing itu? Mereka kembali bertanya, apa kami bisa mendapatkan dana itu biar bisa memasang iklan berbahasa sendiri?
Terang saja, pimpinan koran tak tahu tentang itu. Yang ia paham, bahwa setiap orang yang memasang iklan, harus membayar menurut kolom yang ditawarkan. Selebihnya, urusan lembaga yang memasang.
Tidak demikian bagi orang-orang di gampong semisal yang membacanya dari bale atau kedai kopi di gampong. Entah disadari atau tidak oleh para pemasang, bahwa orang-orang yang di gampong sebenarnya ingin sekali mengetahui semua isi surat kabar, yang terpasang di kolom iklan sekali pun.
Rombongan para tuha peut yang mengunjungi koran pada suatu waktu itu, sebenarnya ingin memberitahukan perihal itu pada pimpinannya. Tapi ternyata masalah memang tidak sederhana. Akibat ketidaksederhanaan inilah, maka wajar orang gampong tidak mengerti.
Problematika menjadi bertambah. Orang-orang tidak tahu bunyi iklan, juga orang-orang tidak tahu bagaimana sebuah proses iklan. Namun mereka melihat tiap hari, walau tak membacanya karena tak tahu bahasanya.
Ini menjadi sebuah kisah pembaca di gampong-gampong. Banyaknya pertanyaan-pertanyaan di benak-benak orang gampong, memperlihatkan bagaimana sesungguhnya mereka ingin tahu yang diberitakan sebuah koran, karena mereka berpikir bisa saja iklan-iklan itu untuk membicarakan mereka.
Intinya, mereka juga ingin memperbaiki nasib. Dengan mengetahui sebuah pemberitaan, sebenarnya juga menjadi media pembelajaran secara tidak langsung. Mereka ingin belajar secara terus-menerus. Walau lewat sebuah iklan. [sulaiman tripa]

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda