Selasa, 18 November 2008

Klakson

DI jalan-jalan umum di Banda Aceh, kekacauan sudah terlihat. Pengemudi, sebagiannya sudah “miring”. Ugal-ugalan sering terlihat di jalan raya, sehingga ada ungkapan: jalan raya menjadi salah satu sebab “tercabutnya” nyawa manusia. Banyak orang yang sudah terakhiri hidupnya di sana.
Orang-orang mulai tidak sabar dalam menggunakan jalan raya, sehingga yang timbul adalah orang-orang akan langsung menerobos bila sedikit macet. Tidak sabar lagi menunggu dan bergerak seperti air yang mengikuti alur. Entah bagaimana kalau seandainya tingkat kemacetan Banda Aceh sudah sebanding dengan kemacetan di Jakarta. Mungkin akan banyak orang yang akan berantam, rebut, saling bersangar wajah karena ingin menggunakan jalan lebih dulu.
Ketidaksabaran ini, di Kota Banda Aceh, masih ditambah lagi dengan lokasi parkir di sembarang tempat. Jalan-jalan utama, tiba-tiba sudah menjadi lahan parkir yang bisa menghabiskan sampai dua pertiga bagian jalannya. Lihatlah jalan-jalan di Banda Aceh, bagaimana kacaunya sekarang. Mobil-mobil berbadan lebar pun masuk ke segala pelosok yang seharusnya hanya bisa dimasuki untuk jenis-jenis kendaraan tertentu saja. Ini persoalan, ketika ada yang menganggap kota ini sebagai kota yang tidak lagi memiliki aturan dan tata krama.
Setiap lampu traffic harus selalu dijaga lalu lintas, karena orang-orang yang tidak sabar akan langsung menerobos. Padahal dalam konteks sosial, ketika lampu merah sedang menyala, maka sesungguhnya kita harus menunaikan kewajiban untuk membiarkan orang lain yang mendapat lampu hijau untuk lewat.
Seharusnya, gampong kita yang berbudaya dan Islami, tidak akan membiarkan perilaku-perilaku yang asosial itu mengemuka. Toh lampu traffic bukan untuk polisi lalu lintas, maka seharusnya tidak perlu dijaga. Sebagai pemakai jalan, seharusnya ada kesadaran bahwa keegoan dalam memakai jalan tidak boleh ada.
Itu baru satu kekacauan. Masih ada kekacauan lain di jalan raya, yaitu bunyi klakson. Sedikit macet, mungkin karena suatu sebab, maka para pengemudi akan berlomba-lomba memencet klakson kendaraannya. Berhenti di traffic light karena lampu merah, begitu lampu hijau menyala, orang-orang menyalakan klakson, padahal kendaraan di depannya baru bisa bergerak sesudah beberapa waktu setelahnya karena harus memasukkan gigi, dan sebagainya.
Fenomena ini juga memperlihatkan keterkaitan antara bunyi klakson dengan tingkat kesabaran. Orang-orang yang sakit jantung, tentunya harus mengurangi mengendarai kendaraan sendiri karena akan menambah parah sakit jantungnya karena bunyi klakson yang kerap bersuara walau bukan sebagai pertanda apa-apa.
Seorang teman yang baru pulang menuntut ilmu di Malaysia bercerita, bahwa kalau di luar negeri sana, klakson baru berbunyi ketika ada lokasi-lokasi khusus yang banyak hewannya. Ini juga menjadi pembeda di tempat kita, bahwa jalan-jalan kota sekalipun ternyata cukup banyak hewan yang berkeliaran.
Akan tetapi terlepas ada atau tidaknya hewan, klakson pada kenyataannya selalu dibunyikan di jalan raya. Seorang dosen saya di kampus, mengatakan: sungguh tak sopan seseorang memberi salam dengan klakson. Tapi sekarang, menyahut salam juga dengan klakson. Mau dibilang apa, ya ‘kan?
Teman yang baru pulang menuntut ilmu di Malaysia tadi berseloroh: Jangan-jangan segala yang lewat di jalan raya di tempat kita, sudah terlanjur dianggap hewan oleh pengemudi kendaraan!
Mungkin bisa saja seperti itu. Namun ada juga kenyataan lain yang mendukung: lihatlah di tempat-tempat yang dilarang berbunyi klakson, orang-orang juga membunyikan klaksonnya. Melewati masjid atau meunasah misalnya, banyak tempat yang sudah dipasang rambu dilarang klakson pada waktu-waktu shalat, tapi bunyi klakson tetap ada. Orang-orang yang memakai knalpot bersuara besar juga sering membesarkan suara kendaraannya begitu sampai di tempat-tempat yang dilarang bersuara keras. Sangat sering terjadi seperti itu.
Banyak anomali sudah di sekitar kita. Dilarang berhenti, orang berhenti. Dilarang parkir, banyak yang memarkir. Dilarang lewat, dilewati. Jalan satu arah, menjadi dua arah. Sudah tidak jelas. Mungkin harus ditanya kenapa. Masalahnya, menanyakan kepada siapa?
Bingung ‘kan?
Mungkin, di jalan raya sudah kehilangan tata krama. Alat ukurnya bisa digunakan suara klakson. Menarik untuk mengamati bagaimana orang-orang seperti sangat senang dengan suara klakson. Seperti di tempat kita ini! [sulaiman tripa]

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda