Kamis, 16 Oktober 2008

Sabar

(Sulaiman Tripa)

SAYA memiliki seorang teman yang dipanggil dengan nama Sabar saja. Padahal nama lengkapnya Sabaruddin. Sejak kecil, saya sudah berteman dengan Sabar. Kami berasal dari gampong, sampai kuliah pun, masih tinggal di rumah sewa yang berdekatan. Selalu seperti itu. Tahun berganti, masa berlalu, perjalanan kami sangat unik karena saya tahu bagaimana tingkah laku Sabar yang tidak sabar, sebaliknya, ia juga tahu perilaku saya –mulai dari hal-hal yang baik sampai kepada hal-hal yang mungkin buruk.
Saya ingin fokus pada beberapa tingkah laku Sabar yang kelihatannya tidak sabar. Salah satunya ketika keluar dari masjid, waktu shalat Jumat. Sabar cukup sering keluar dengan tergesa-gesa. Padahal, Sabar sering baru berangkat ke masjid saat azan pertama sudah berkumandang.
Begitu imam sudah memberi salam pada shalat Jumat, Sabar langsung angkat kaki. Matanya langsung tertuju ke pintu. Keluar. Walau imam masih memimpin doa begitu shalat telah selesai.
Pintu masjid yang rata-rata tidak begitu besar, sudah seharusnya membuat orang-orang sabar. Budaya antri harus dihidupkan, biar orang yang keluar dari masjid tidak terlihat tergesa-gesa kayak merebut bantuan yang dibagi-bagikan yang kita lihat akhir-akhir ini.
Ketika keluar dari masjid, Sabar sama seperti orang-orang yang berlomba-lomba ingin mendapatkan lebih dahulu bantuan untuk dirinya. Tak peduli orang lain. Sabar juga seperti itu saat segera ia menuju pintu masjid, tak peduli ada satu-dua orang yang teuking gara-gara ketergesaannya.
Bila ada orang yang teuking, Sabar juga jarang meminta maaf. Sepertinya sangat sulit ia mengucapkan kata-kata itu. Terus keluar, tidak peduli kanan-kiri.
Di beberapa tempat, fenomena seperti yang diperlihatkan Sabar, sepertinya bertambah beberapa persen. Orang-orang cenderung tidak sabar. Bahkan orang-orang yang sedang antri untuk mengambil makanan, biasanya lebih parah.
Begitu sedikit lama dalam melakukan suatu rutinitas apa saja, sebagian orang langsung meucet-meucet. Mengomel. Meugeureuhem, atau apalah. Yang jelas berusaha memberi kode dengan caranya sendiri. Bisa juga seperti membatuk-batukkan diri.
Sabar memperlihatkan banyak ketidaksabaran dalam hidupnya. Saya mengamatinya seperti ia mungkin juga memperhatikanku. Hal-hal seperti ini terus berlangsung, tidak ada perubahan, dalam ruang-ruang tertentu malah lebih parah.
Sabar seperti sudah keenakan seperti itu. Ia tidak peduli bahwa orang-orang sekelilingnya juga butuh cepat. Terkesan, penempatan waktu begitu berharga, diletakkan tidak pada tempatnya.
Seperti yang diperlihatkan Sabar saat keluar dari masjid, terkesan bahwa pekerjaannya seabrek yang sudah menunggunya, sehingga untuk menunggu beberapa saat saja, ia seperti tidak punya waktu.
Sabar sedang memperlihatkan bahwa dunia ini ibarat perlombaan, untuk banyak hal yang kadangkala tidak perlu. Ini semacam memperlihatkan bahwa ada kesibukan, dan menyediakan waktu untuk berunding dengan aktivitas wajib, dan kita rela tidak menyediakan waktu untuk itu.
Sabar sudah memperlihatkan itu dalam hidupnya. Tentu, tak harus orang lain mengikuti tingkah-polah yang tak bagus itu.[]

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda