Minggu, 14 September 2008

ceng

BLOE siploh publoe sikureung, lam-lam rueung meureumpok laba. Seorang teman, dengan tegas mengatakan, bahwa itu sebentuk kalkulasi lama. Sudah lama sekali. Masa kini, kalkulasi dalam bentuk lain, yang berbeda dengan kalkulasi di atas, berkembang biak pesat dalam masyarakat kita.

Banyak hal, bahkan lingkup. Berbuat sesuatu, perhitungan laba-rugi, menjadi sangat dominan. Berbuat sesuatu yang tanpa untung, menjadi pilihan terakhir. Untuk masa-masa sulit seperti sekarang, mungkin sesuatu yang tidak mendapat untung secara material, mungkin sudah mulai dilupakan.

Ini zaman yang sudah penuh materialis, demikian sebagian orang gampong bermaklum. Modal sosial kita sedang bermasalah, kata pengamat. Meuseuraya sudah terasing di tanah sendiri, kata para antropolog lokal.

Semua berpunca pada solidaritas sosial. Nyatanya, sudah mulai bermasalah. Namun ada sedikit masalah ketika ada perdebatan tentang bagaimana mengukurnya. Sebagian orang berkata, sangat mudah untuk mengukur sebuah solidaritas sosial. Ada sebagian yang lain yang mengatakan sangat susah untuk mengukur sebuah solidaritas sosial. Mazhab ini, umumnya berpatokan pada berbagai teori-teori sosial, yang cenderung semakin berjalan zaman, teori juga semakin banyak yang lahir.

Komponen kedua ini, cenderung menjadikan teori sebagai sesuatu yang utama, kemudian baru melakukan analisis. Bisa saja, sebuah harga analisis bisa lebih mahal dari sebuah teori itu sendiri. Intinya, bagi komponen ini, pengukuran solidaritas sosial sangat sulit dilakukan.

Ada yang lain yang melihat kenyataan sebagai sesuatu yang lebih penting dari keberadaan teori atau teori-teori. Biasanya, dalam ruang ini, kenyataanlah yang kemudian dianalisis secara bebas.

Bagi yang berfikir mudah, mengukur itu gampang. Tak berat. Karena ini bukan matematika, sehingga untuk tambah-menambah harus dikalkulasi dengan rumus tambah. Kalau ada sekian biar dapat jumlah yang sama, harus menggunakan konsep berbagi.

Sebegitu mudah mengukur solidaritas sosial, karena ini adalah masalah keseharian. Ketika seseorang sudah tidak dapat merekam jejak keseharian, maka kehidupan seseorang itu, secara sosial, sudah tidak ada arti.

Ketika seseorang, untuk menolong orang yang kesusahan saja harus menggunakan banyak rumus, maka solidaritasnya sedang bermasalah. Konon lagi bila seseorang masih berfikir seberapa material yang akan didapat ketika ada orang lain yang sedang sekarat, semisal sedang menunggu maut. Maka, semua itu adalah masalah-masalah.

Belum lagi masalah perilaku, yang bila menyimpang dari kebiasaan umum, maka itu sudah bisa dianggap bermasalah secara sosial. Orang sakit yang butuh kemampuan, dengan demikian harus mencari modal terlebih dahulu, modal yang seperti ini, tentu sangat berbeda dengan modal sosial sebagai konsep.[]



(Sulaiman Tripa)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda