Jumat, 12 September 2008

rasa

TERNYATA, di segala sudut gampong tersedia fenomena-fenomena untuk seseorang
bisa mengenal cinta dengan lebih mendalam. Fenomena-fenomena ini, bisa saja berbeda
dengan apresiasi orang kebanyakan, sebagaimana yang terlihat di televisi yang ditonton
tiap waktu.
Tapi sebuah tontonan, pada akhirnya bisa merubah pandangan banyak orang dari
yang ditonton. Dari yang semula pandangan, lambat-laun bisa menjadi perilaku. Semakin
sering perilaku tertentu dilakukan, orang-orang akan melakukannya secara lebih luas,
terus menjadi sebuah kelaziman.
Ketika suatu perilaku sudah menjadi kelaziman, terlepas benar atau tidak benar,
bagus atau tidak bagus, tepat atau tidak tidak tepat, maka menjadi aneh bila itu tidak
diikuti.
Salah satu contoh yang bisa dilihat, adalah pandangan banyak orang tentang cinta.
Bahwa cinta, seolah-olah hanya tersedia satu saluran saja: orang-orang yang mencintai
pasangannya yang lawan jenis. Orang-orang yang memiliki cinta, digambarkan dari
orang-orang yang memiliki pasangannya.
Bagaimana mekarnya sebuah cinta, juga akan mengikuti kapling seperti itu.
Jangan heran bila dari televisi ketika menyiarkan diskusi orang-orang yang bercinta,
masalah yang sering diangkat seputar berapa kali sudah memeluk pasangan, memberi
ciuman, dan sebagainya.
Dalam masyarakat yang sudah terlalu maju, remaja-remaja yang bercinta sudah
tidak bermasalah lagi ketika mencium pasangannya di depan orang lain. Perilaku ini
adalah perilaku yang dibudayakan sehingga menjadi kelaziman. Maka ketika seorang
tidak mencium pasangannya, sering dianggap tidak memiliki rasa cinta.
Pandangan seperti ini, sudah diketahui oleh orang-orang gampong. Wajar, mata
tak pernah lekang dari televisi, sehingga tayangan menjadi alat ukur baru tentang masalah
benar atau tidak benar, bagus atau tidak bagus, tepat atau tidak tepat. Tayangan sangat
cepat menyebar, untuk kemudian bisa jadi menjadi gejala baru dalam sebuah masyarakat
dan bila orang dominan tidak mengikuti yang sudah lazim itu, maka itu dianggap sebagai
keanehan.
Cinta dalam bentuk lain terlihat lewat berbagai tayangan televisi. Tayangan
kekerasan di televisi, telah menyebabkan korban orang-orang yang menontonnya untuk
meniru berbagai gaya di televisi. Orang-orang yang sedang belajar tentang segala
kemiringan, juga akan terbantu dengan berbagai tayangan yang miring dari sebuah
televisi.
Semua sepakat bahwa pendekatan kekerasan adalah menunda permasalahan,
ketimbang menyelesaikan segala permasalahan secara tuntas. Tapi bukankah ketika suatu
permasalahan sudah (dianggap) menjadi kelaziman, maka akan aneh bila orang tidak
mengikutinya.
Anak-anak gampong adalah anak-anak yang aneh bila pada hari-hari besar,
mereka tidak memiliki mainan senjata. Anak-anak yang suka tayangan Smackdown akan
mencoba jurus-jurusnya, bila tidak sanggup untuk teman-temannya, maka itu akan
dipraktekkan untuk adik-adiknya.
Apa yang terjadi pada remaja kita? Adalah tentang bagaimana berhasil
menumpahkan perasaan untuk orang-orang yang dicintainya (pasangan). Beginilah cinta
yang dikenal dan menjadi dominan. Padahal, cinta tidak sesempit itu.
Suatu kali, orang gampong bercerita bagaimana cintanya kepada anaknya, yang
tidak semua anak akan membalasnya dengan sepenuh kasih. Ini seperti seekor hewan
yang menjilat-jilat anaknya, tapi cukup sering, anaknya ketika besar akan menanduknya
dari belakang.
Leumo akan mengejar manusia bila mengganggu anaknya, apalagi leumo kupong
yang dikenal bengis. Ayam juga akan melindungi anak-anaknya di bawah sayapnya yang
burik.
Orang yang tersadar makna cinta, juga akan melihat bagaimana makhluk
bertingkah polah. Dari hewan sekalipun.[]
sulaiman tripa

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda