Kamis, 06 November 2008

PESTA

SUBUH itu, malapetaka terjadi juga. Polem Mansur merepet-repet. Sambil keluar, ia mengacung-acungkan pedang pusaka milik almarhum bapaknya yang meninggal melawan Belanda. Sudah berkarat dan panjang sekali.
“Mana dia? Mana dia?” teriak Mansur.
            Orang gampong belum selesai shalat subuh. Saat itu, Teungku Min memimpin shalat segera memberi salam. Tak berdoa seperti biasa. Semua jamaah berhamburan keluar meunasah mau melihat gaduh.
“Ada apa?”
          Mansur masih belum beranjak. Mulutnya bertambah gaduh dengan entah apa.
“Assalamualaikum?” Teungku Min sampai ke sana.
“O … teungku, neu piyoeh!”
           Teungku masih meraba-raba.
“Ini lho teungku, ayam si Isa sering masuk halaman rumah saya!”
           Ternyata persoalan ayam! Mansur memegang pedang hanya gara-gara seekor ayam.
“Tidak begitu teungku. Masalahnya, ayam ini telah menyebabkan rusaknya keharmonisan ayam-ayam saya!”
          Setiap pagi, ternyata, ayam Polem Isa, tetangga Polem Mansur itu, selalu berkokok di atas pagar pembatas. Dia selalu buang hajatnya ke halaman Mansur. Ternyata, Isa juga tak mengandangkan ayamnya.
“Ia begitu liar, teungku!”
          Dasar Polem Isa, buat kandang di belakang rumah yang dekat kamar tidur Mansur pula.
“Tapi ‘kan ayamnya tak pernah masuk kandang!” Isa berkelit. Katanya, ia tak punya weker, makanya ia pelihara ayam.
          Memang benar, ayam jantan Isa selalu berkokok disaat pagi buta. Seringkali, ayam kepunyaan Isa  menjadi komando para kokok ayam segampong.
          Akhir-akhir ini, suasana menjadi lain karena ayam jantan Isa sudah sering nyelinap ke kandang betinanya Mansur.
“Ayamku tak pernah bertelur lagi semenjak itu,” kata Mansur.
          Ayam Isa dituduh mandul. Pencemburunya selangit. Habis, pejantan lain dihajar bila mendekati betina Mansur.
“Padahal sudah tahu, ia mandul.”
          Beberapa kali Mansur mencoba mengusir, tapi selalu gagal. Pejantan Polem Isa sangat gesit. Beberapa kali juga di pasang jebakan, tapi tak juga kena.
          Masalahnya ternyata, betina Mansur juga menikmati suasana itu. Ia yang memberitahukan kalau tuannya memasang jebakan. Ia pula yang memberi tahu waktu-waktu yang aman mereka bertemu.
          Saban hari seperti itu. Pejantan datang diam-diam ke betina. Nyelinap tanpa suara. Betina pun tak keberatan dengan itu. Ia ikut saja saat pejantan si Isa mengajaknya. Rupanya dalam beberapa ketika, beberapa pasang sudah terkumpul di kandang milik Abuwa Raman, di rumah bineh blang (pinggir sawah). Mereka merasa harus mencari suasana yang lebih rileks. Tak buru-buru.
          Akhir-akhir ini, pejantan semakin sering mengajak betina Mansur keluar malam. Beberapa kali Mansur memeriksa kandang, e tahu-tahu kosong.
          Nah, ditunggu selama beberapa malam, dilihatlah betinanya dibawa pulang pagi sama pejantan Polem Isa. Mula-mula ia pastikan, jangan-jangan bukan betina miliknya. Lama-kelamaan, ia yakin itu miliknya.
          Besok pagi-pagi sekali ia peringatkan agar jangan terulang. Polem Isa dipanggil. Satu-dua malam, suasana sedikit reda. Habis itu suasana semula kembali seperti biasa.
          Kesabaran Polem Mansur sudah habis. Makanya subuh itu dengan pedang di tangan ia menunggu sambil merepet-repet. Ia berharap saat itu bisa bertemu. Tapi tidak. Entah lewat mana betina dibawa pulang.
          Saat keluar rumah di pagi buta itu, matahari memang belum bersinar, pejantan Polem Isa dengan gagah berdiri di atas pagar pembatas membelakangi rumah Mansur, dengan setumpuk tahi juga, lantas ia berkokok.
          Polem Mansur, kalap![Sulaiman Tripa]

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda