Kamis, 23 Oktober 2008

SEKOLAH KAMPUNG

Sebanyak 407 buku pelajaran dapat diunduh gratis lewat internet, lewat http://bse.depdiknas.go.id (Koran Tempo, 21 Agustus 2001). Kabar ini membahagiakan. Bahkan buku itu sudah melewati uji kelayakan Badan Standar Nasional Pendidikan.
Namun ada satu pertanyaan penting, siapa yang bisa leluasa mengunduh buku lewat internet?
Saya jadi teringat satu iklan jaringan internet masuk kampung, yang disiarkan di televisi. Paling tidak menimbulkan pertanyaan, berapa banyak kampung yang sudah berteknologi tinggi.
Hal ini penting untuk direnungi, agar jangan sampai sekolah kampung hanya menatap proses itu dari jauh. Ketika sekolah kota yang lengkap fasilitas dengan mudah menikmati segala kemudahan yang ditawarkan.
Memaknai suasana seperti ini, di samping menggembirakan, juga menggelisahkan. Menggembirakan karena fasilitas sudah berkembang sedemikian rupa. Menggelisahkan karena melihat fasilitas di sekolah-sekolah kampung yang sangat minim.
Fenomena itu mengharuskan untuk melihat realitas yang ada tentang fasilitas. Jangan berharap kemudahan bisa diraih bila fasilitas kosong. Berbagai kemudahan akan mudah didapat oleh sekolah-sekolah yang memiliki fasilitas.
Satu hal lagi adalah masalah sumberdaya. Katakanlah asumsinya, buku itu tidak harus diunduh dari kampung, tapi pergi ke kota. Apakah semua sekolah di kampung memiliki paling tidak satu guru yang memahami perkembangan teknologi yang ada?
Apa yang saya ungkapkan menjadi semacam cemeti untuk melihat kembali kesenjangan antara sekolah kota dengan sekolah kampung. Kesenjangan ini juga dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan yang lebih luas, misalnya nilai ujian akhir nasional. Dengan memakai logika, bagaimana anak-anak sekolah kota yang banyak fasilitas dikompetisikan dengan anak-anak sekolah kampung yang minim fasilitas.
Sekali lagi, berbagai level pengambil kebijakan harus pula memikirkan ini. Mengapa demikian, karena pendidikan di samping berkaitan dengan fasilitas, juga berhubungan berkaitan dengan semangat. Tidak bisa kita bayangkan bagaimana jadinya ketika semangat ini menghilang dari anak-anak sekolah yang minim fasilitasnya.
Di banyak daerah, guru-guru yang dianggap bermutu, justru menumpuk di kota-kota saja. Di sana juga ada berbagai tempat pendidikan unggul dengan berbagai fasilitas dan kemudahannya.
Kenyataan ini juga menjadi pemupuk yang suatu saat akan mempengaruhi semangat anak-anak dalam belajar.
Jawabannya adalah kebijakan yang berpihak. Pengambil kebijakan harus bekerja keras untuk membawa segala fasilitas dan kemudahan ke semua sekolah di kampung-kampung.
Semoga![]

(Sulaiman Tripa)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda