TUENG
ADA beberapa aktivitas yang menyangkut dengan kata tueng. Di antara yang penting, adalah tueng dara baro dan tueng linto baro. Selain itu, ada tueng ie sembahyang, dan sebagainya. Dalam tulisan ini, menarik untuk melihat tueng dalam konteks dara baro dan linto baro.
Ada beberapa hal yang berbeda dalam sebuah pernikahan, bahwa menikah antara seorang laki-laki dan perempuan, belum mencerminkan adanya proses tueng dalam masing-masing keluarga. Hal ini penting, karena sebuah proses pernikahan, adalah proses yang melibatkan banyak keluarga –bukan hanya dua buah keluarga.
Dalam hubungan dengan keluarga, adanya bentukan keluarga baru dikarenakan oleh hubungan dua keluarga dasar. Ada orang-orang yang menjalani proses ini tanpa melibatkan keluarganya, sebagai cermin dari eksistensi egois. Atau bisa jadi, tanpa pelibatan keluarga disebabkan oleh perilaku-perilaku yang tidak benar dari mereka.
Dalam konteks masyarakat, penerimaan ini berkaitan dengan proses interaksi dengan orang-orang yang lebih lurus yang akan dilakukan nantinya. Orang-orang tentu tidak bisa mengekang dirinya dalam sebuah rumah kaca dan membebaskan diri untuk berhubungan dengan orang lain.
Tak ada, manusia yang super sekalipun, bisa memenuhi segala kebutuhannya. Sekecil apapun pasti membutuhkan sesuatu dari orang lain.
Inilah yang menjadi dasar mengapa tradisi tueng itu ada dalam masyarakat. Ini, terutama, berkaitan dengan kenyataan bahwa perkawinan, kelahiran, dan kematian, ada tiga peristiwa besar dalam hidup manusia. Makanya bila ada kelahiran, perkawinan dan kematian, syedara akan marah bila tidak diberitahukan.
Sebagian keluarga juga menjai cermin, di mana tingkat persaudaraannya akan kental bila dalam kejadian itu, banyak syedara yang tak mendampingi. Demikian juga sebaliknya.
Tueng dara baro atau tueng linto baro, dengan demikian bermakna kekerabatan. Sekecil apapun khanduri perkawinan, semua keluarga akan didatangkan untuk diperkenalkan secara detail.
Aktivitas tueng itu berlangsung di rumah. Orang yang menerima akan memperlihatkan keadaan asli mereka. Demikian juga yang diterima, akan melihat kenyataan asli keluarganya. Jadi, tak ada dusta di antara mereka. Tak ada som gasien, lalu pulumah kaya.
Bentuk-bentuk inilah yang sudah menggejala ditinggalkan. Berubah. Sudah banyak orang yang tidak lagi melakukan aktivitas tueng karena lebih mementingkan khanduri sebagai sebentuk pesta. Orang-orang yang menikah, lalu mengundang orang banyak untuk hadir dalam pestanya.
Orang sudah mulai melupakan tueng menantu di rumah. Acara-acara penting dalam hidup sudah mulai diperhitungkan tingkat kepraktisan, dengan melakukannya di gedung-gedung yang umumnya mewah.
Melakukan di gedung, selain cermin praktis dan efektif, juga kampanye kelas. Orang-orang yang tidak berkecukupan tidak mungkin mampu melakukannya di gedung.
Dalam konteks praktis dan efektif, tak banyak hal yang harus dilakukan. Semua sudah tersedia. Tinggal dibayar dengan jumlah sekian. Di samping itu, keterkaitan dengan orang lain dalam konteks bantu-membantu, juga tak lagi dipandang sebagai beban.
Sementara kalau di gampong, di rumah, orang kampung sekalipun tidak ingin malu pada tamu yang akan datang. Prinsipnya. Makanya, mereka memperlihatkan perilaku saling membantu. Itu juga cermin dari tueng!
(Sulaiman Tripa)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda