Sabtu, 08 November 2008

HP

PERKEMBANGAN informasi dan komunikasi, akan berbanding lurus dengan perkembangan alat teknologi itu sendiri. Bayangkan ketika 30 tahun lalu, orang-orang yang memiliki jaringan telepon bisa dihitung dengan jari. Di kota Banda Aceh, hanya beberapa orang saja yang memakai telepon. Sebelumnya, orang memakai telegram untuk menyampaikan pesan.
Tak berapa lama, telepon menjadi tersedia di mana-mana. Orang-orang yang tidak memakai telepon di rumah, tersedia banyak telepon umum dan warung telepon (Wartel). Maka untuk berbicara kemana-mana, bisa dilakukan kapan saja. Kekurangannya, kadangkala orang yang ditelepon tidak ada di sekitar telepon. Maka pager pun mulai dikenal.
Perkembangan teknologi berlangsung begitu cepat. Sebelum orang merasa puas memakai satu jenis alat teknologi, sudah hadir bentuk yang baru. Ketika orang belum semuanya memiliki telepon –bahkan ada orang yang belum tahu telepon, apalagi menggunakanya—sudah hadir berbagai alat telekomunikasi yang lain.
Handphone yang hadir pertama sangat terbatas fasilitas layanan yang ditawarkan. Tapi sekarang, beraneka ragam fasilitas layanan sudah tersedia. Perusahaan yang memproduksi alat telekomunikasi berlomba-lomba menciptakan yang baru yang merebut pasar agar orang-orang menyukai dan membelinya.
Kini, handphone bukan lagi alat yang asing. Orang juga tidak akan tercengang lagi bila ada orang yang di sekitarnya sudah memakai handphone. Perkembangan zaman terjadi begitu cepat.
Pada akhirnya, semua alat –sebagaimana alat yang lain—akan tergantung pada penggunanya. Bila penggunanya baik, akan menggunakannya untuk hal-hal yang baik. Akan tetapi bila penggunanya bermental “miring” maka akan digunakan untuk hal-hal yang buruk.
Begitu juga dengan handphone, bisa dipergunakan untuk hal-hal yang makruf, bisa juga dipergunakan untuk hal-hal yang mungkar.
Intinya, tergantung penggunanya. Alat itu bisa dipakai. Sedangkan untuk apa dipakai alat itu, sepenuhnya dikelola oleh pengguna. Yang sombong itu adalah penggunanya, bukan handphone-nya. Yang congkak itu manusia, bukan alatnya.
Maka sudah pasti tidak bisa disalahkan hanphone ketika sesuatu yang “salah atau tidak baik atau tidak benar” terjadi. Posisi itu ada pada pengguna, pada pengelolanya.
Di tempat-tempat yang mengharuskan handphone dimatikan, juga bukan salah handphone-nya, tapi orang-orang yang menggunakannya. Handphone bisa dimatikan, bisa dinyalakan. Logikanya, dimatikan atau dinyalakan, itu tergantung pada penggunanya –yang selalu melakukannya dengan alpa atau secara sengaja.
Bila di dalam masjid berbunyi handphone, padahal di segala sudut sudah tertempel pengumuman agar handphone dimatikan-–ditambah ingatan yang diberikan bilal, maka bila handphone tetap berbunyi, itu merupakan cermin dari penggunanya -–yang bisa saja karena alpa, bisa juga karena melakukannya dengan sengaja.
Ini adalah zaman sibuk, kata orang. Maka handphone sering dianggap untuk mencerminkan tingkat kesibukan. Apa yang terjadi ketika kesibukan itu tidak mau dikurangi walau untuk menghadap Tuhan sekalipun?. Bukankah ketika orang masuk ke masjid, masuk ke meunasah, orang-orang sebenarnya meluangkan waktu untuk berhadapan dengan Tuhannya, Rabb-nya, Penciptanya?. Nah, bila ada orang yang ketika sedang menghadap Tuhan, menghadap Rabb, menghadap Pencipta, ternyata masih bunyi handphone sebagai panggilan dari yang lain, bukankah yang lain itu sudah dianggap sebagai sesuatu yang penting juga –yang seharusnya tidak boleh terjadi ketika sedang menghadap Tuhan, Rabb, Khaliq?.
Tapi kenyataannya, di dalam masjid, di dalam meunasah, di waktu shalat, di waktu menghadap Tuhan, Rabb, Pencipta, Khaliq, handphone-handphone juga sering berbunyi. Logikanya, apalagi di waktu yang lain.
Sebagai manusia, cukup sering terlihat, ketika ada pertemuan penting entah dengan siapa akan mau mematikan handphone-nya, yang barangkali tak semua orang mau melakukannya ketika ia berhadapan dengan Tuhannya.
Sebenarnya, ini menjadi “miring”, menjadi ganjil, menjadi irasional, menjadi tidak sehat, menjadi tidak waras. Tapi dalam kehidupan masyarakat kita, hal ini terjadi. Benar-benar terjadi, hingga kita kadangkala harus selalu mengurut dada, sembari mengatakan: namanya saja handphone![Sulaiman Tripa]

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda