Senin, 10 November 2008

SEURUNE

ANAK-anak di gampong seperti saya, sangat tidak sabar menunggu masa panen tiba, saat padi di sawah penduduk mulai menguning. Ada beberapa sebab, paling tidak: Pertama, begitu panen, anak-anak punya pendapatan lewat aktivitas yang bernama pileh pade. Anak-anak membantu membawa padi yang sudah dipotong ke tempat yang dibuat tumpuk-tumpuk yang seperti rumah kecil. Setelah selesai, semua berbanja dan masing-masing akan diberikan beberapa nibai (kumpulan batang padi yang sudah diikat) untuk menjadi milik si anak. Mereka akan mengumpulkan, membawa pulang ke rumah untuk kemudian dirontokkan (ceumeulho) lalu dijual.
Masa lalu sangat berbeda, anak-anak seusia saya sangat sulit mendapat uang untuk jajan. Makanya ada perbedaan wajah anak-anak begitu panen tiba. Mereka memiliki uang untuk berbelanja. Dan itu sangat jarang didapat. Biasanya hanya setahun sekali.
Kedua, batang-batang padi yang sudah dipotong akan dipilih yang besar-besar untuk dibuat alat tiup yang menghasilkan suara-suara. Waktu saya masih kecil alat itu namanya seurune. Batang padi (dipilih yang besar), dibersihkan, dilobangi dengan bentuk tertentu agar menghasilkan suara yang beraneka.
Para penemu suara dari batang padi yang akhirnya bernama seurune itu, sudah pasti tidak ditemukan dalam sejarah alat musik. Padahal orang-orang yang pada awal hingga menemukan bunyi itu, membutuhkan pikiran-pikiran, analisa-analisa, praktek-praktek, hingga sampai kepada suara yang diinginkan.
Setiap pembuat seurune, juga butuh imajinasi-imajinasi yang tidak mudah. Mungkin imajinasi itu sama ketika orang memikirkan untuk membuat seruling, beduk, gitar, organ, dan alat musik lainnya. Sama-sama butuh imajinasi. Tapi seurune adalah alat dari kampung yang dipandang kampungan oleh orang-orang yang mengaku tidak kampung.
Prosesnya pun menyebar dengan lambat. Tak ada bantuan tenologi informasi dan komunikasi. Bisa jadi, antara satu kampung dengan kampung lain, proses penyebaran seurune berlangsung lambat.
Sama seperti ilmu-ilmu kampung tentang pengumuman. Kenyataan adanya kekayaan lokal yang namanya kampanye ie beuna, juga berlangsung lambat. Namun berdaya tahan lama.
Sama seperti seurune, konsep lokal tentang ie beuna juga tidak banyak mendapat perhatian. Konsep itu hanya dibutuhkan ketika ada kegiatan-kegiatan eksplorasi kekayaan lokal. Sesudah itu, tidak lagi menjadi wacana yang terus meluas.
Ie beuna tetap jadi kekayaan masyarakat tertentu, dan jarang dikampanyekan secara luas agar juga menjadi kekayaan dan pengetahuan bagi yang lain. Alasannya sederhana, mungkin karena itu, informasi yang lahir dari kampung.
Seurune juga demikian. Gegap gempita baru ada ketika seurene yang berbasis tidak kamung lahir dan dimunculkan. Alat bantunya mesin. Kalkulasinya sangat matematis. Prediksinya sudah diperkirakan jauh-jauh hari.
Seurune ini, akan berbunyi bila diperkirakan ada suatu peristiwa yang telah dianalisis sebelumnya. Semacam pemberitahuan. Seolah kalkulasi ini tidak pernah salah.
Pada akhirnya, di kampung kita, kenyataan itu pernah terbalik. Tidak ada kejadian apa-apa, tapi seurune berbunyi. Alat teknologi itu, dikatakan sedang terganggu. Masalahnya, orang-orang yang menjadi ribut dan panik. Gaduh dan riuh.
Kejadian seperti ini, tidak pernah diprediksi. Inilah bedanya dengan anak-anak seusia saya dulu, ketika habis panen ramai-ramai ke sawah mencabut batang padi dan mengolahnya menjadi alat yang mengeluarkan suara dan enak didengar. Orang-orang tidak akan memaki para peniup seurune itu. (Sulaiman Tripa)

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda