Sabtu, 22 November 2008

EKSES

ORANG-orang lokal sangat malas, kata orang-orang dari Barat. Orang-orang Barat, sangat perhitungan, kata orang-orang lokal.
Orang-orang Barat, melihat banyak orang-orang lokal yang santai-santai pada jam-jam sibuk. Kemalasan ini juga diukur, semakin pudarnya semangat meuseuraya dalam masyarakat Aceh, di mana mereka mempelajarinya dalam berbagai buku sejarah Aceh.
Tapi, ketiadaan meuseuraya dalam masyarakat Aceh pascatsunami, adalah menyangkut efektivitas dan efisiensi; semua pekerjaan sudah bisa dibayar, lalu orang-orang yang menerima upah, selalu bisa dituntut bila pekerjaannya tidak selesai. Sebuah kerja, adalah persoalan atas-bawah; ada yang membayar, ada yang menerima bayar.
Tuntutan inilah yang tidak bisa dituntut dari proses meuseuraya. Maka lihatlah, pascatsunami, berapa banyak ada kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi yang meupangkai pada meuseuraya.
Dalam pelaksanaan sebuah pekerjaan, yang tujuannya diukur dengan sejauhmana hasil bisa dilihat, maka ada orang yang perintah dengan orang yang menerima perintah, menjadi penting untuk ada.
Pekerjaan bersama-sama, sering tidak efektif, walau ada nilai penting yang bisa dikuatkan dalam masyarakat. Beginilah anggapan orang-orang yang bergiat pada pekerjaan-pekerjaan praktis.
Jarang ada pengukuran efek. Biasanya, sebuah fasilitas umum yang dibangun tanpa saham orang-orang gampong, proses penjagaan terhadap fasilitas itu tidak maksimal. Sebaliknya, orang-orang akan malu bila yang dibangun dengan keringat sendiri tidak dijaga.
Beginilah yang logis. Perlu ada pengawasan, ketika proses penyadaran tidak tuntas dilakukan. Proses penyadaran, tidak selalu harus dilakukan dari atas ke bawah. Kita harus sering membuka mata bahwa nilai-nilai yang dari bawah, cukup banyak yang bernilai.
Pengawasan oleh semua mata sangat berbeda dengan pengawasan oleh beberapa pasang mata saja. Pengawasan yang terbatas, akan menyebabkan orang tidak saling meluruskan satu sama lain. Orang baru memberi perhatian ketika kepentingannya terganggu.
Dalam sebuah tatanan lokal, segala yang berasal dari pribadi, pada akhirnya berkaitan dengan antarpribadi. Selingkuh adalah masalah pribadi, namun berkaitan dengan masalah sosial karena nilai-nilai akan mengganggu orang lain.
Banyak masalah individu seolah-olah tidak terkait dengan orang banyak. Ini menjadi masalah saat Barat berbeda dalam melihat lokal. Para fundamental Barat berpikir seolah-olah hanya dengan konsep Barat saja yang mampu memperbaiki kehidupan umat manusia sejagad.
Dari asal mula sebagai pikir, lalu diunjukkan melalui perilaku dan kampanye secara global. Yang berlainan dengan konsep yang ditawarkan, dianggap sebagai anti. Sesuatu yang anti, akan dengan mudah disebutkan sebagai tidak maju, tidak sesuai, tidak memenuhi harapan. Lahirlah standar-standar, di mana alat ukurnya selalu standar yang digunakan oleh manusia tertentu.
Ada hal-hal tertentu yang sesuai, seperti kapling malas. Namun lihatlah kepungan yang membuat kemalasan, itu dari mana datangnya? Malas tak selalu berhubungan dengan pemasukan ekonomi. Seorang yang tidak bekerja untuk mendapatkan ongkos disebut malas, seorang yang tidak bekerja untuk kebersamaan juga harus disebut sebagai malas.
Lokal bersama sejarahnya, harus dilihat sebentuk komunitas yang berbeda dengan global. Menyelesaikan persoalan lokal, dengan demikian tidak mesti menggunakan kerangka-kerangka global.
Banyak masalah lokal yang diakibatkan oleh kejahatan global. Tapi lokal menjadi pihak yang tidak membela diri. Ketika terjadi berbagai bencana, lokal yang sangat mudah dituduhkan.
Padahal, global sudah cukup banyak menghabiskan energi lokal untuk memikirkan kapan lagi banjir akan datang ke gampongnya, bencana alam, minyak naik, listrik, sedang ekonomi (pendapatan) tak berubah.
Semua masalah itu, tentu tidak selesai bila malas yang menjadi tertuduh. Malas hanya ekses. Ini tidak pernah selesai, bila tidak mampu memahami bahwa kini, sejarah kampung yang tertulis dalam pelepah pinang, tidak selalu kita temui dalam buku sejarah modern. Maka ketika tsunami dikenal dengan smoong di Simeulu, maka itu sejarah kampung yang seharusnya diingat-ingat. Tapi katanya, itu hanya untuk orang yang di luar lokal, kalaupun orang-orang yang memperjuangkan lokal, kerap jauh lebih berbahaya ketimbang menghegemoni lokal.
Orang-orang lokal sering tak tahu bagaimana berbicara dengan gaya yang beralun-alun. Mereka tak tahu memproduksi bahasa yang bisa mengenakkan orang-orang mendengarnya. Maka jangan heran, ketika dunia memberi kemalasan kepada mereka, orang-orang gampong sampai tidak tahu lagi cara memperbaiki diri.
Tapi tak masalah, bila ingin menyebut bahwa banyak orang malas di sekitar kita. [sulaiman tripa]

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda