Kamis, 20 November 2008

PESAN

INI adalah cerita lama, yang lahir kembali orang yang baru seperti Safiah. Namanya Munah. Perihal sudah membeli sebuah HP. Ia ingin bersaing dengan Safiah. “Memang aku miskin, tapi aku bisa juga seperti Safiah, minimal dalam pemakaian HP,” pikirnya. Dibelilah HP, yang sebenarnya berawal dari kisah Safiah –lalu ia juga mengulang seperti itu. Ceritanya begini.
Saban malam di Bulan Puasa, Safiah, janda kaya di Gampong Seulaseh, mengadakan pertemuan dengan orang-orang selevelnya. Semua ibu-ibu yang datang memiliki handphone (HP).
“Masa sih, aku kaya begini tak punya HP,” begitu kira-kira pikir Safiah.
Belum lagi, Safiah menerima kata-kata yang kurang sedap dari ibu-ibu; pelit, tak tahu kebutuhan, gatek (gagap teknologi).
Safiah tentu tak mau malu. Segera saja dialokasikan sejumlah uang untuk itu; sebuah HP. Bila perlu yang nampak lebih gagah dan wah, dari yang lain.
Benar saja, ia langsung ke kota untuk membeli HP yang sebesar bungkusan susu. Ya, biar lengkap dah! Bisa komunikasi, kirim pesan, bicara, bahkan kirim gambar. Tentu lengkap dengan kamera.
Dalam hati ia mulai membayangkan banyaknya kegunaan bila ada kamera di dalamnya; bisa buat film, bisa casting, dan sebagainya. Kok terlambat ia mengetahuinya. Kalau mau yang jahil-jahil, juga bisa instant. Seperti beberapa artis Indonesia yang membuat film porno, padahal mereka belum menikah. Mereka merekam adegan syur di ranjang di dalam kamera; lalu dibagi-bagikan!
(Kini, apa yang pernah dilakukan beberapa artis itu, ketularan sama pelajar. Mereka juga merekam adegan-adegan syur mereka sendiri du HP).
Empat hari sebelum hari raya tiba, Safiah sudah memiliki HP. Tak lekang di tangan. Kemana-mana, ia selalu menenteng. Padahal tasnya ada. Tapi kalau dalam tas sih, tak ada yang bisa melihat. Nada panggil juga distell dengan suara maksimal. Ya, biar semua orang bisa dengar. Apalagi, dalam HP-nya juga tersedia berbagai macam irama.
Tumben! Malam ke-28, Safiah ikut tarawih. Sesuatu yang tak pernah dilaksanakannya selama sebulan itu. Saat masuk, pengurus meunasah sudah mengingatkan untuk tak membuat gaduh; dengan berbagai suara.
Tapi HP Safiah tetap aktif.
Ia menyuruh pula beberapa kolega untuk menghubunginya selagi ia di meunasah. Beberapa kali, jamaah menoleh. Ia tak peduli, yang penting orang tahu kalau ia sudah memiliki HP –suatu barang yang di Gampong Seulaseh sebagai sesuatu yang sedikit langka; padahal di Gampong Baroh, anak-anak Taman Kanak-Kanak (TK) pun sudah pakai HP.
Sejak saat itu, Safiah merasakan reaksi-reaksi yang kemudian melahirkan sensasi-sensasi. Ada kepercayaan baru, tambah pengalaman, dan tentu, meuteumpok pengetahuan. Ia sudah tahu cara mengirim short massage service (SMS). Ia juga sudah tahu cara kirim multy massage service (MMS). Safiah juga sudah kenal polyphonic, three-g, dan video streaming.
Dengan HP baru itu, Safiah benar-benar merasa sangat luar biasa. Ia sudah bisa mendowload berbagai tawaran SMS untuk mengirim pesan ke kolega, memakai televisi, dan sebagainya.
Safiah tiba-tiba merasa terkejut. Dua hari sebelum lebaran, ia menerima sebuah SMS; “Aneuk cempala ateuh bak panah, saboh that ceudah yang mirah dada. Lon ngoen gata saling peumeuah, mangat jeut beukah ubena desya. Seulamat uroe raya.”
“O… kirim selamat uroe raya lewat SMS,” pikir Safiah tiba-tiba.
Dan, tak perlu lagi datang dari pintu ke pintu. Kirim SMS saja. Apalagi kalau ada yang sedikit mengganjal, ia kirim saja lewat SMS. Mumpung dapat momentum; hari raya.
Yang pertama ia kirim, untuk Haji Subi, duda gampong yang sedikit disukai Safiah. Ia mengirim pesan; “Dalam ketenangan jiwa mengalun Qalam Illahi, pada tutur bahasa tersirat kerinduan hati. Tak ternilai kata yang indah, selain maaf darimu di hari yang fitrah ini. Selamat hari raya!”
Safiah juga mengirim SMS untuk Toke Safa, lelaki yang sewaktu masih remaja sangat dicintainya. Ia menulis begini; “Apabila ada langkah yang membekas lara, kata-kata yang merangkai dusta, dan sikap yang menorah luka, di hari yang fitrah ini saya mohon maaf padamu. Semoga Allah selalu bersama kita!”
Untuk kawan-kawannya Safiah mengirim pesan; “mohon maaf lahir dan batin, selamat hari raya idul fitri. Pat ranup yang hana mirah, pat peuneurah yang hana bajoe, mungken lon tuan na salah, hana bak awai teuntee na bak dudoe (di mana sirih yang tak memerah, di mana penyepit yang tak berganjal, mungkin saya ada salah, tiada di awal tentu ada di akhir).”
Untuk saudaranya, ia kirim; “Ramphak langet kareuna bintang, ramphak blang karena peunula, ranphek kayee karena cadeung, ramphak ureung karena syedara (cantik langit karena bintang, cantik sawah karena ada tanaman, cantik pohon karena cabang, cantik orang karena kaum saudara). Di hari yang mulia ini, mohon maaf lahir dan batin, serta selalu dalam lindungan Illahi untuk kembali ke fitrah.”
Untuk teungku keusyik, Safiah menulis pesan seperti ini; “Cantik nian kain kebaya, dipakai orang pergi ke pecan. Bulan Ramadhan sudahlah usai, salah dan khilaf mohon maafkan.”
Untuk bekas pacarnya yang lain, Safiah mengirimkan; “Manakala hati selalu menduga, adakala pena salah menggores, di hari yang penuh baraqah, mohon maaf lahir dan batin. Semoga Allah melimpahkan hidayah serta mengantar kita kepada fitrah, Amien.”
Untuk teungku imuem, Safiah merangkai kata; “Kuala raja rap bineh laot, takawe eungkot jikap jeunara. Meuah desya lon nyang ka uliket, bek meusangkot paot di padang mahsya (muara raja dekat pinggir pantai, kita kail ikan dapat Jenara. Maaf dosaku yang di belakang, jangan bersangkut-paut di padang mahsyar).”
Safiah juga masih menyimpan SMS; “Pajan masa boh timen taplah, mungken wate grah ngoen uroe tutoeng. Nyoe keuh masa lon lakee meuah, pat na salah beu Tuhan peu ampon (Kapan buah timun dibelah, mungkin waktu dahaga kala terik mentari. Saat inilah saya minta maaf, di mana ada salah agar Tuhan ampuni).”
Safiah malah mendata seluruh nomor HP yang ada padanya. Kesemua nomor ia kirimkan pesan; “Ranub kuneng lon susoen lam bate, pineung ngoen gambe dalam ceurana, meuah desya lon baten ngoen lahe, gantoe lon hade bak uroe raya (sirih kuning saya susun dalam bate, pinang dengan gambir dalam cerana, maaf dosaku batin dan lahir, ganti saya hadir pada hari raya).”
Entah berapa ratus SMS yang ia kirimkan. Masalah biaya, tentu tak terlalu menjadi soal. Toh semua kartu seluler saling berkejar memberi kemudahan. Dari kartu berkemas sachet, sampai pulsa murah dengan harga sekian dapat sekian.
Setelah mengirim semua itu, Safiah bergegas mempersiapkan segala hal untuk menyambut tamu hari raya di rumah. Ia sudah menyimpulkan tak akan mengunjungi rumah orang.
“Sudah saya kirim SMS, sudah saya minta maaf, sudah saya ucapkan selamat hari raya, ngapain lagi saya kunjungi dari rumah ke rumah,” begitu Safiah bergumam.
Malam lebaran, saat orang lain bertakbiran, Safiah berdiam di rumah menunggu SMS. Tentu, atas semua SMS yang sudah dikirim ke orang-orang yang jumlahnya beratus itu. Sejak malam itu, matanya tak lekang di HP.
“Mungkin ada SMS yang masuk.”
Tapi sampai hari kelima lebaran, SMS-SMS yang ditunggu, tak juga datang.
Tak ada yang bertamu ke rumah Safiah, walau ia sudah mempersiapkan banyak makanan-minuman. Tetangga sekalipun. Padahal selama lebaran, rumah-rumah orang di Gampong Seulaseh bersesak. Mereka saling berkunjung satu sama lain.
Tapi tidak di rumah Safiah.
Safiah belum juga mengerti, walau semua orang Gampong Seulaseh sudah begitu mempertanyakan, “ada apa dengan Safiah?” [sulaiman tripa]

Catatan:
Beberapa SMS dalam tulisan ini adalah SMS yang saya terima dari kerabat, guru, sahabat, dan kolega (maaf, telah kugunakan).

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda