Senin, 24 November 2008

ZINA

SEBUAH perilaku di kawasan lain, belum tentu tak ada dan tak terkait dengan lingkungan gampong kita. Dengan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat terbuka, sangat memungkinkan banyak hal terjadi juga di gampong kita. Bukan menolak teknologi yang menjadi masalah, tapi sejauhmana perilaku bisa mengelola teknologi ke arah positif.
Teknologi, tergantungnya pada pemakainya. Berbagai fasilitas dalam handphone, tergantung untuk kepentingan apa digunakan oleh pemakainya. Adalah perilaku pemakainya yang menentukan seseorang menggunakan alat teknologi untuk kebaikan atau kemaksiatan.
Tapi dalam kenyataan, implikasi negatif memang selalu lebih besar. Chatting sangat berguna untuk orang yang berjauhan untuk saling berkomunikasi. Kehadiran webcam, mempermudah komunikasi itu. Tapi dalam pergaulan tanpa batas, webcam digunakan juga oleh orang-orang yang mengobral kemaluannya.
Kawasan yang terbuka seperti gampong kita, juga tidak terbebas dari perilaku-perilaku seperti itu. Remaja kita, laki-laki dan perempuan, juga terpampang wajah di berbagai situs jahil.
Ini adalah turunan perilaku. Foto bugil di handphone, atau rekaman orang berhubungan suami-isteri, adalah buah dari perilaku miring. Perilaku sangat ditentukan oleh bagaimana kehidupan di sekitar kita. Akhir-akhir ini, bisa dilihat dengan nyata.
Antara lain, beberapa gejala: Pertama, kawasan pariwisata sering dimanfaatkan oleh mereka yang berindehoi. Ketika kita mau menghabiskan waktu di lokasi pariwisata, kita akan malu sendiri dengan perilaku-perilaku yang seronok mereka. Itu akhirnya menjadi kelaziman.
Kedua, berita koran yang menampakkan gejala bersepi-sepi oleh orang berlainan jenis yang bukan muhrimnya, luar biasa banyak. Ironisnya, itu tak saja terjadi di kota-kota yang sebagian orang beranggapan sebagai tempat yang sedikit bebas. Kejadian itu juga berlangsung di gampong-gampong yang diklaim sebagai penjaga ranah nilai-nilai agama dan nilai-nilai sosial-budaya.
Ketiga, rumah kontrakan sangat kurang pengawasan pemilik atau masyarakatnya dari aktivitas yang di luar batas agama dan sosial-budaya. Sampai larut malam, kumpul-kumpul laki-laki dan perempuan masih saja terjadi.
Keempat, di jalan raya kita menyaksikan sebagian orang berlainan jenis saling berpeluk erat dan bersenda gurau dengan tidak wajar. Remaja-remaja sudah dengan gampang memperlihatkan bagaimana mereka memeluk pacarnya di atas kendaraan yang sedang melaju di jalan-jalan kota.
Kelima, orang tua yang sebagian sudah melunturkan pengawasan terhadap anaknya, baik putra maupun putri. Seorang anak lelaki akan merasa malu bila tak punya pacar. Seorang tua akan malu bila seorang anak putrinya tak ada lelaki yang menjenguk.
Keenam, pendidikan sudah kurang memberi porsi untuk menanamkan nilai-nilai agama dan sosial-budaya. Dana pendidikan yang mengucur ke Aceh selama lima tahun terakhir dalam jumlah yang besar, tapi sangat kurang diukur sudah sejauhmana efektivitas muatan kurikulum lokal yang selama ini berlangsung.
Ketujuh, kemajuan teknologi dengan hadirnya beragam alat rekam. Handphone yang memiliki camera, di satu sisi membuat seseorang akan mudah. Tapi antara sisi positif dan negatif, biasanya hanya berbeda tipis. Keberadaan alat teknologi tak menepis manfaat positif. Yang jelas, sebuah alat bisa digunakan untuk berkhutbah, bisa juga digunakan untuk berkirim gambar-gambar bugil.
Kedelapan, perkembangan global yang menganggap pergaulan bebas bukanlah sesuatu yang patut dirisaukan, asal setia kepada pasangan, atau menggunakan kondom. Slogan ini terus direproduksi secara global. Padahal, Islam dengan jelas mengatakan jauhi zina, karena itu kemungkaran.
Kesembilan, celakanya, sekarang di kota besar muncul mazhab baru bahwa kalau tak melakukan seks, itu berarti tak gaul.
Semua kondisi ini harus dapat menjadi alat untuk memetakan gejala kehidupan bebas di Aceh. Kenyataan ini, tentu tak mungkin hanya diselesaikan dengan perasaan gundah semata. Kenyataan ini harus diantisipasi dengan pekerjaan nyata.
Pekerjaan nyata, dalam hal ini mutlak memerlukan tiga piranti utama: (a) agama. Pembumian nilai-nilai agama harus dilakukan dengan optimal agar terlihat hasil yang optimal pula. (b) pendidikan yang harus terukur, sistematis, terencana, dan keberlanjutan. Muatan lokal, tak hanya mencakup bagaimana bahasa daerah dan kesenian daerah. Pendalaman agama dan ilmu budaya juga penting menjadi bagian dari muatan dalam pendidikan kita. (c) keluarga harus menjadi pengawasan dan pewarisi nilai-nilai agama dan budaya. Bukankah seorang anak itu ibarat peluru yang ditentukan oleh orang tuanya kemana mereka akan dibawa. Seorang anak selalu berhadapan dengan dua ending: bermakna, atau malapetaka.[sulaiman tripa]

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda