Pendapat
SEORANG teman, yang sudah pernah saya tulis pendapatnya, mengatakan: tidak ada masalah bila yang terjadi adalah berbeda pendapat. Sering yang menjadi masalah adalah bila terjadi perbedaan pendapatan. Teman itu santai. Sering mengisi diskusi menulis.
Beberapa waktu lalu, kami sempat diskusi lagi. Pertemuan itu, seperti kangen karena lama sudah tidak berjumpa secara langsung. Saat itu, ia mengatakan: kalau ada pendapatan, biasanya pendapat bisa disamakan. Bila sebaliknya akan sulit, ada pendapat, masalah pendapatan biasanya tidak bisa disamakan.
Kata sang teman dalam pertemuan terakhir, saya jadi teringat, banyak kenyataan money politic, dalam pemilihan kepala kampung hingga kepala lorong. Banyak pendapatan berpotensi menyamakan pendapat, walau tak selalu akan seperti itu.
Di beberapa daerah, sudah nampak pada kepala kampung yang di endus para pengendus kasus korupsi. Beberapa sudah ditangkap. Ini menggambarkan bahwa pemilihan langsung belum memberi jaminan semua tidak bermasalah. Belum menjamin seseorang itu benar-benar bersih.
Dengan pendapatan, ada peluang untuk mengondisikan berbagai hal. Di kota-kota, ada tradisi pembuat buku biografi sang tokoh, lalu didiskusikan dengan mewah untuk mengumpulkan sanjungan-sanjungan. Untuk membuat acara mewah dan sambutan bagus, tentu butuh pendapatan. Jarang tokoh sederhana di kampung-kampung yang dikenal luas oleh publik yang lebih luas.
Untuk memperkenalkan seorang tokoh agar terkenal butuh dana besar. Seorang tokoh yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin, juga butuh alat kampanye yang mahal. Sesederhana apapun tetap membutuhkan uang. Seorang akademisi yang ingin masuk karyanya di jurnal juga butuh dana. Jurnal-jurnal juga mengutip ongkos publikasi dari penulisnya. Bayangkan jika seorang professor dengan pendapatan kecil, bagaimana bias menyampaikan pendapat-pendapat besarnya.
Apalagi akhir-akhir ini, pendapatan di jalur politik dan pekerja sosial tsunami bias sepuluh kali lipat lebih besar dari gaji profesor. Ironisnya, orang-orang yang pendapatannya tinggi itu tak pernah memperjuangkan pendapatan professor. Yang ada adalah menggugat karya professor.
Ada beberapa professor yang akhirnya memilih jalan sendiri, mencari pendapatan di kanan-kiri. Kenyataan ini juga dihantam oleh orang-orang yang pandai-cerdas bicara di media. Mereka berkata: profesor sudah meninggalkan kampus.
Seseorang berbicara, tentu karena pendapatan. Walau untuk menggugat minimnya pendapatan professor, tak banyak yang mau melakukannya.
(Sulaiman Tripa)
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda