Kamis, 23 April 2009

negara yang membahagiakan rakyatnya

NEGARA YANG MEMBAHAGIAKAN RAKYATNYA
(Sulaiman Tripa)

Di tengah kampanye biaya murah kesehatan, masyarakat masih merasakan pelayanan lembaga kesehatan yang mengecewakan (Serambi, 14 04 09). Kesehatan sudah seharusnya ditempatkan pada posisi paling penting dalam pembangunan. Kesehatan masyarakat memiliki efek terhadap bidang-bidang lainnya. Seorang ayah yang menderita sakit, akan berimplikasi kepada terbengkalainya nafkah ekonomi bagi keluarganya.
Masalah pelayanan medis dari negara terhadap rakyatnya, sedang gencar-gencarnya mendapat sorotan. Belum lagi mempertanyakan keberpihakan terhadap masyarakat miskin. Mengenai stratifikasi sosial ini, maka masyarakat yang berada di tingkat paling bawah yang cenderung besar peluang menerima resiko paling berat. Orang-orang yang hanya memiliki akses sampai pada tingkat pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), akan berpikir berulangkali bila ingin mendapatkan ‘fasilitas’ kesehatan di tingkatnya atasnya.
Untuk kapasitas rumah sakit umum saja sudah lazim mendapat sorotan. Bagaimana lagi dengan lembaga yang di bawahnya. Beberapa waktu lalu, anggota legislatif menilai manajemen rumah sakit belum serius melaksanakan misi dan tugasnya melayani masyarakat (Serambi, 12 April 2009).
Terlepas dari masalah itu, bidang kesehatan paling rentan untuk mendapat sorotan. Banyaknya masyarakat miskin, lebih dilihat sebagai efek dari pelayanan ketimbang untuk juga mempertanyakan bagaimana bidang-bidang lain mendukung kesehatan. Lingkup kesehatan harus dilihat dalam lingkup yang luas. Masalah kesehatan, ditentukan oleh banyak aspek yang mengelilinginya. Kesehatan tidak mungkin bisa berdiri dengan gagah dan lantang, kalau proses pembangunan lain (pola kehidupan yang salah) jalan di tempat. Kebijaksanaan harus dilihat secara bersamaan. Pendekatan interaksi dan interelasi secara holistik harus menjadi kunci dalam perumusan kebijakan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan pengawasan di masa depan.
Dalam lingkup medis sendiri, ada beberapa masalah yang selama ini mengemuka. Pertama, sikap sebagian paramedis. Ada oknum yang ’keluyuran’. Sedangkan di beberapa pelosok, pusat kesehatan yang kadangkala mirip ’keude klep’. Sebagai lembaga yang melayani kesehatan masyarakat, apapun alasannya, tidak boleh buka-tutup. Tidak boleh terjadi, tak ada paramedis ketika dibutuhkan. Tekanan ini bukan berarti ingin menutup mata bahwa ada juga perhatian yang timpang terhadap mereka. Paramedis kadangkala seperti guru, yang jasanya teragung tapi ’terpaksa’ bekerja dengan hak seadanya. Ada kasus di beberapa daerah, di mana paramedis belum mendapat penghargaan secara layak –sehingga untuk menuntut hak mereka harus berdemo terlebih dahulu. Bukan tidak ada dokter atau mantri yang seperti ’mewakafkan’ profesinya untuk kesehatan masyarakat. Di kawasan tertentu, di mana kadangkala tak ada paramedis lain yang mau menetap di sana. Saya kira kenyataan seperti ini juga harus mendapat perhatian.
Kedua, kurangnya fasilitas di banyak Puskesmas. Orang kampung tak jarang bercanda begini: berobat di Puskesmas, yang ada hanya obat yang mengenyangkan. Dalam arti, orang-orang tahu persis tingkat kualitas obat yang didapatkannya. Dengan harga yang murah, difahami bahwa fasilitasnya juga apa adanya. Di samping itu, ada juga fasilitas yang tidak atau belum dimanfaatkan. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat ’terpaksa’ harus menggunakan fasilitas swasta yang biayanya mahal. Sudah terlalu familiar kita mendengar orang yang berobat ke Malaysia atau Singapura. Bagi orang yang berada, dengan mudah bisa berbicara tentang naik pesawat ke negeri seberang itu. Lantas bagaimana dengan orang yang hanya mampu mempersiapkan tenaga untuk menerima ’sakit apa adanya?’
Ketiga, kegagapan mengikuti proses administrasi dalam hal memperoleh akses ke pusat kesehatan yang di atasnya. Proses administrasi antara jenjang yang satu berbeda dengan jenjang yang lain. Mendapat fasilitas murah di Puskesmas, ditempuh dengan proses yang berbeda bila ingin mendapatkan fasilitas di rumah sakit. Alasan ini kerap menjadi alasan bagi orang di kampung-kampung untuk tidak berurusan bila tidak sangat mendesak.
Keempat, jaminan kesehatan yang disediakan Pemerintah juga perlu dipantau hingga ke bawah. Para pemangku kepentingan seringkali mengungkapkan adanya dana kesehatan untuk rakyat miskin, namun di banyak tempat, kita membaca berita tentang sulitnya akses memperoleh pelayanan kesehatan miskin tersebut. Artinya, jaminan kesehatan harus dibuat benar-benar dekat dengan rakyatnya.
Kelima, masalah ’kasta’ pelayanan. Lumrah diketahui, bahwa jasa-jasa pelayanan juga berjenjang sedemikian rupa. Kamar-kamar perawatan juga tersedia kelas yang beraneka-ragam. Hal ini berimplikasi –diakui atau tidak—terhadap jangkauan pelayanan hingga ke level yang paling bawah. Jangan sampai lahir anggapan bahwa paramedis itu selalu standby di kamar-kamar VVIP atau VIP, sedangkan yang kelas di bawahnya hanya tersedia pas-pasan.
Sebenarnya bila kita jujur, anggaran untuk kesehatan di negara ini memang kecil. Anggaran kesehatan hanya 2,8 persen (Rp. 20,3 triliun) dari APBN 2009 (Rp.1.037 triliun). Hal ini bisa dibandingkan dengan bidang lainnya, seperti pendidikan (Rp. 207,4 triliun). Jumlah itu sedikit bertambah dari tahun sebelumnya. Anggaran kesehatan tahun 2008 sebesar Rp.18,76 triliun (2,49 persen), 2007 (Rp.18,75 triliun), 2006 (Rp.13,98 triliun), dan 2005 (Rp.11,14 triliun). Padahal Lembaga Kesehaan Dunia Dunia (WHO) sudah menekankan anggaran kesehatan pada level 15 persen.
Berbicara masalah anggaran, tidak terlepas dari proses legilasi dalam mengesahkan APBN. Berbagai aturan juga lahir dari lembaga legislatif. Bukankah masalah kesehatan memperlihatkan kompleksitasnya?
Pada akhirnya, kita juga seperti tidak adil untuk mengkritisi medis habis-habisan. Sedangkan biaya layanan yang disedikan negara demikian kecilnya. Di sini lahir pertanyaan, pada siapa sebenarnya bidang ini diminta pertanggungjawabannya?
Kesehatan adalah masalah kebijakan. Ada proses dari hulu hingga hilir. Namun dalam kenyataan, bila ada persoalaan, maka yang berada di posisi paling rendahlah yang kerap mendapatkan akibatnya.
Dalam kampanye ’mewujudkan masyarakat sehat’, maka melayani kesehatan bagi masyarakat dapat dikatakan sebagai salah satu fondasi dalam pencapaian kesejahteraan. Inilah yang saya sebut tanggung jawab negara untuk membahagiakan rakyatnya. Negara melalui pengelola kebijakan, harus menjamin bahwa layanan kesehatan didapatkan sampai masyarakat yang paling bawah, masyarakat miskin dan masyarakat di kelas akar rumput.
Peran negara ini tidak boleh bergeser ke pihak lain. Masalah kesehatan adalah masalah penting di mana negara harus menjadi pelaku utama. Kecenderungan di negara lain yang mulai menggeser layanan kesehatan kepada pihak swasta, hendaknya tidak ditiru oleh pemerintah kita. Pemerintah perlu meniru negara-negara yang menjalankan kesehatannya dengan sempurna.
Pangkal penting penanganan kesehatan adalah kebijakan. Sudah saatnya kebijakan yang dilahirkan dalam pelayanan kesehatan, selalu dikomunikasikan dengan hati nurani. Sudah ketinggalan zaman bila masalah kesehatan hanya bertumpu pada prosedur semata (Serambi, 02/02/09). Di samping prosedur, pelayanan kesehatan juga harus dirujuk kepada sesuatu yang paling dalam, yakni hati nurani. Nurani itu biasanya akan membantu prosedur dan menjawab dengan jujur kebutuhan pelayanan kesehatan yang bisa membuat rakyat semakin bahagia.[]

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda