Kamis, 23 April 2009

berebut kursi

MENUNGGU ENDING DARI BEREBUT KURSI
(Sulaiman Tripa)
(Serambi Indonesia, 2 April 2009)

Belum ada satu rumah sakit pun di Aceh yang sudah menyediakan ruang atau kamar khusus bagi mereka yang akan gagal menjadi calon legislatif (caleg). Padahal, sebagaimana dituliskan Mukhtaruddin Yacob (Serambi, 28/03/09), potensi gangguan jiwa juga menghantui bagi para caleg di Aceh, di mana dengan jumlah 9.843 yang memperebutkan 736 kursi (DPR RI, DPR Aceh, DPR Kabupaten/Kota), berarti ada 9.107 yang akan tergeser. Ampuh Devayan (29/03/09), dengan bahasa lain memperingatkan pentingnya mempersiapkan diri dari sekarang.
Ada kemungkinan bahwa karena di Aceh juga memiliki rumah sakit jiwa, maka penyediaan kamar khusus tidak dibutuhkan lagi. Bisa jadi hal ini untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap orang-orang yang akan mengisi rumah sakit jiwa nantinya.
Masalah ini berbeda dengan di daerah lain. Kabarnya beberapa rumah sakit di Indonesia sudah mempersiapkan ruang atau kamar yang sangat ekslusif untuk pasien yang mengalami masalah gangguan jiwa. Kamar atau ruang tersebut memang bukan untuk rakyat biasa, tetapi untuk caleg yang tidak terpilih menjadi anggota legislatif. Ada caleg yang diprediksikan akan menjadi penghuni ruang atau kamar jiwa tersebut.
Ada hal yang menarik yang ingin disampaikan dalam tulisan ini. Pertama, bahwa keputusan untuk menghadirkan ruang tersebut, bagi pihak rumah sakit tentu sudah melalui pertimbangan yang matang. Sebuah kebijakan (tepatnya kebijaksanaan) dari pengelolan rumah sakit, tidak mungkin berdasarkan kalkulasi kosong, karena kebijaksanaan demikian menyangkut investasi modal.
Kedua, kebijaksanaan ini dilahirkan oleh pengalaman para ahli jiwa dalam hal mengikuti perkembangan masyarakatnya. Artinya, banyaknya orang yang akan mengalami depresi atau masalah kejiwaan pasca pelaksanaan pemilihan umum 9 April 2009 mendatang, bukanlah perhitungan tanpa dasar. Para ahli jiwa –dengan ilmu dan pengetahuannya—tentu sudah menganalisis hingga lahir kebijaksanaan seperti itu.
Di luar masalah yang dituliskan Mukhtaruddin Yacob dan Ampuh Devayan, sebenarnya ada persoalan yang penting diajukan: bahwa siapa saja sebenarnya yang termasuk dalam 9.843 orang yang berebut kursi legislatif itu? Pertanyaan ini sangat berkaitan bahwa dianggap sebagai apa kekuasaan legislatif?
Hal ini lebih lanjut berkaitan dengan konsep Trias Politica (kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif), dimaka fungsi legislatif adalah melaksanakan fungsi legislasi, pengawasan terhadap pemerintahan, serta melakukan fungsi anggaran.
Nah pertanyaannya, bila 9.843 orang yang berebut kursi legislatif itu tidak dikaitkan dengan keinginan memperkuat kekuasaan legislatif, apa jadinya kekuasaan ini di masa mendatang.
Dalam kacamata hukum, bahwa proses legislasi yang harus dilakukan oleh legislatif nantinya merupakan dambaan banyak orang untuk kesejahteraan dan kebahagiaan. Proses legislasi pada akhirnya harus bisa menjawab proses menuju kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.
Pertarungan inilah yang sedang terjadi. Kegelisahan banyak orang kini mulai memuncak menunggu siapa saja yang akan mengisi kursi-kursi yang tersedia di legislatif tersebut –yang disebut dengan lembaga terhormat. Sedangkan pada saat yang sama, kita juga dengan segenap keprihatinan sedang menanti siapa saja yang akan mengisi rumah sakit yang sudah menyediakan ruang kejiwaan tersebut.
Kegelisahan patut saya ungkapkan dan terus-terang kegelisahan ini sudah berulangkali disampaikan media massa. Karena hal ini sudah diketahui oleh orang banyak, maka mungkin saja kegelisahan ini sebagai kegelisahan berjamaah.
Dugaan dan kegelisahaan yang sering diungkapkan banyak orang tersebut, sebenarnya lebih didasari oleh alasan-alasan sederhana yang sudah luput dari pantauan umum. Saya ingin menekankan frasa ”alasan-alasan sederhana” karena memang hal tersebut sudah dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Orang-orang sudah menganggap hal ini sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar terjadi.
Pertama, legislatif dipandang sebagai tempat mencari rezeki. Di mana-mana, kursi legislatif itu didominasi oleh caleg yang sedang mencoba mencari peruntungan. Dalam posisi legislatif yang seperti ini, pada prinsipnya sama seperti orang yang ingin masuk pegawai negeri sipil. Ketika ada pengumuman, lalu orang berbondong-bondong mendaftar. Hal ini kemudian terbukti dengan banyaknya orang yang mengundurkan sebagai caleg karena sudah terdapat namanya dalam pengumuman calon pegawai negeri sipil.
Dengan alasan bahwa kursi legislatif sebagai peluang mendapat rezeki, maka untuk mendapatkan rezeki tersebut tidak apa-apa kalau dengan mengeluarkan modal terlebih dahulu. Konon, menurut rumah sakit yang sudah menyediakan kamar jiwa, bahwa karena alasan modal inilah yang menyebabkan banyak orang-orang yang tidak terpilih nantinya akan bermasalah dengan kejiwaannya.
Kedua, adalah sesuatu yang disindir Halim Mubary dengan satu kata yang bernama ”jampok” (Serambi, 21/03/09). Kata ini sangat dekat dengan fenomena ”tidak malu”. Kaitannya adalah tentang orang Aceh yang diklaim sebagai daerah agamis, tentu di dalamnya sepenuhnya orang-orang agamis. Masalahnya, salah satu indikator agamis itu adalah ”punya malu”. Dalam mengisi kursi untuk jabatan tertentu (termasuk legislatif), maka orang yang ”punya malu” tidak akan meminta jabatan atau meminta dirinya dipilih untuk jabatan itu.
Lalu adakah orang-orang yang seperti itu dalam penjaringan caleg di daerah kita? Kita bisa melihat wajah-wajah manis dengan senyum sumringah, selalu dihiasi dengan kata-kata ”pilihlah saya”, karena dengan memilih saya, maka ”akan begini atau akan begitu.” Menyedihkan ketika janji yang ditawarkan kadangkala hanya mengulang-ngulang sebagaimana juga dilakukan oleh caleg-caleg pada periode yang lalu. Sudah jutaan orang mengucapkan janji demi janji. Saya ingat sebuah televisi menanyakan seorang masyarakat, ”bagaimana nantinya seseorang waktu menjadi anggota dewan”, orang itu dengan lugu menjawab bahwa keadaannya sama saja. Lalu ada pertanyaan, apa yang dilakukan orang yang memahami seperti itu. Jawabannya sederhana, ”ambil yang dikasih, tapi di bilik suara, kita tentu punya pilihan sendiri.”
Ketiga, wajar bila ada yang mengungkapkan kegelisahannya terhadap profil lembaga legislatif di masa mendatang. Atas dasar apa seseorang dipilih? Apakah karena uang? Karena teman, keluarga, dan sebagainya? Hal ini semua sangat berpengaruh pada profil lembaga ini di masa mendatang.
Sejauhmana kualitas legislatif, pada akhirnya akan berakibat langsung kepada masyarakat. Proses regulasi, pengawasan dan anggaran yang akan menjadi tugas legislatif, sangat dipengaruhi oleh kualitas orang yang merumuskan regulasi, melakukan pengawasan, dan melaksanakan fungsi anggaran tersebut. Regulasi yang memihak rakyat, pengawasan yang berbasis untuk mensejahterakan rakyat, atau merumuskan anggaran yang juga berpihak, tentu sangat ditentukan oleh kualitas.
Apapun masalah dan kenyataannya, kita sebenarnya sedang menunggu ending dari orang-orang yang sedang berebut kursi. Jangan-jangan, orang-orang yang berkualitas, tetapi tidak terpilih pada pemilihan umum 9 April mendatang, juga akan merasakan ruang yang disediakan oleh rumah sakit jiwa. Entahlah. Kita doakan tidak seperti itu. Mudah-mudahan Allah memberi keselamatan kepada kita semua dari dunia hingga akhirat, dalam kondisi terpilih atau tidak terpilih, kita semua tetap sehat lahir-batin.[]

negara yang membahagiakan rakyatnya

NEGARA YANG MEMBAHAGIAKAN RAKYATNYA
(Sulaiman Tripa)

Di tengah kampanye biaya murah kesehatan, masyarakat masih merasakan pelayanan lembaga kesehatan yang mengecewakan (Serambi, 14 04 09). Kesehatan sudah seharusnya ditempatkan pada posisi paling penting dalam pembangunan. Kesehatan masyarakat memiliki efek terhadap bidang-bidang lainnya. Seorang ayah yang menderita sakit, akan berimplikasi kepada terbengkalainya nafkah ekonomi bagi keluarganya.
Masalah pelayanan medis dari negara terhadap rakyatnya, sedang gencar-gencarnya mendapat sorotan. Belum lagi mempertanyakan keberpihakan terhadap masyarakat miskin. Mengenai stratifikasi sosial ini, maka masyarakat yang berada di tingkat paling bawah yang cenderung besar peluang menerima resiko paling berat. Orang-orang yang hanya memiliki akses sampai pada tingkat pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), akan berpikir berulangkali bila ingin mendapatkan ‘fasilitas’ kesehatan di tingkatnya atasnya.
Untuk kapasitas rumah sakit umum saja sudah lazim mendapat sorotan. Bagaimana lagi dengan lembaga yang di bawahnya. Beberapa waktu lalu, anggota legislatif menilai manajemen rumah sakit belum serius melaksanakan misi dan tugasnya melayani masyarakat (Serambi, 12 April 2009).
Terlepas dari masalah itu, bidang kesehatan paling rentan untuk mendapat sorotan. Banyaknya masyarakat miskin, lebih dilihat sebagai efek dari pelayanan ketimbang untuk juga mempertanyakan bagaimana bidang-bidang lain mendukung kesehatan. Lingkup kesehatan harus dilihat dalam lingkup yang luas. Masalah kesehatan, ditentukan oleh banyak aspek yang mengelilinginya. Kesehatan tidak mungkin bisa berdiri dengan gagah dan lantang, kalau proses pembangunan lain (pola kehidupan yang salah) jalan di tempat. Kebijaksanaan harus dilihat secara bersamaan. Pendekatan interaksi dan interelasi secara holistik harus menjadi kunci dalam perumusan kebijakan, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan pengawasan di masa depan.
Dalam lingkup medis sendiri, ada beberapa masalah yang selama ini mengemuka. Pertama, sikap sebagian paramedis. Ada oknum yang ’keluyuran’. Sedangkan di beberapa pelosok, pusat kesehatan yang kadangkala mirip ’keude klep’. Sebagai lembaga yang melayani kesehatan masyarakat, apapun alasannya, tidak boleh buka-tutup. Tidak boleh terjadi, tak ada paramedis ketika dibutuhkan. Tekanan ini bukan berarti ingin menutup mata bahwa ada juga perhatian yang timpang terhadap mereka. Paramedis kadangkala seperti guru, yang jasanya teragung tapi ’terpaksa’ bekerja dengan hak seadanya. Ada kasus di beberapa daerah, di mana paramedis belum mendapat penghargaan secara layak –sehingga untuk menuntut hak mereka harus berdemo terlebih dahulu. Bukan tidak ada dokter atau mantri yang seperti ’mewakafkan’ profesinya untuk kesehatan masyarakat. Di kawasan tertentu, di mana kadangkala tak ada paramedis lain yang mau menetap di sana. Saya kira kenyataan seperti ini juga harus mendapat perhatian.
Kedua, kurangnya fasilitas di banyak Puskesmas. Orang kampung tak jarang bercanda begini: berobat di Puskesmas, yang ada hanya obat yang mengenyangkan. Dalam arti, orang-orang tahu persis tingkat kualitas obat yang didapatkannya. Dengan harga yang murah, difahami bahwa fasilitasnya juga apa adanya. Di samping itu, ada juga fasilitas yang tidak atau belum dimanfaatkan. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat ’terpaksa’ harus menggunakan fasilitas swasta yang biayanya mahal. Sudah terlalu familiar kita mendengar orang yang berobat ke Malaysia atau Singapura. Bagi orang yang berada, dengan mudah bisa berbicara tentang naik pesawat ke negeri seberang itu. Lantas bagaimana dengan orang yang hanya mampu mempersiapkan tenaga untuk menerima ’sakit apa adanya?’
Ketiga, kegagapan mengikuti proses administrasi dalam hal memperoleh akses ke pusat kesehatan yang di atasnya. Proses administrasi antara jenjang yang satu berbeda dengan jenjang yang lain. Mendapat fasilitas murah di Puskesmas, ditempuh dengan proses yang berbeda bila ingin mendapatkan fasilitas di rumah sakit. Alasan ini kerap menjadi alasan bagi orang di kampung-kampung untuk tidak berurusan bila tidak sangat mendesak.
Keempat, jaminan kesehatan yang disediakan Pemerintah juga perlu dipantau hingga ke bawah. Para pemangku kepentingan seringkali mengungkapkan adanya dana kesehatan untuk rakyat miskin, namun di banyak tempat, kita membaca berita tentang sulitnya akses memperoleh pelayanan kesehatan miskin tersebut. Artinya, jaminan kesehatan harus dibuat benar-benar dekat dengan rakyatnya.
Kelima, masalah ’kasta’ pelayanan. Lumrah diketahui, bahwa jasa-jasa pelayanan juga berjenjang sedemikian rupa. Kamar-kamar perawatan juga tersedia kelas yang beraneka-ragam. Hal ini berimplikasi –diakui atau tidak—terhadap jangkauan pelayanan hingga ke level yang paling bawah. Jangan sampai lahir anggapan bahwa paramedis itu selalu standby di kamar-kamar VVIP atau VIP, sedangkan yang kelas di bawahnya hanya tersedia pas-pasan.
Sebenarnya bila kita jujur, anggaran untuk kesehatan di negara ini memang kecil. Anggaran kesehatan hanya 2,8 persen (Rp. 20,3 triliun) dari APBN 2009 (Rp.1.037 triliun). Hal ini bisa dibandingkan dengan bidang lainnya, seperti pendidikan (Rp. 207,4 triliun). Jumlah itu sedikit bertambah dari tahun sebelumnya. Anggaran kesehatan tahun 2008 sebesar Rp.18,76 triliun (2,49 persen), 2007 (Rp.18,75 triliun), 2006 (Rp.13,98 triliun), dan 2005 (Rp.11,14 triliun). Padahal Lembaga Kesehaan Dunia Dunia (WHO) sudah menekankan anggaran kesehatan pada level 15 persen.
Berbicara masalah anggaran, tidak terlepas dari proses legilasi dalam mengesahkan APBN. Berbagai aturan juga lahir dari lembaga legislatif. Bukankah masalah kesehatan memperlihatkan kompleksitasnya?
Pada akhirnya, kita juga seperti tidak adil untuk mengkritisi medis habis-habisan. Sedangkan biaya layanan yang disedikan negara demikian kecilnya. Di sini lahir pertanyaan, pada siapa sebenarnya bidang ini diminta pertanggungjawabannya?
Kesehatan adalah masalah kebijakan. Ada proses dari hulu hingga hilir. Namun dalam kenyataan, bila ada persoalaan, maka yang berada di posisi paling rendahlah yang kerap mendapatkan akibatnya.
Dalam kampanye ’mewujudkan masyarakat sehat’, maka melayani kesehatan bagi masyarakat dapat dikatakan sebagai salah satu fondasi dalam pencapaian kesejahteraan. Inilah yang saya sebut tanggung jawab negara untuk membahagiakan rakyatnya. Negara melalui pengelola kebijakan, harus menjamin bahwa layanan kesehatan didapatkan sampai masyarakat yang paling bawah, masyarakat miskin dan masyarakat di kelas akar rumput.
Peran negara ini tidak boleh bergeser ke pihak lain. Masalah kesehatan adalah masalah penting di mana negara harus menjadi pelaku utama. Kecenderungan di negara lain yang mulai menggeser layanan kesehatan kepada pihak swasta, hendaknya tidak ditiru oleh pemerintah kita. Pemerintah perlu meniru negara-negara yang menjalankan kesehatannya dengan sempurna.
Pangkal penting penanganan kesehatan adalah kebijakan. Sudah saatnya kebijakan yang dilahirkan dalam pelayanan kesehatan, selalu dikomunikasikan dengan hati nurani. Sudah ketinggalan zaman bila masalah kesehatan hanya bertumpu pada prosedur semata (Serambi, 02/02/09). Di samping prosedur, pelayanan kesehatan juga harus dirujuk kepada sesuatu yang paling dalam, yakni hati nurani. Nurani itu biasanya akan membantu prosedur dan menjawab dengan jujur kebutuhan pelayanan kesehatan yang bisa membuat rakyat semakin bahagia.[]

manajemen komunitas

MANAJEMEN PERIKANAN BERBASIS KOMUNITAS
(Sulaiman Tripa)

Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, sudah lama dikenal salah satu pendekatan yang dinamakan dengan community based management (CBM) atau pengelolaan berbasis masyarakat. Namun demikian, pendekatan ini baru dalam satu dekade terakhir mendapat posisi yang kuat.
Sudah lama sekali pendekatan ini tidak dipakai dalam mengelola sumberdaya. Penyebabnya bisa ditebak, bahwa keinginan memanfaatkan sumberdaya untuk mengejar kekayaan dalam bentuknya yang materil, kerap berbenturan dengan manajemen masyarakat yang berbasis pada kelestarian. Pola yang kedua hanya dijalankan untuk memenuhi kebutuhan hidup semata.
Dalam konsep aslinya, pendekatan berbasis masyarakat ini adalah apa yang menjadi kenyataan berupa kearifan lokal, kebiasaan dan adat. Dalam masyarakat Aceh misalnya, dikenal dengan adat laot, adat blang, hingga adat gle. Pengaturan adat tersebut mengatur salah satunya manajemen dalam pemanfaatan sumberdaya.
Intinya, pendekatan ini berada dalam lingkup pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan pengetahuan, kearifan, dan kesadaran masyarakat lokal sebagai konsep dasar pengelolaannya. Konsep ini, tidak mungkin dipisahkan dari pengaruh unsur religiusitas di dalamnya. Malah salah satu kekhasan yang dimiliki masyarakat dengan pengetahuan lokalnya adalah adanya unsur agama di dalamnya. Seseorang yang melakukan sesuatu turut didasari oleh pertimbangan selaras atau tidaknya dengan nilai-nilai agama.
Hal yang sama terlihat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Berbagai kearifan dan aturan adat yang mengatur bagaimana perikanan dikelola, pada akhirnya dikaitkan dengan nilai-nilai Islam. Artinya dalam lingkup perikanan pun, tidak bisa dipisahkan dari pengaruh kepercayaan yang dimilikinya. Bisa dikatakan di sinilah kelebihan dalam menggunakan kenyataan ini sebagai salah satu pendekatan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di masa mendatang. Apalagi dalam pendekatan pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayahnya.
Bila kita menelusuri lebih jauh, sebenarnya akar filosofis dari menyelamatkan sosial dari persoalan lingkungan hidup adalah sebagaimana dalam Penjelasan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyebutkan bahwa ”Kegiatan pembangunan yang makin meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan hidup sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya.”
Sangat penting diberi penekanan pada frase; ”perusakan lingkungan hidup itu akan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya,” karena hal ini berkaitan dengan konsep yang sangat maju. Menurut saya, keberpihakan terhadap manajemen berbasis masyarakat, pada akhirnya juga sebuah jalan untuk melindungi jalan kesejahteraan yang paling hakiki untuk masyarakat yang bersangkutan. Saya kita konsep kesejahteraan sangat terkait dengan maksud ”beban sosial” ini. Kesejahteraan yang ”materil” kerap melupakan ”beban sosial” dimaksud.
Dalam konteks kearifan lokal, ”beban sosial” ini seperti sudah diperhitungkan –walau bukan lewat kalkulasi intelektual. Kita akan menemukan betapa kearifan lokal memiliki banyak kemajuan dalam mengatur ”eksploitasi” terhadap alam.
Di samping itu, setelah perbincangan pendekatan di atas dilakukan (bentuk kearifan dan kesadaran masyarakat lokal), bentuk lain lagi lahir, yakni pengelolaan bersama perikanan berbasis komunitas. Kedua pendekatan tersebut menempatkan masyarakat sendiri sebagai pendefinisi kebutuhan, tujuan, dan keputusan. Di samping itu, kedua pendekatan ini juga melibatkan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah, yang sama-sama berperan dalam pengelolaan perikanan.
Selebihnya, kita mengenai pula manajemen bersama pengelolaan perikanan, di mana semua stakeholders atau pemangku kepentingan saling membagi peran dan tanggung jawab dalam mengelola sumberdaya perikanan.
Sebenarnya, inti dari ketiga pendekatan pengelolaan perikanan tersebut, adalah bagaimana generasi mendatang dari umat manusia masih bisa mendapatkan sumberdaya perikanan untuk kebutuhan hidupnya.
Menurut Tulungen dkk (2000), pengelolaan berbasis masyarakat sudah merupakan suatu pendekatan yang banyak dipakai di berbagai negara di dunia ini, khususnya di negara-negara berkembang. Pendekatan ini secara luas digunakan di wilayah Asia Pasifik seperti di negara-negara Filipina dan Pasifik Selatan. Malah menurut mereka, di negara-negara di mana sistem pemerintahannya semakin mengarah pada desentralisasi dan otonomi lokal, pendekatan berbasis masyarakat ini dapat merupakan pendekatan yang lebih tepat guna, lebih mudah dan dalam jangka panjang dapat terbukti lebih efektif dalam hal biaya.
Pasca lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006, Pemerintahan Aceh telah medapat kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik, kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisia, moneter dan fiscal, dan urusan tertentu dalam bidang agama.
Di samping itu, delegasi ini juga dengan jelas diatur UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang antara lain, “Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut”. Kewenangan ini diatur dalam jarak 12 mil untuk provinsi, dan sepertiganya untuk kabupaten dan kota.
Seterusnya diatur bahwa kewenangan tersebut meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi, pengelolaan kekayaan laut, pengaturan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah, ikut serta dalam pemeliharaan keamanan, dan ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.
Kewenangan yang besar masa otonomi ini, merupakan momentum pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat dilaksanakan. Pendekatan ini menjanjikan untuk masa depan, khususnya dalam konteks upaya peningkatan partisipasi masyarakat. Namun yang harus menjadi perhatian, sejauhmana kebijakan Pemerintah Daerah akan berpihak dalam pendekatan ini.
Apalagi khusus untuk Aceh, Pasal 162 ayat (2) huruf (e) memberi wewenang yang cukup jelas. Bila dilaksanakan sebagaimana mestinya, keberadaan hukom adat laot menjadi manajemen paling strategis dalam pengelolaan berbasis masyarakat di masa mendatang.
Dengan pendekatan ini, kita akan mendapatkan beberapa keuntungan penting di mana keberpihakan itu menjadi semakin jelas. Pertama, masyarakat yang ada di wilayah pesisir ikut mengontrol sumberdaya perikanan dan lautan yang tersedia di sekitar mereka. Dengan demikian, kemunduran atau kemajuan –akan banyak ditentukan oleh masyarakat sendiri. Kedua, dalam hal peningkatan kualitas kehidupan mereka, sebagai konsekuensi dari pengontrolan, juga akan bisa seimbang dalam hal mengeksploitasi. Ketiga, tak bisa dilupakan bahwa pendekatan ini berbiaya murah, karena menyangkut dua hubungan penting dalam kehidupan manusia: hubungan dengan sesama manusia, dan hubungan dengan Pencipta –hubungan ini yang tidak dimiliki oleh banyak pendekatan lain.
Namun demikian pendekatan ini bukan tanpa kelemahan. Di tengah gencarnya kampanye kehidupan modern yang individualistik, konsep yang berbasis kebersamaan dipandang sebagai konsep yang ketinggalan zaman. Di samping itu, konsep seperti ini pasti akan dibenci oleh orang atau kelompok yang hanya mengejar keuntungan uang semata.
Satu hal yang patut diingat, bahwa dunia yang berbasis tuntutan material, memiliki peluang lebih besar untuk mengalahkan dunia yang ingin hidup selaras atau seimbang dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada.[]

qanun di Aceh

PEMBENTUKAN QANUN DI ACEH
(Sulaiman Tripa)

Ada dua fenomena menarik perihal keberadaan qanun di Aceh, yakni: Pertama, qanun kalah cepat dengan pertumbuhan kota (Serambi, 05/04/09). Disebutkan bahwa sebuah perangkat hukum atau qanun yang dibutuhkan dalam menyahuti pesatnya pertumbuhan Kota Banda Aceh, ternyata belum mampu dipenuhi. Berita ini terkait dengan kondisi dimana pembangunan pertokoan atau bangunan liar (tanpa IMB) terus menjamur dan tanpa terbendung. Pembangunan pertokoan sebagai cermin geliat perekonomian yang terus tumbuh. Namun IMB sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah (PAD) belum bisa tergarap secara optimal. Intinya, sebagian pihak menyebutkan bahwa revisi Qanun Tata Ruang dibutuhkan dalam rangka meningkatkan sektor pendapatan. Revisi qanun berkaitan dengan denda yang sangat kecil bila dibandingkan dengan nilai asset.
Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Pidie Jaya menghasilkan 18 qanun dalam setahun (Serambi, 05/04/09). Dari 18 qanun, hanya satu qanun dari inisiatif dewan. Sedangkan qanun lainnya semua hasil inisiatif dan prakarsa eksekutif. Ke-18 qanun tersebut, antara lain Qanun Transparansi dan Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Pidie Jaya, Qanun APBK 2008, Qanun Penghapusan Kelurahan dan Pembentukan Gampong, Qanun Pengelolaan dan Aset Daerah, Qanun Pajak Galian Golongan C, Qanun Pajak Sarang Walet, Qanun Retribusi Pelayanan Pasar, Qanun Retribusi Tempat Pelelangan Ikan, Qanun Perubahan APBK 2008, Qanun Retribusi Gangguan (HO), Qanun Retribusi Surat Izin Usaha Perdagangan, Qanun Retribusi Surat Izin Tempat Usaha, Qanun Setdakab dan Sekwan, Qanun Dinas dan LTD, Qanun Kecamatan, Qanun Retribusi IMB, dan Qanun APBK 2009.
Ada persamaan dari dua berita tersebut, yakni bagaimana qanun dipandang sebagai media untuk meningkatkan kesejahteraan dalam wujud materil berupa pendapatan asli daerah. Di sini, saluran meningkatkan kesejahteraan seolah-olah hanya dimungkinkan melalui pendapatan asli daerah semata. Padahal kalau kita maknai secara kritis, bahwa sebenarnya konteks kesejahteraan tak hanya melalui pemasukan pendapatan saja. Sebaliknya, konteks kesejahteraan bisa dilihat dengan tidak banyak dana yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki kehidupan sosial.
Ada contoh menarik dalam perkembangan pasca pelaksanaan otonomi di Indonesia –termasuk di Aceh, yakni ada kecenderungan kebijakan di daerah untuk membuka peluang selebar-lebarnya dalam rangka mengeksploitasi potensi alam untuk mendapatkan pendapatan bagi daerahnya. Banyak daerah yang menjadikan galian golongan C sebagai pendapatan potensial bagi daerahnya. Namun pada saat yang sama, sebenarnya ada kerusakan yang harus ditanggung, kadangkala untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan social membutuhkan dana yang lebih besar dari pendapatan yang dikumpulkan. Kerusakan aliran sungai, pada kenyataannya membutuhkan dana pembangunan untuk merehabilitasinya. Bila diukur-ukur, maka biasanya dana untuk merehab jauh lebih besar ketimbang dana yang didapatkan dari pendapatan PAD.
Dalam kasus banjir, galian C juga turut memberi pengaruh. Kita semua tahu bahwa kerugian akibat banjir tidak pernah dihitung secara konkret. Padahal bila semua kerugian akibat banjir dihitung dengan cermat, belum tentu kerugian yang dialami masyarakat lebih rendah ketimbang pendapatan dari sektor tersebut.
Dalam hal ini, sudah seyogianya pertimbangan-pertimbangan sosial seperti di atas turut diperhatikan dalam merumuskan sebuah qanun. Sebuah produk perundang-undangan tidak hanya dilihat akan menghasilkan apa saja, namun penting juga untuk mempertanyakan konsekuensi apa yang akan dirasakan masyarakat karena hadirnya qanun tersebut.
Sebuah qanun seperti ini memberi kita pilihan. Masalahnya adalah kita akan memilih yang mana. Acapkali kita akan memilih peluang untuk menghasilkan sejumlah nilai pendapatan yang konkret, dan mengabaikan ancaman terhadap kerugian sosial yang bakal dialami. Dengan nilai pendapatan tersebut, kerapkali membuat kita subjektif dalam melihat permasalahan. Misalnya pendapatan dari sektor hutan sekian rupiah, seyogianya harus memperhitungkan sebesar apa kerugian sosial yang akan dialami masyarakat bila berulang-ulang merasakan banjir.
Ketepatan dalam melihat pilihan tersebut, akan sangat menentukan kita akan memihak kemana. Ada sebuah gurauan masa lalu yang pernah diungkapkan oleh seorang Sosiolog, bahwa ada kecenderungan daerah untuk mengejar menyelesaikan qanun yang Rp ketimbang qanun yang PR. Qanun-qanun yang Rp (rupiah) biasanya berkaitan dengan hal-hal pendapatan. Sementara qanun PR (pekerjaan rumah), adalah qanun-qanun yang berhubungan langsung dengan konsep mensejahterakan (dalam arti luas) masyarakat.
Untuk jangka pendek, qanun-qanun Rp sebenarnya juga dikampanyekan untuk mensejahterakan rakyat (dalam arti sempit). Namun kesejahteraan itu dihantui oleh pengrusakan yang jauh lebih hebat. Di sinilah dalam konteks potensi alam, perlu dilakukan penolakan sebuah rumus “modal kecil untuk untung yang besar”.
Berkaitan dengan keberadaan izin mendirikan bangunan (IMB), pertimbangan kesejahteraan ini juga harus diperhatikan. Seyogianya IMB tak hanya berkaitan dengan pendapatan. Masalah tata ruang terkait dengan sebuah sistem pengelolaan ruang yang luas. Jangan sampai karena ada peluang meraih pendapatan dari sektor ini (ekonomi), sementara mengabaikan faktor lingkungan, sosial, budaya, bahkan nilai religi menjadi dinomorduakan. Karena pengabaikan faktor-faktor tersebut pada akhirnya akan membawa kerugian yang berlipat-lipat ketimbang pendapatan yang diperoleh.
Seperti inilah yang saya maksudkan bahwa penting memahami berbagai pertimbangan dalam menentukan pilihan dalam merumuskan qanun. Bila setiap qanun dalam proses pembentukannya selalu mempertimbangkan hal-hal begini, maka dapat dibayangkan betapa luar biasa ribuan qanun yang sudah dihasilkan di Aceh. Ribuan qanun ini dihitung, bila satu Kabupaten/Kota rata-rata sudah menghasilkan 40-50 qanun, maka di Aceh paling tidak sudah ada 1.000 qanun (pendapat ini pernah disampaikan Dr Mahdi Syahbandir, dosen FH Unsyiah di harian ini).
Proses ini memang berat. Karena dengan program legislasi yang telah disusun, rata-rata daerah masih harus menyelesaikan proyeksi qanun. Harus diselesaikan, berarti ada kaitan dengan, ‘keharusan’, ‘kemestian’, ‘wajib’, untuk mengisi aturan hukum karena kekosongan dan / atau karena tidak up to date peraturan yang sudah ada.
Sejumlah gejala yang juga beriringan dengan penyelesaikan qanun tersebut, adalah cepat usangnya qanun yang sudah ada atau dibuat. Banyak qanun yang kemudian direvisi atau diharapkan masuk dalam program legislasi untuk dilakukan revisi. Gejala ini, bila dibongkar dari dasar, tentu karena ada masalah di dalamnya. Masalah tersebut, antara lain karena tidak ada kematangan saat penyusunan, serta dangkalnya kajian yang menyangkut dengan pembentukan qanun.
Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sebuah qanun diharuskan memenuhi aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis. Ketiga aspek ini sebagai catatan paling dasar dalam menyusun sebuah qanun.
Di samping itu, bila kita merujuk Pasal 2, Pasal 11, dan Pasal 20 Qanun Nomor 3 Tahun 2007, maka ada beberapa hal yang juga wajib diikuti. Qanun dibentuk berdasarkan asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentukan yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, keterlaksanaan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, keterbukaan, dan keterlibatan publik. Konsepsi rancangan qanun, berisi antara lain latar belakang dan tujuan penyusunan, dasar hukum, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup atau objek yang akan diatur, jangkauan serta arah pengaturan, dan keterkaitan dengan peraturan perundang-undangan lain.
Batasan tersebut, secara implisit juga mengharuskan dalam membentuk qanun untuk melihat rakyat sebagai sasarannya. Konsep untuk kesejahteraan dalam arti luas yang menjadi harapan banyak orang, sebenarnya adalah konsep menuju kebahagian bagi masyarakat kita.[]

Kamis, 02 April 2009

Menunggu Ending dari Berebut Kursi

BELUM ada satu rumah sakit pun di Aceh yang sudah menyediakan ruang atau kamar khusus bagi mereka yang akan gagal menjadi calon legislatif (caleg). Padahal, sebagaimana dituliskan Mukhtaruddin Yacob (Serambi, 28/03/09), potensi gangguan jiwa juga menghantui bagi para caleg di Aceh, di mana dengan jumlah 9.843 yang memperebutkan 736 kursi (DPR RI, DPR Aceh, DPR Kabupaten/Kota), berarti ada 9.107 yang akan tergeser. Ampuh Devayan (29/03/09), dengan bahasa lain memperingatkan pentingnya mempersiapkan diri dari sekarang. Peringatan ini juga disampaikan Roys Vahlevi (Serambi, 31/03/09) bagi caleg yang akan tergelepar.

Ada kemungkinan, karena di Aceh juga memiliki rumah sakit jiwa. Maka penyediaan kamar khusus tidak dibutuhkan lagi. Bisa jadi hal ini untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap orang-orang yang akan mengisi rumah sakit jiwa nantinya. Masalah ini berbeda dengan di daerah lain. Kabarnya beberapa rumah sakit di Indonesia sudah mempersiapkan ruang atau kamar yang sangat ekslusif untuk pasien yang mengalami masalah gangguan jiwa. Kamar atau ruang tersebut memang bukan untuk rakyat biasa, tetapi untuk caleg yang tidak terpilih menjadi anggota legislatif.

Ada caleg yang diprediksikan akan menjadi penghuni ruang atau kamar jiwa tersebut. Namun ada hal yang menarik ingin saya sampaikan. Pertama, bahwa keputusan untuk menghadirkan ruang tersebut, bagi pihak rumah sakit tentu sudah melalui pertimbangan yang matang. Sebuah kebijakan (tepatnya kebijaksanaan) dari pengelolan rumah sakit, tidak mungkin berdasarkan kalkulasi kosong, karena kebijaksanaan demikian menyangkut investasi modal.

Kedua, kebijaksanaan ini dilahirkan oleh pengalaman para ahli jiwa dalam hal mengikuti perkembangan masyarakatnya. Artinya, banyaknya orang yang akan mengalami depresi atau masalah kejiwaan pasca pelaksanaan pemilihan umum 9 April 2009 mendatang, bukanlah perhitungan tanpa dasar. Para ahli jiwa -dengan ilmu dan pengetahuannya-tentu sudah menganalisis hingga lahir kebijaksanaan seperti itu.

Di luar masalah yang dituliskan Mukhtaruddin Yacob dan Ampuh Devayan, sebenarnya ada persoalan yang penting diajukan: bahwa siapa saja sebenarnya yang termasuk dalam 9.843 orang yang berebut kursi legislatif itu? Pertanyaan ini sangat berkaitan bahwa dianggap sebagai apa kekuasaan legislatif? Ini berkaitan dengan konsep Trias Politica (kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif), dimana fungsi legislatif adalah melaksanakan legislasi, pengawasan terhadap pemerintahan, serta melakukan fungsi anggaran.

Nah pertanyaannya, bila 9.843 orang yang berebut kursi legislatif itu tidak dikaitkan dengan keinginan memperkuat kekuasaan legislatif, apa jadinya kekuasaan ini di masa mendatang.

Dalam kacamata hukum, bahwa proses legislasi yang harus dilakukan oleh legislatif nantinya merupakan dambaan banyak orang untuk kesejahteraan dan kebahagiaan. Proses legislasi pada akhirnya harus bisa menjawab proses menuju kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat.

Pertarungan itulah yang sedang terjadi. Kegelisahan banyak orang kini mulai memuncak menunggu siapa saja yang akan mengisi kursi-kursi yang tersedia di legislatif tersebut -yang disebut dengan lembaga terhormat. Pada saat yang sama, kita juga dengan segenap keprihatinan sedang menanti siapa saja yang akan mengisi rumah sakit yang sudah menyediakan ruang kejiwaan tersebut.

Kegelisahan patut saya ungkapkan dan terus-terang kegelisahan ini sudah berulangkali disampaikan media massa. Karena hal ini sudah diketahui oleh orang banyak, maka mungkin saja kegelisahan ini sebagai kegelisahan berjamaah. Dugaan dan kegelisahaan yang sering diungkapkan banyak orang tersebut, sebenarnya lebih didasari oleh alasan-alasan sederhana yang sudah luput dari pantauan umum. Saya ingin menekankan frasa “alasan-alasan sederhana” karena memang hal tersebut sudah dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Orang-orang sudah menganggap hal ini sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar terjadi. Pertama, legislatif dipandang sebagai tempat mencari rezeki. Di mana-mana, kursi legislatif itu didominasi oleh caleg yang sedang mencoba mencari peruntungan. Dalam posisi legislatif yang seperti ini, pada prinsipnya sama seperti orang yang ingin masuk pegawai negeri sipil. Ketika ada pengumuman, lalu orang berbondong-bondong mendaftar. Hal ini kemudian terbukti dengan banyaknya orang yang mengundurkan sebagai caleg karena sudah terdapat namanya dalam pengumuman calon pegawai negeri sipil.

Dengan alasan bahwa kursi legislatif sebagai peluang mendapat rezeki, maka untuk mendapatkan rezeki tersebut tidak apa-apa kalau dengan mengeluarkan modal terlebih dahulu. Konon, menurut rumah sakit yang sudah menyediakan kamar jiwa, bahwa karena alasan modal inilah yang menyebabkan banyak orang-orang yang tidak terpilih nantinya akan bermasalah dengan kejiwaannya.

Kedua, ada satu kata sebagai disatir Halim Mubary, yaitu bernama “jampok” (Serambi, 21/03/09). Kata ini sangat dekat dengan fenomena “tidak malu”. Kaitannya adalah tentang orang Aceh yang diklaim sebagai daerah agamis, tentu di dalamnya sepenuhnya orang-orang agamis. Masalahnya, salah satu indikator agamis itu adalah “punya malu”. Dalam mengisi kursi untuk jabatan tertentu (termasuk legislatif), maka orang yang “punya malu” tidak akan meminta jabatan atau meminta dirinya dipilih untuk jabatan itu.

Lalu adakah orang-orang yang seperti itu dalam penjaringan caleg di daerah kita? Kita bisa melihat wajah-wajah manis dengan senyum sumringah, selalu dihiasi dengan kata-kata “pilihlah saya”, karena dengan memilih saya, maka “akan begini atau akan begitu.” Menyedihkan ketika janji yang ditawarkan kadangkala hanya mengulang-ngulang sebagaimana juga dilakukan oleh caleg-caleg pada periode yang lalu. Sudah jutaan orang mengucapkan janji demi janji. Saya ingat sebuah televisi menanyakan seorang masyarakat, “bagaimana nantinya seseorang waktu menjadi anggota dewan”, orang itu dengan lugu menjawab bahwa keadaannya sama saja. Lalu ada pertanyaan, apa yang dilakukan orang yang memahami seperti itu. Jawabannya sederhana, “ambil yang dikasih, tapi di bilik suara, kita tentu punya pilihan sendiri.”

Ketiga, wajar bila ada yang mengungkapkan kegelisahannya terhadap profil lembaga legislatif di masa mendatang. Atas dasar apa seseorang dipilih? Apakah karena uang? Karena teman, keluarga, dan sebagainya? Semua ini sangat berpengaruh pada profil lembaga ini di masa mendatang. Sejauhmana kualitas legislatif, pada akhirnya akan berakibat langsung kepada masyarakat.

Proses regulasi, pengawasan dan anggaran yang akan menjadi tugas legislatif, sangat dipengaruhi oleh kualitas orang yang merumuskan regulasi, melakukan pengawasan, dan melaksanakan fungsi anggaran tersebut. Regulasi yang memihak rakyat, pengawasan yang berbasis untuk mensejahterakan rakyat, atau merumuskan anggaran yang juga berpihak, tentu sangat ditentukan oleh kualitas.

Apapun masalah dan kenyataannya, kita sebenarnya sedang menunggu ending dari oran-orang yang sedang berebut kursi. Jangan-jangan, orang-orang yang berkualitas, tetapi tidak terpilih pada pemilihan umum 9 April mendatang, juga akan merasakan ruang yang disediakan oleh rumah sakit jiwa. Entahlah. Kita doakan tidak seperti itu. Mudah-mudahan Allah memberi keselamatan kepada kita semua dari dunia hingga akhirat, dalam kondisi terpilih atau tidak terpilih, kita semua tetap sehat lahir-batin.

(Sulaiman Tripa, 02/04/09)

Jumat, 06 Februari 2009

ROKOK

> > Sulaiman Tripa
(Harian Serambi Indonesia, Kamis, 4 Februari 2009)

Laporan Departemen Kesehatan, menempatkan Aceh paling jorok dalam hal merokok (Serambi, 3/2/09).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Aceh merupakan salah satu kawasan orang-orang yang banyak mengonsumsi rokok.
Bila saja kita baca kembali apa yang disebutkan pada setiap bungkus rokok, “merokok dapat menyebabkan kanker, impotensi, penyakit jantung, dan gangguan kehamilan,” berarti karena rokok (akan) menyebabkan perokok di Aceh mendapatkan penyakit-penyakit yang tersebut pada bungkus rokok. Artinya, bila seseorang di Aceh sakit, maka ia akan berobat di Aceh, bukan di luar Aceh. Konkretnya, Aceh butuh rumah sakit atau lembaga medis atau obat-obatan untuk menanggulangi kemungkinan tersebut.
Itulah tali-temali dari sebatang rokok. Sekilas apa yang diungkapkan di atas, memperlihatkan bahwa dari sebatang rokok sudah memperlihatkan kompleksitas permasalahan, yang semua itu kemudian menjadi problematika.
Bila permasalahan rokok dalam konteks itu, maka tidak bisa tidak, bahwa Pemerintah harus memikirkan bagaimana menanggulangi ekses dari aktivitas merokok. Pemerintah harus menyediakan jasa layanan medis untuk penyakit yang ditimbulkan dari sebatang rokok.
Masalahnya kemudiaan yang muncul adalah mengapa untuk Aceh tidak ada dana pembagian hasil dari penerapan Pasal 66A UU No. 39/2007 tentang Cukai? Bukankah salah satu filosofis dari UU Cukai adalah untuk menanggulangi ekses yang timbul dari rokok?
Dalam Pasal 66A UU Cukai disebutkan bahwa, cukai hasil tembakau yang dibuat di Indonesia dibagi-hasilkan kepada daerah karena barang kena cukai berupa hasil tembakau memiliki sifat atau karakteristik yang konsumsinya perlu dikendalikan dan diawasi serta memberikan dampak negatif bagi masyarakat dan mengoptimalkan upaya penerimaan negara dari cukai –pengendalian dan pengawasan tersebut dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Tahun ini, bagi hasil dari tembakau (sebanyak 2 persen) didapat oleh daerah: Sumatera Utara sebanyak Rp1,4 miliar, Jawa Barat Rp9,5 miliar, Jawa Tengah Rp52,2 miliar, Daerah Istimewa Yogyakarta Rp1,1 miliar, dan Jawa Timur Rp135,8 miliar.
Lima daerah yang mendapatkan dana bagi hasil tersebut adalah daerah penghasil rokok. Sementara daerah penghasil tembakau atau penghasil cengkeh, sama seperti Aceh, juga tidak mendapat bagian. Padahal dari sebatang rokok, selain membutuhkan pengonsumsi, juga membutuhkan andil daerah penghasil tembakau dan cengkeh. Namun ternyata UU hanya melihat produsen rokok semata, dalam hal ini kawasan industri rokok.
Sesampai di sini, sudah ada dua catatan kritis yang harus diberikan kepada UU Cukai, yakni: Pertama, fokus UU Cukai hanya pada daerah industri rokok, padahal produksi rokok secara nasional tergantung pada pasokan tembakau dan cengkeh. Kedua, besarnya cukai rokok yang masuk ke kas negara disebabkan oleh banyaknya para perokok, dan para perokok ini tidak selalu berasal dari daerah penghasil rokok. Artinya, bisa jadi bukan daerah penghasil rokok yang justru akan banyak mendapatkan ekses dari merokok.
Makanya menjadi patut menanyakan kembali bagaimana dengan daerah yang menerima ekses dari aktivitas merokok seperti Aceh? Hal ini penting, karena dana bagi hasil sebagaimana ditentukan UU Cukai adalah untuk memperbaiki ekses dari orang merokok.
Di samping itu, dalam UU Cukai sendiri masih terdapat dua pengaturan yang berseberangan. Di satu pihak, daerah penghasil rokok diharuskan ”mengkampanyekan” rokok agar pendapatan dari sektor cukai bisa meningkat. Namun pada pihak lain, rokok dimasukkan dalam kategori cukai karena berimplikasi luas kepada kesehatan, sehingga cukai rokok dinaikkan sampai 275 persen diharapkan akan mengurangi para perokok. Dalam Pasal 5 UU Cukai, seperti menjadi tawaran solusi pembatasan rokok, yakni tingginya tarif cukai yang mencapai 275 persen. Dalam penjelasan disebutkan bahwa pertimbangan tarif cukai demikian diakibatkan karena sifat atau karakteristik rokok yang berdampak negatif bagi kesehatan.
Bukankah kenyataan tersebut menampakkan bahwa UU sendiri berparas ganda? Disadari betul bahwa rokok ada efek negatif, namun pendapatan dari cukai terus digenjot. Tentu saja, perokok harus lebih banyak dari tahun ke tahun.
Sebagai informasi, bahwa pendapatan dari sektor cukai sangat menggiurkan dari tahun ke tahun. Target penerimaan cukai tahun 2009 adalah Rp49,49 triliun. Cukai rokok tahun 2008 senilai Rp44,4 triliun (dengan 227 miliar batang rokok) –RAPBN 2009 Rp47,49 triliun. Pada 2007 dengan target Rp42,03 triliun (224 miliar batang) saja –RAPBN 2008 Rp45,72 triliun, daerah penghasil mendapat Rp800 miliar. Bila melihat dana dari cukap rokok dari tahun ke tahun, mulai dari 2000 (Rp11,29 triliun), 2001 (Rp17,39 triliun), 2002 (Rp23,19 triliun), 2003 (Rp26,28 triliun), 2004 (Rp triliun 29,17), 2005 (Rp33,26 triliun), 2006 (Rp37,77 triliun), 2007 (Rp42,03 triliun), dan 2008 (Rp45,72 triliun).
Apa yang tergambar dari angka-angka di atas? Ternyata, rokok yang hisab sebatang demi sebatang itu telah menjadi sumber pemasukan besar bagi keuangan negara. Dengan jumlah angka hampir mencapai Rp50 triliun itu, rasanya menjadi berat bila sampai ada pembatasan terhadap aktivitas merokok.
Permasalahan tidak selesai sampai di sini. Membatasi rokok, oleh sebagian pihak juga dianggap sebagai ancaman mengerikan bagi sekitar 200 ribu pekerja di pabrik rokok. Rokok yang kita hisab tersebut, dengan demikian sudah menghidupi 200 ribu keluarga. Belum lagi untung yang diperoleh oleh para penjual rokok dari kios sampai mall mewah.
Atas berbagai gambaran, kemudian seperti sebuah kewajaran ketika Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2008 lalu mengumumkan bahwa Indonesia adalah negara terbesar ketiga pengguna rokok, dengan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia tidak berdaya karena terjajah adiksi nikotin. Jumlah perokok memperkaya kontribusi terhadap pemasukan negara.
Tapi ada yang patut digelisahkan. Kematian akibat konsumsi rokok lebih dari 400 ribu orang per tahun. Konsumsi rokok di kalangan remaja meningkat 144 persen antara tahun 1995-2004. Lembaga Demografi UI menyebutkan rokok telah menggerogoti sumber keuangan rumah tangga miskin karena membelanjakan 12,4 persen pendapatnya untuk membeli rokok, dan mengorbankan gizi keluarga, kesehatan, dan pendidikan.
Katanya, rokok adalah musuh bagi semua negara beradab –bahkan sudah 160 negara meratifikasi Kerangka Konvensi Pengendali Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control, FCTC). Indonesia turutserta dalam menyusun FCTC, namun hingga sekarang belum meratifikasinya.
Seorang teman saya yang merokok berat pernah berseloro. Katanya, ia menyadari bahwa merokok akan berefek penyakit bagi dirinya dalam waktu yang lama, namun ketiadaan rokok, justru akan mempercepat kena penyakit itu.
Jelaslah, bahwa ada sisi mengerikan, ada sisi kenikmatan. Pemasukan dari cukai dianggap membawa kesejahteraan, sementara implikasi kepada kesehatan (dengan mengeluarkan anggaran) tidak dianggap sebagai ancaman. Padahal menurut saya, kesejahteraan juga bisa dimaknai ketika negara tidak perlu mengeluarkan anggaran untuk mengobati orang sakit.
Saya hanya ingin mengingatkan bahwa betapa sebatang rokok memperlihatkan kompleksitas. Sudah seyogianya ada perubahan paradigma. Negara –melalui aparaturnya tidak selalu harus melihat pemasukan sebagai satu-satunya jalan kesejahteraan. Sementara rokok tak harus dipandang sebagai simbol kedigdayaan, simbol keberhasilan, atau jalan pergaulan.
Mengubah paradigma ini sangat berat, karena di saat yang sama produsen rokok secara berjamaah membiayai proyek iklan raksasa yang luar biasa. Iklan rokok dikeluarkan besar-besaran untuk membiayai band-band yang digandrungi anak muda, membiayai olahraga, bahkan tega sekali banyak produsen rokok menjadikan perempuan (yang di bawah kakinya kita mendapatkan surga) dengan pakaian minim sebagai medianya. Bahkan produsen rokok juga menyediakan yayasan untuk membiayai anak-anak muda yang pandai.
Bukankah makin kompleks saja?

Kamis, 04 Desember 2008

SOE SIAL?

DI jalan raya, menjadi kawasan paling pas untuk memberi gambaran tentang ada kerusakan sosial yang sedang terjadi di gampong kita. Melihat jalan, karena konteksnya sosial. Di jalan ada kepentingan umum dan itu bisa dipakai oleh siapa saja.

Makanya kalau melihat di jalan sudah menjadi lahan parkir, itu sebentuk kerusakan sosial, bahwa ada orang yang ingin menguasainya dengan tidak terbeban memarkir kendaraan seenaknya. Banyak jalan yang sebenarnya sangat luas untuk dilewati kendaraan, tapi tiba-tiba menjadi sangat sempit karena sudah ada tempat parkir hingga mencapai setengah jalan.

Dengan sangat mudah orang-orang menghentikan kendaraannya. Padahal di belakang kendaraannya, pemilik kendaraan lain juga butuh kenyamanan. Tapi siapa yang peduli?.

Sepanjang jalan sudah ada para penjual makanan di kanan-kirinya. Di atas trotoar yang sebenarnya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Tapi di banyak tempat, sudah dijadikan orang-orang karena alasan mencari rezeki. Seperti tidak ada yang mempertanyakan, di mana logika kehidupan sosial di mana tempat umum adalah milik sesama.

Seperti ada yang sudah mulai bergeser konsep: sosial seolah berganti dengan pertanyaan, soe sial? Seperti sudah melupakan perlunya keteraturan dalam kehidupan demi kepentingan sesama manusia.

Banyak orang yang beralasan, rezeki bisa dicari di mana saja. Sehingga untuk kepentingan perut, seseorang rela mengkapling milik orang lainnya. Banyak tempat yang sudah bertabur ketidakpekaan sosial seperti itu. Seperti ada perlombaan untuk selalu menyatakan: biarkan saja soe sial dalam kehidupan kita.

Ini adalah masalah hidup yang cenderung ada pergeseran tentang kenyataan sosial. Di sini, di gampong kita, sudah susah membedakan jalan yang satu arah dan jalan dua arah. Karena seperti tidak ada lagi aturan, karena terlihat siapa saja bebas memakainya. Bila sewaktu-waktu mengalami kecelakaan, tidak jarang, yang seharusnya bersalah, tapi berani membentak yang seharusnya memakai jalan dengan benar.

Di jalan raya, waktu beberapa detik saja terlihat begitu berharga, sehingga banyak pengendara yang tidak memberi kesempatan pejalan kaki memotong jalan di depannya. Tidak jarang para pengendara yang tidak mau memperlambat kendaraannya, justru akan memaki para pejalan kaki yang sebenarnya juga punya hak memakai jalan raya.

Rasa marah mudah sekali dilepaskan di jalan raya. Bila ada yang tidak disukai, ada yang mau menatap dengan murka wajah-wajah orang lain di sekitarnya. Orang-orang yang lemah terjepit. Siapa yang peduli?.

Mungkinkah gejala yang disebutkan Francis Fukuyama (2002) tentang modal sosial yang retak, sedang menampakkan gejalanya di gampong kita? Rasa kekerabatan yang selalu diagungkan di tanah ini, seperti terbantahkan bila kita mengalami pengalaman pahit di jalan raya.

Kepentingan umum seperti tidak lagi mulia di hadapan semuanya. Sudah seharusnya ada yang mulai mengambil peran untuk memperbaiki ikatan sosial kita yang bermasalah itu. Paling tidak, memulainya dari kasus-kasus yang tampak dari pemakaian jalan raya.

Yakinlah, kalau tidak dimulai sekarang, gampong kita akan semakin jatuh ke jurang yang dalam. Percayalah! (Sulaiman Tripa)