Minggu, 14 September 2008

ceng

BLOE siploh publoe sikureung, lam-lam rueung meureumpok laba. Seorang teman, dengan tegas mengatakan, bahwa itu sebentuk kalkulasi lama. Sudah lama sekali. Masa kini, kalkulasi dalam bentuk lain, yang berbeda dengan kalkulasi di atas, berkembang biak pesat dalam masyarakat kita.

Banyak hal, bahkan lingkup. Berbuat sesuatu, perhitungan laba-rugi, menjadi sangat dominan. Berbuat sesuatu yang tanpa untung, menjadi pilihan terakhir. Untuk masa-masa sulit seperti sekarang, mungkin sesuatu yang tidak mendapat untung secara material, mungkin sudah mulai dilupakan.

Ini zaman yang sudah penuh materialis, demikian sebagian orang gampong bermaklum. Modal sosial kita sedang bermasalah, kata pengamat. Meuseuraya sudah terasing di tanah sendiri, kata para antropolog lokal.

Semua berpunca pada solidaritas sosial. Nyatanya, sudah mulai bermasalah. Namun ada sedikit masalah ketika ada perdebatan tentang bagaimana mengukurnya. Sebagian orang berkata, sangat mudah untuk mengukur sebuah solidaritas sosial. Ada sebagian yang lain yang mengatakan sangat susah untuk mengukur sebuah solidaritas sosial. Mazhab ini, umumnya berpatokan pada berbagai teori-teori sosial, yang cenderung semakin berjalan zaman, teori juga semakin banyak yang lahir.

Komponen kedua ini, cenderung menjadikan teori sebagai sesuatu yang utama, kemudian baru melakukan analisis. Bisa saja, sebuah harga analisis bisa lebih mahal dari sebuah teori itu sendiri. Intinya, bagi komponen ini, pengukuran solidaritas sosial sangat sulit dilakukan.

Ada yang lain yang melihat kenyataan sebagai sesuatu yang lebih penting dari keberadaan teori atau teori-teori. Biasanya, dalam ruang ini, kenyataanlah yang kemudian dianalisis secara bebas.

Bagi yang berfikir mudah, mengukur itu gampang. Tak berat. Karena ini bukan matematika, sehingga untuk tambah-menambah harus dikalkulasi dengan rumus tambah. Kalau ada sekian biar dapat jumlah yang sama, harus menggunakan konsep berbagi.

Sebegitu mudah mengukur solidaritas sosial, karena ini adalah masalah keseharian. Ketika seseorang sudah tidak dapat merekam jejak keseharian, maka kehidupan seseorang itu, secara sosial, sudah tidak ada arti.

Ketika seseorang, untuk menolong orang yang kesusahan saja harus menggunakan banyak rumus, maka solidaritasnya sedang bermasalah. Konon lagi bila seseorang masih berfikir seberapa material yang akan didapat ketika ada orang lain yang sedang sekarat, semisal sedang menunggu maut. Maka, semua itu adalah masalah-masalah.

Belum lagi masalah perilaku, yang bila menyimpang dari kebiasaan umum, maka itu sudah bisa dianggap bermasalah secara sosial. Orang sakit yang butuh kemampuan, dengan demikian harus mencari modal terlebih dahulu, modal yang seperti ini, tentu sangat berbeda dengan modal sosial sebagai konsep.[]



(Sulaiman Tripa)

Jumat, 12 September 2008

rasa

TERNYATA, di segala sudut gampong tersedia fenomena-fenomena untuk seseorang
bisa mengenal cinta dengan lebih mendalam. Fenomena-fenomena ini, bisa saja berbeda
dengan apresiasi orang kebanyakan, sebagaimana yang terlihat di televisi yang ditonton
tiap waktu.
Tapi sebuah tontonan, pada akhirnya bisa merubah pandangan banyak orang dari
yang ditonton. Dari yang semula pandangan, lambat-laun bisa menjadi perilaku. Semakin
sering perilaku tertentu dilakukan, orang-orang akan melakukannya secara lebih luas,
terus menjadi sebuah kelaziman.
Ketika suatu perilaku sudah menjadi kelaziman, terlepas benar atau tidak benar,
bagus atau tidak bagus, tepat atau tidak tidak tepat, maka menjadi aneh bila itu tidak
diikuti.
Salah satu contoh yang bisa dilihat, adalah pandangan banyak orang tentang cinta.
Bahwa cinta, seolah-olah hanya tersedia satu saluran saja: orang-orang yang mencintai
pasangannya yang lawan jenis. Orang-orang yang memiliki cinta, digambarkan dari
orang-orang yang memiliki pasangannya.
Bagaimana mekarnya sebuah cinta, juga akan mengikuti kapling seperti itu.
Jangan heran bila dari televisi ketika menyiarkan diskusi orang-orang yang bercinta,
masalah yang sering diangkat seputar berapa kali sudah memeluk pasangan, memberi
ciuman, dan sebagainya.
Dalam masyarakat yang sudah terlalu maju, remaja-remaja yang bercinta sudah
tidak bermasalah lagi ketika mencium pasangannya di depan orang lain. Perilaku ini
adalah perilaku yang dibudayakan sehingga menjadi kelaziman. Maka ketika seorang
tidak mencium pasangannya, sering dianggap tidak memiliki rasa cinta.
Pandangan seperti ini, sudah diketahui oleh orang-orang gampong. Wajar, mata
tak pernah lekang dari televisi, sehingga tayangan menjadi alat ukur baru tentang masalah
benar atau tidak benar, bagus atau tidak bagus, tepat atau tidak tepat. Tayangan sangat
cepat menyebar, untuk kemudian bisa jadi menjadi gejala baru dalam sebuah masyarakat
dan bila orang dominan tidak mengikuti yang sudah lazim itu, maka itu dianggap sebagai
keanehan.
Cinta dalam bentuk lain terlihat lewat berbagai tayangan televisi. Tayangan
kekerasan di televisi, telah menyebabkan korban orang-orang yang menontonnya untuk
meniru berbagai gaya di televisi. Orang-orang yang sedang belajar tentang segala
kemiringan, juga akan terbantu dengan berbagai tayangan yang miring dari sebuah
televisi.
Semua sepakat bahwa pendekatan kekerasan adalah menunda permasalahan,
ketimbang menyelesaikan segala permasalahan secara tuntas. Tapi bukankah ketika suatu
permasalahan sudah (dianggap) menjadi kelaziman, maka akan aneh bila orang tidak
mengikutinya.
Anak-anak gampong adalah anak-anak yang aneh bila pada hari-hari besar,
mereka tidak memiliki mainan senjata. Anak-anak yang suka tayangan Smackdown akan
mencoba jurus-jurusnya, bila tidak sanggup untuk teman-temannya, maka itu akan
dipraktekkan untuk adik-adiknya.
Apa yang terjadi pada remaja kita? Adalah tentang bagaimana berhasil
menumpahkan perasaan untuk orang-orang yang dicintainya (pasangan). Beginilah cinta
yang dikenal dan menjadi dominan. Padahal, cinta tidak sesempit itu.
Suatu kali, orang gampong bercerita bagaimana cintanya kepada anaknya, yang
tidak semua anak akan membalasnya dengan sepenuh kasih. Ini seperti seekor hewan
yang menjilat-jilat anaknya, tapi cukup sering, anaknya ketika besar akan menanduknya
dari belakang.
Leumo akan mengejar manusia bila mengganggu anaknya, apalagi leumo kupong
yang dikenal bengis. Ayam juga akan melindungi anak-anaknya di bawah sayapnya yang
burik.
Orang yang tersadar makna cinta, juga akan melihat bagaimana makhluk
bertingkah polah. Dari hewan sekalipun.[]
sulaiman tripa

Rabu, 10 September 2008

BUYA & MURUWA

Sulaiman Tripa
(Raja Post, 25 Maret 2006)

DULU, ada sebuah tamsil yang sering diungkapkan para orang tua: buya krueng teu dong-dong, buya tamong meuraseuki. Kini, tamsil itu sudah berubah, dan tak hanya diungkapkan oleh para orang tua, menjadi: buya krueng teu dong-dong, meuruwa tamong meuraseuki.
Awalnya, saya tak menangkap ada perbedaan antara kedua binatang itu. Dalam tulisan, saya juga harus mempelajari, makna buya dan meuruwa.
Untuk menemukan aktivitasnya, berkali-kali saya harus menunggu berbagai film di televisi tentang dunia hewan untuk mencari perbedaan itu. Saya harus menunggu Planet Animals, Flora dan Fauna, Wild Life, Wild Animal, dan masih banyak yang lain, di berbagai stasiun televisi.
Dari berbagai acara di televisi itulah, setelah memperhatikan secara detail, saya mendapatkan perbedaan, walau masih sekilas. Mulai dari bentuk fisik, sampai perilaku: buya dan meuruwa.
Dari segi fisik, tampak jelas ukuran buya jauh lebih besar. Bahkan disebutkan, ada buya yang beratnya mencapai setengah ton. Sedangkan meuruwa, tak ada yang lebih berat dari lima puluh kilogram.
Bagaimana pun buya jauh lebih sangar ketimbang meuruwa. Tingkah-polah Buya lebih agresif, lebih bengis, dan tak bersahabat. Bahasa Acehnya, juwah. Tak pernah kita mendengar ada meuruwa yang memangsa anak manusia, konon lagi yang sudah dewasa. Tapi buya sering memangsa manusia.
Di gampong saya, orang tua menggunakan jurus buya untuk menakuti anak-anaknya yang keganjingan mandi di sungai sampai puas, yang biasanya ditandai dengan bola mata yang sampai memerah. Mereka akan diingatkan agar tak terlalu banyak waktu dihabiskan di sungai.
Mungkin juga di banyak kawasan lain di Aceh, para orang tua akan mengatakan: jangan pergi ke krueng, nanti buya akan jipajoh keuh, ia akan memakannya bulat-bulat bila ukuran tubuh kecil.
Kabar terakhir di Lancang Paru, beberapa tahun lalu, ada seorang anak yang di kap kakinya oleh buya tamong di kuala.
Bila mendengar kabar itu, seluruh orang gampong akan keluar mencari buya. Orang gampong akan membunuhnya dan akan membelah perutnya untuk mengambil organ-organ manusia yang dimakan buya.
Ketika dulu uleue-uleue besar masih ada di gampong-gampong dan memangsa anak-anak, masyarakat gampong juga akan mencari dan membunuhnya untuk dibunuh dan dibelah perutnya. Bila ada orang yang dimangsa meninggal dunia, maka organ yang dimakan akan diambil dari dalam perut untuk di-fardhukifayah-kan secara layak dengan segera.
Saya hanya mau menceritakan bahwa buya memang lebih juwah ketimbang meuruwa. Bila melihat manusia, apalagi manusia akan menggangu sarangnya, buya akan menantang. Buya tak akan bersurut, barang selangkah pun. Berbeda dengan meuruwa yang lebih memilih angkat kaki seribu.
Terutama karena perilakunya yang tidak bersahabat, maka buya jauh lebih takuti ketimbang meuruwa. Yang sangat menarik, walau buya lebih ditakuti karena sering memangsa manusia, ternyata meuruwa yang paling dibenci.
Pernah suatu kali saya sempat berdiskusi kecil di sebuah bale gampong di Samalanga. Seorang tua yang berumur sekitar 60-an tahun, mengatakan, meuruwa jauh lebih memuakkan ketimbang buya.
Ini juga saya perhatikan betul-betul di televisi. Di mana kalau buya memakan mangsanya yang masih segar-segar. Sebuah bangkai peulandok yang dimangsa akan ditinggalkan bila sudah diganggu oleh berbangsa pemangsa yang lain seperti klueng putih atau rimueng pluek. Kita tahu, dominasi antara yang kuat kepada si lemah sangat rentan terjadi dalam rumusan kehidupan alam makhluk.
Sementara kalau meuruwa, ia bahkan akan menunggu sampai seluruh bekas bangkai itu tak lagi bersisa sedikit pun. Mungkin termasuk belatung-belatung yang sempat mengecap rasa atas tubuh yang telah busuk dan berbau menyengat, sampai menusuk hidung.
Akhirnya, saya juga dapati di sebuah gampong pinggiran, melalui seorang manusia tua yang berprofesi sebagai tukang pluek meuruwa. Tukang itu akan membuat perangkap dari nilon dengan ditaruh bangkai yang sudah berbau tepat di tengah perangkap.
Tukang pluek meuruwa akan mengoleksi bangkai ayam bila suatu saat musim ta’eun di gampong tiba. Ayam-ayam mati akan disimpan di suatu tempat agar selalu ada umpan untuk mendapatkan meuruwa.
Nah, tukang pluek meuruwa yang bertipe suka dengan bau, akan menyimpan bangkai berbau itu di sembarang tempat. Tipe seperti ini tentu tidak akan pernah disenangi oleh orang gampong. Bila disenangi dalam artian, belum tentu akan bebas bergaul dengan semua masyarakat. Tapi bila menyimpan di tempat yang jauh dari masyarakat, orang-orang tidak akan begitu peduli.
Namun demikian, di banyak gampong tetap saja, tukang pluek meuruwa sering terbatas pergaulannya. Itu karena, biasanya pakaian tukang pluek meuruwa umumnya berbau busuk. Mungkin karena sudah kebal bau, pemilik pakaian bagai tak merasa aroma apa-apa lagi.
Berbau itulah yang menjadi kegemaran meuruwa. Semakin berbau, biasanya semakin disukai dan meuruwa akan melahapnya sampai habis.
Di krueng gampong kami, ada sebuah likuk yang bernama lhok siren. Di sana, biasanya seluruh sampah-serapah berkumpul. Termasuk segala bangkai yang dihanyutkan oleh orang-orang gampong ke sungai.
Di sinilah, terlihat meuruwa yang sangat suka berguling-guling menghabiskan bangkai yang sudah sangat berbau. Sedang buya, mungkin tak sanggup lagi mendekatinya.
(Walaupun bengis dan agresif, ungkapan berunsur kata buya tetap saja ada yang disukai. Paling tidak dengan banyak celoteh tentang mata buaya, air mata buaya, dan sebagainya).
Lahirlah anggapan, rupanya (diam-diam), meuruwa jauh lebih berbahaya ketimbang buya. Dalam hal makan-memakan.
Mudah-mudahan Anda juga akan sempat melihat perilaku mereka. Ya, mungkin melalui berbagai tayangan televisi.[]

Selasa, 09 September 2008

Kerakusan TV

RAMADHAN, TV, dan Kerakusan
(Sulaiman Tripa)

BULAN Ramadhan, hampir kita selesaikan. Sejak awal, perasaan bahagia datang. Bahagia karena bulan penuh rahmat dan maghfirah itu bisa kita jumpai. Bulan penuh ampun. Bulan yang akan digantikan berlipat ganda nilai ibadah yang kerjakan.

Bagi yang bertekad ibadah, tentu bahagianya sangat berbeda. Orang berjenis ini sangat berbahagia sekujur tubuh menyambut puasa. Begitu pula ketika Ramadhan mau meninggalkannya, ia akan menangis.

Berbeda dengan orang ini, ada juga orang yang berbahagia karena alasan hitung-hitung pendapatan. Ada orang yang bahagia datangnya bulan Ramadhan, bukan karena bulan itu memiliki kelebihan, tetapi karena bulan itu menjanjikan pendapatan yang akan didapat berlipat-lipat.

secara kasat mata, jenis ini bisa kita jumpai di mana-mana. Orang-orang yang berjualan sebelum tiba waktunya, merupakan jenis ini.

Namun yang paling aktual, bagaimana perilaku-perilaku perusahaan besar pertelevisian dalam menyambut puasa ini.

Ramadhan juga punya makna ekonomi bagi mereka. Ramadhan bukan sekedar penghambat tayangan demi tayangan, tapi justru memberi bentuk baru untuk melahirkan tayangan yang tidak kalah berlipat keuntungannya.

Inilah, saya hubungkan dengan televisi. Tayangan dalam berbagai televisi seperti berlomba-lomba dengan kata Islami, begitu Ramadhan di depan pintu.

Artis dan pendukung dihadirkan, program tayangan dikampanyekan. Semua disesuaikan dengan masuknya Ramadhan. Ada kata-kata Islami, atau paling tidak yang mendekati, karena ini bulan Ramadhan.

Lalu, marilah kita lihat sinetron-sinetron, yang diputar dari ashar sampai jula malam. Sinetron-sinetron yang dikatakan Islami itu juga dihadirkan dengan tayangan-tayangan yang anti Islami.

Kerakusan televisi untuk menjual jam tayang tak juga berkurang dengan datangnya Ramadhan. Malah sebaliknya, dengan Ramadhan itu, kerakusan itu makin berlipat-lipat.

Ini tentu, sebagai fenomena yang menggelisahkan. Kita harus kritis terhadap fenomena ini. Fenomena ini adalah kesesatan yang akan membawa kita ke arah suasana yang suatu saat tidak bisa lagi membedakan (dan mengajarkan kepada anak-anak kita) yang mana yang Islami dan yang mana yang tidak Islami.

Wallahu 'aklam.

Senin, 08 September 2008

Starblack dan Kopi Aceh

"Starblack" dan Kopi Aceh

Tradisi minum kopi dikenal di banyak masyarakat di berbagai negara. Tetapi, barangkali hanya ditemukan di Aceh, entah di kota maupun desa, sejak subuh hingga tengah malam warga silih berganti ke kedai kopi.

Di desa, sejak dulu orang biasa ke kedai kopi setelah shalat subuh," kata Sulaiman Tripa, peneliti budaya dan penulis beberapa buku di Banda Aceh. Sulaiman sendiri pernah bekerja di kedai kopi kakaknya di Trieng Gading, Pidie, saat masih duduk di bangku SLTP.

Masalah kemudian muncul. Beberapa waktu lalu Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf, yang juga "pengunjung" kedai kopi, sempat gusar karena banyak pegawai negeri tidak di tempat ketika jam kerja. Ia melakukan "sweeping" ke kedai kopi favorit pejabat di Banda Aceh. Sejak itu orang berseragam pegawai negeri gerah duduk di kedai kopi.

Kedai kopi juga mengundang masalah rumah tangga. "Sarapan yang disediakan istri kerap tidak disentuh. Banyak suami memilih sarapan di kedai kopi," kata Tarmizi, pengusaha kedai kopi di dekat Bandara Blang Bintang, Aceh Besar.

Berubah fungsi

Menurut Sulaiman, fungsi kedai kopi telah berubah dari tempat minum kopi menjadi sejenis ruang sosial, tempat tukar-menukar informasi.

Pendapat senada dikemukakan Teuku Kemal Fasya, antropolog di Universitas Malikussaleh, Lhok Seumawe. Di kedai kopi tersedia jawaban atas hal-hal yang tidak terselesaikan melalui jalur formal.

Di kedai kopi, warga berbincang mengenai masalah keluarga, politik lokal, nasional, dan isu yang sedang hangat dalam sorotan pers. Pergantian pejabat kerap lebih dulu terdengar di kedai kopi, termasuk skandal pejabat.

Sosok kedai kopi itu sendiri mungkin akan mengejutkan mereka yang belum pernah ke Aceh. Di Banda Aceh, ratusan manusia berjubel di beberapa kedai kopi favorit. Kendaraan roda dua dan empat diparkir memanjang seperti di kompleks pertokoan.

Kedai kopi umumnya berada di sebuah atau beberapa ruko. Ada pula yang berbentuk warung seperti di Jawa. Dapat dibayangkan ketika ruangan sempit tersebut dijejali manusia pada tengah hari yang terik. Ditambah lagi asap rokok. Tetapi, semakin berjubel manusia justru semakin menarik minat pelanggan.

"Di kedai kopi orang dapat bertemu segala rupa dan jabatan manusia. Gubernur, bupati, wali kota, anggota DPRD, pengusaha, kontraktor, guru, ulama, bahkan pengangguran," ujar Kemal Fasya. Lebih mudah menemui pejabat atau pengusaha di kedai kopi ketimbang di kantornya. "Pertemuan di kedai kopi membuka jalan bagi langkah selanjutnya."

Suasana ini sulit ditemukan di daerah lain. Di Jawa, misalnya, jangankan gubernur atau bupati, seorang pejabat eselon II atau III di daerah pastilah enggan duduk di kedai kopi bersama warga biasa atau penganggur karena dianggap dapat mencederai wibawa korps pegawai negeri.

Pelepas stres

Lebih seru komentar yang terbetik di dunia maya seputar keberadaan kedai-kedai kopi khas Aceh ini.

Seorang blogger, Dudi Gurnadi dan teman-teman misalnya. Ia memelesetkan "warkop" di Aceh ini dengan sebutan "Starblack".

Kata Starblack merupakan kata plesetan dari warung kopi internasional yang saat ini merambah di berbagai belahan dunia, Starbucks. Warna hitam kopi di kedai-kedai Aceh, serta cita rasa yang tersendiri, membuat kopi Aceh cocok disebut oleh blogger ini sebagai Starblack.

Blogger lain menyatakan, kedai kopi di Aceh juga menjadi semacam tempat dugem (dunia gemerlap). Tiadanya tempat hiburan di Aceh seperti di ibu kota, diskotek, bioskop, ataupun kelab malam yang menyuguhkan musik hidup lengkap dengan hiburan-hiburannya, membuat kedai kopi Aceh sebagai salah satu "tempat hiburan" yang menyenangkan bagi orang-orang Aceh.

Nia (29), misalnya. Pekerja kemanusiaan di salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berafiliasi dengan pemerintahan Amerika Serikat ini mengaku ingin pergi ke Nanggroe Aceh Darussalam karena kangen kongko-kongko dengan teman-teman koleganya di kedai kopi Aceh. Entah di kedai Ayah-Solong, Ulee Kareng, atau di Warkop Chek Yukee, di Jalan Pinggir Kali, Banda Aceh.

Lain lagi dengan kalangan kampus ini. "Ketika tiba di kedai kopi, hal pertama yang kami lakukan membaca koran lokal," ujar seorang mantan aktivis mahasiswa. Setelah itu, dimulai pembahasan isu menarik dalam koran tersebut. Masing-masing punya pendapat dan kerap tidak masuk akal. "Maka, kami menyebut ke kedai kopi itu meng-update fitnah," ujarnya.

"Masalah apa saja dapat diselesaikan di kedai kopi," ujar Tarmiji (42), pengusaha kedai kopi Pak Geuchik, di dekat Bandara Blang Bintang, Aceh Besar. Ia merujuk Jamil, kontraktor gurem, yang ikut berbincang saat itu. Ketika membutuhkan tenaga tukang bangunan, Jamil cukup menyebarkan informasi di kedai kopi. Esoknya beberapa tukang menemui Jamil di kedai yang sama.

Ketika darurat militer masih diberlakukan, bencana mulai menimpa mereka yang masih nekat ke kedai kopi. Apalagi kedai kopi merupakan salah satu target sweeping aparat keamanan.

Mereka yang dicurigai identitasnya diangkut ke markas militer atau Polri. Di Teupian Raya, beberapa tahun lalu, aparat keamanan membakar kedai kopi setelah sebuah bom meledak dekat jembatan dan menewaskan tiga anggota pasukan Siliwangi. Kedai yang merupakan satu-satunya bangunan dekat lokasi kejadian dicurigai sebagai pos pengendalian serangan bom itu.

Teungku Yahya, penasihat Teungku Abdullah Syafei, panglima perang Gerakan Aceh Merdeka (GAM), harus menukar keinginan duduk di kedai kopi di Pidie dengan nyawanya. Aparat keamanan ternyata sudah mengetahui rute favorit gerilyawan GAM. Teungku Yahya pun tewas kena peluru aparat.

Perubahan

Suasana kedai adalah salah satu kunci sukses bisnis kedai kopi di Aceh. Kedai kopi milik H Nawawi di Ulee Kareng, Solong Banda Aceh, misalnya. Kedainya selalu ramai, bahkan sering pengunjung berdesak-desakan duduk di kedainya.

Keributan? Tidak juga pernah terjadi keributan maupun keluhan. Padahal, setiap hari rata-rata 2.500 orang minum kopi di kedai Nawawi yang dilayani 13 karyawan itu.

Di Ulee Kareng, harga secangkir kopi biasa Rp 3.500 dan kopi susu Rp 6.000. Berarti, setiap hari ada perputaran uang sekitar Rp 10 juta.

Hebatnya lagi, harga di kedai-kedai kopi ini juga bisa menjadi semacam "indikator ekonomi" di Aceh.

"Sebelum tsunami (2004), penghasilan Rp 20.000 per hari dapat memenuhi kebutuhan hidup. Harga secangkir kopi hanya Rp 1.000. Sekarang penghasilan Rp 50.000 tidak cukup. Harga secangkir kopi sudah Rp 2.500," ujar Ramond. Ramond (64) adalah seorang pengemudi becak bermotor yang kerap mangkal di depan Hotel Sultan, Banda Aceh.

Di sana, harga secangkir kopi lebih dipercaya sebagai indikator baik-buruknya keadaan ekonomi. Kenaikan harga BBM atau kebijakan makro lain adalah hal berikut. Di sini, ke kedai kopi adalah bagian dari irama kehidupan dan dianggap menyangkut "hak asasi manusia".

Sumber: Maruli Tobing & Mahdi Muhammad (Kompas, Minggu, 02 Desember 2007)

Sabtu, 06 September 2008

GOYANG

DALAM televisi berlabel pendidikan di Indonesia, goyang sudah sangat familiar.
Berbagai jenjang audisi dilakukan untuk mencari bibit-bibit orang yang akan bergoyang.
Berbagai kontes dilakukan. Beberapa mata kontes, kemudian juga diambil televisi lain
yang tidak berlabel pendidikan.
Goyang sedang menampakkan kekuasaan dalam bentuknya sendiri. Maka ketika
bergoyang, mata terbelalak. Mulut bicara. Lengkap dengan gerakan, yang sebagiannya
adalah padanan dalam ruang-ruang birahi.
Tak masalah, karena itu kemudian dianggap sebagai kreatif. Kebebasan dari
seseorang untuk menemukan corak kreasinya. Zaman ini adalah zaman yang membesar-
besarkan orang yang berkreasi melewati batas-batas milik bersama. Dan itu, sering
dianggap oleh orang-orang beraliran kaplat sebagai sebentuk kemajuan.
Lahir beberapa kelompok goyang dengan namanya sendiri. Nama itu lahir dari
gerak, yang makin lama, makin tidak beretika dan estetika. Tapi siapa yang peduli
dengan etika dan estetika ketika kebutuhan pasar meningkat. Selama ini, berhasil
membuat sensasi seperti lebih penting dari memperhatikan etika dan estetika.
Kontes goyang adalah pasar. Ketika sebuah goyang dijual, banyak pihak yang
mendapatkan untung. Kontes dengan mengandalkan layanan short massage service
(sms), tidak hanya mendatangkan untung bagi para pegoyang. Kontes yang diiringi
dengan sms, juga akan menguntungkan pihak-pihak yang mengelola sms.
Satu sms berharga lima kali lipat dari harga biasanya. Dengan satu sms, entah
berapa bagian kemudian disalurkan ke masing-masing pihak yang mengelola pasar.
Sebuah pasar, sudah pasti perhitungan laba-untung yang kental. Laba-rugi, identik
dengan materi. Pihak yang mengelola dan memiliki modal awal untuk ini, akan
mendapatkan hak yang lebih.
Ada banyak hal yang kemudian berkait dan dikait-kaitkan. Dipenghujung
kekuasaan Orde Baru, beberapa pejabat Orde Baru ikut dalam acara goyang-goyangan.
Parahnya, sebagian terjebak pada memperbanyak perempuan pendamping hidupnya. Ada
yang sah, ada yang tidak sah. Itu baru terbongkar sekarang, mungkin ketika kepentingan
antarpihak sudah menepi ke pinggir. Maka perempuan pun sudah berani menggugat dan
memberitahukan kepada orang-orang.
Kini, para pejabat dari banyak daerah juga ikut dalam mata acara ini. Orang-orang
berlabel pejabat pun memberi dukungan untuk orang-orang dari kawasannya yang
bergoyang. Ada yang ikut langsung ke lokasi goyang untuk memberi dukungan, walau
pada saat yang sama berita tentang kemelaratan orang-orang yang tertinggal di
daerahnya, dilupakan untuk sesaat.
Ada juga yang menjalin kerjasama dengan pengelola televisi untuk menayangkan
itu, tentu dengan biaya yang sudah tertentu jumlahnya. Tak masalah dengan mata acara,
karena dianggap itu sebagai promosi.[]
Sulaiman Tripa

Jumat, 05 September 2008

Lubang

Tiba-tiba, saya teringat lubang. hampir di persimpangan jalan di Banda Aceh, saya lihat sudah ada lubang yang dibuat oleh pihak-pihak yang mengurusi telepon, air bersih dan listrik. Padahal jalan itu, baru saja diperbaiki. Jalan itu sebenarnya sudah lumayan bagus. Suasana ini, sesungguhnya lebih tepat disebut dilubangi, ketimbang hanya disebut sebagai lubang semata. Lubang adalah penanda, sedangkan dilubangi adalah pekerjaan yang membuat penanda.

Kehidupan di Kota Banda Aceh, kita sering dihadapkan dengan lubang karena dilubangi. Kalau kasusnya lubang besar dijalan-jalan, biasanya pelakunya perusahaan telepon, perusahaan listrik, dan perusahaan air bersih. Mereka seperti berlomba-lomba untuk membuat lubang. Sangat sering kita menyaksikan keadaan jalan yang sudah baik, tiba-tiba sudah berlubang kembali. Ironisnya, setelah pekerjaan itu selesai, kerap dibiarkan dengan menutup lubang itu seadanya. Bayangkan betapa besar potensi kecelakaan di jalan raya, hanya gara-gara lubang. Dan, kita seolah tak bisa menuntut siapa pun untuk bertanggung jawab, termasuk pihak-pihak yang membuat lubang yang seharusnya bertanggung jawab.

Kondisi ini memperlihatkan betapa pelayanan publik di jalan raya yang kita dapatkan ternyata sangat tidak seimbang dengan pajak yang kita bayar, katakanlah pajak kendaraan yang setiap tahun kita bayar. Jadi dengan satu lubang saja, sudah berimplikasi kepada penghargaan terhadap pelayanan. Itu menjadi satu konsekuensi dari keberadaan lubang yang seharusnya telah dipikirkan oleh pihak-pihak yang bertanggung jawab.

Dengan satu lubang, bisa membuka banyak lubang-lubang selanjutnya dalam konteks yang lain. Tentu, sebuah lubang, tanpa pekerjaan berupa dilubangi, adalah omong kosong. Nah, dengan lubang di jalan ada potensi untuk dibuatkan lubang-lubang baru lainya. Ini memang akan mengikuti konteks.

Dalam hal koordinasi, Pemerintah Kota Banda Aceh, khususnya pihak-pihak yang menangani telepon, listrik atau air bersih, patut bertanggung jawab. Seharusnya, agar tidak terjadi ketimpangan melubungi, mereka harus didudukkan bersama agar tidak terjadi lagi pelubangan serentak, namun semua itu tidak terjadi atau memang sengaja tidak dipertemukan agar kondisi miskoordinasi itu terus berjalan. Adakah 'permainan' disana? Kalau ada, maka implikasinya ada dua. Pertama, akan ada pahe, paket hemat. Semua anggaran bisa disatukan untuk direncanakan dalam satu sesi melubangi (satu lubang bersama-sama). Tapi ini menimbulkan konsekuensi, tidak akan banyak anggaran yang bisa digunakan. Orang yang terlibat tidak akan banyak, otomatis orang-orang yang akan mendapatkan honor juga sedikit. Bayangkan bila dilakukan masing-masing, berapa orang yang akan mendapat honor di masing-masing lembaga itu. Fenomena ini seharusnya sudah saatnya diubah agar tercapainya paket hemat. Dengan pahe, penggunaan anggaran bisa lebih efisien, juga kontrol atas penggunaan anggaran bisa dilakukan dengan rapi. Di samping itu, dengan satu lubang, akan mudah menutupnya dan tidak akan berulang-ulang. Jadi, hana jipeujeut-peujeut, dibuat-buat, kata orang Aceh.

Kedua, pengguna jalan raya tidak akan muak dengan pelubangan yang dilakukan itu. Pelubangan hanya dilakukan sekali dan dilakukan bersama-sama, pada sekali waktu, dan akan ditutup bersama-sama pula. Ini tidak akan memperlihatkan ada perulangan. Hari ini dibuka lubang untuk telepon, lalu setelah beberapa hari ditutup-–walau dengan kurang rapi--lalu besoknya, giliran pemasangan, entah pipa air bersih, lalu dibiarkan untuk beberapa hari, dan ditutup-–biasanya juga kurang rapi. Tidak lama berselang, muncul lagi yang mengurusi listrik, membongkar lubang kembali untuk dimasukkan kabel listrik, setelah itu proses penutupan terhadap lubang-lubang juga sering tidak rapi.

Dengan kondisi gali lobang tutup lobang itu, konsekuensi lubang akan sangat merugikan khalayak ramai (khususnya pengguna jalan). Orang-orang yang terperosok ke dalam lubang akan semakin bertambah banyak. Apalagi di lubang-lubang yang dilubangi itu, seringkali tak dibuat semacam tanda berbahaya, semacam bendera merah atau bendera warna apapun yang menandakan di sana ada bahaya.

Tahukah Anda, apa yang sering dikatakan orang yang kebetulan terperosok ke lubang? Sudah pasti makian meluncur dari mulut pengguna jalan dan itu sungguh menggelisahkan karena akan menambah catatan dosa terutama orang yang memaki, karena orang yang dimaki ironisnya sama sekali tidak mendengar. Bila musim hujan, lubang-lubang itu akan menjadi masalah baru bagi pengguna jalan. Mereka tidak akan bisa mengingat di mana letak lubang-lubang.

Saya cerita tentang lubang jalan. Bukan lubang yang lain. Walau saya akui, dengan lubang jalan, belum tentu tidak membuat lubang-lubang yang lain. Namanya dilubangi.[Sulaiman Tripa]