Minggu, 30 November 2008

KASUS

DALAM bidang kesehatan, gampong kita seperti sedang banyak kasus. Berbagai masalah yang menimpa orang-orang, dari hari ke hari makin banyak. Belum selesai satu kasus, timbul kasus lainnya.
Kasus flu burung (avian influenza) dan kasus formalin, adalah dua kasus berbeda. Akhir-akhir ini, kasus itu kembali menggusar kita. Padahal, porak-poranda karena tsunami saja belum semua orang bisa berbenah, walau sudah lebih dua tahun. Kasus terbaru di Aceh itu seolah memberi tanda bahwa masih perlu banyak usaha untuk memberi makna hidup bagi sesama.
Saat seperti inilah, sepertinya kemampuan kita sedang diuji. Dalam berbagai bencana, kita padahal selalu mendapat tanda bahwa banyak hal yang harus diperbaiki. Namun pada kenyataannya, kekhilafan (entah benar itu khilaf) selalu terjadi. Selalu berulang.
Selalu saja, saat ada bencana, kita baru bergerak. Itu pun masih terhambat di sana-sini. Saat ancaman kematian membuncah, kita juga masih disibuki terlebih dahulu dengan pembentukan panitia, teken kanan-kiri, rumuskan anggaran, baru bergerak. Padahal, kasus serupa yang terjadi di seluruh Indonesia dengan pemberitaan yang luar biasa, seharusnya sudah membuat kita bersiap-siap.
Sudah seharusnya pemerintah, ketika terjadi kasus di daerah lain, harus sudah menyiapkan berbagai hal untuk antisipasi. Para intelektual, seharusnya sudah memiliki semacam hasil survei, atau malah hasil penelitian secara mendalam dan konkret tentang berbagai kemungkinan mewabahnya penyakit.
Demikian juga mereka yang bergerak di bidang kesehatan (entah itu pemerintah atau nonpemerintah), seharusnya sudah selesai melaksanakan penyuluhan untuk masyarakat dan kawasan yang berpotensi terjangkit.
Demikian juga media. Menurut saya, media juga harus lebih responsif untuk melakukan reportase langsung ke lapangan, lalu melakukan cek ulang ke pihak yang berwenang. Salah satu kekurangan media dalam kasus ini, adalah lebih menonjolkan laporan para pihak sebagai sumber utama ketimbang kajian lapangan yang dominan berada sebagai sumber kedua.
Komunikasi ini saya kira belum terbangun. Semua orang mengatakan tugasnya sudah dilakukan. Para orang yang bertanggung jawab, misalnya, lebih condong asal mengeluarkan komentar ketimbang menurunkan tim yang benar-benar memiliki kapasitas ke lapangan, melihat secara langsung, kaji secara mendalam.
Selama ini yang terjadi, jauh dari harapan seperti itu. Seolah-olah, semua hal lalu menjadi kepentingan politik masing-masing. Akhirnya lebih banyak berbicara daripada berbuat.
Untuk sekelas wabah flu burung yang nyatanya sangat membahayakan, fenomena seperti itu seharusnya dihindari. Bahasa kasarnya, janganlah bermain-main dengan sesuatu yang sangat membahayakan nyawa manusia.
Saya kira saat seperti ini pula diuji, dengan gerak secepat kilat agar bisa menghasilkan hasil penelitian yang up to date. Lalu mengambil tindakan yang cepat dan tepat. Inilah pentingnya kapasitas seseorang pemegang jabatan tertentu, yang sering dikatakan pejabat yang berwenang. Kalau tidak mampu seperti itu, berarti ada yang salah dengan penempatan.
Dalam kasus formalin demikian juga. Jangan sampai seperti kata orang tua kita dulu, pula lada watee trok Belanda (tanam lada waktu sampai Belanda). Itu akan terlambat. Bayangkan, lada baru ditanam saat Belanda yang mau membeli sudah sampai ke tempat kita.
Tamsil itu sangat bermakna untuk kita dalam memberi makna bagi hidup sesama. Apalagi di Aceh banyak orang yang masih sedang menuntaskan banyak beban hidupnya.
Kasus formalin menjadi ibrah bagi kasus lain yang mungkin saja hadir. Badan berwenang sudah seharusnya untuk meneliti segala sesuatu sebelum orang lain menemukannya. Para intelektual juga harus selalu mencium kelainan-kelainan dalam masyarakat. Inilah hakikatnya pengabdian.
Di Aceh sekarang cukup banyak elemen untuk mendeteksi segala keganjilan. Banyak lembaga yang memiliki peralatan canggih di sini. Seharusnya itu bisa dioptimalkan peran agar masyarakat terbebas dari segala gelisah.
Di sebagian kawasan, sudah muncul kasus lain, orang meninggal tiba-tiba. Ini membuat gelisah berlipat-lipat.[sulaiman tripa]

Senin, 24 November 2008

ZINA

SEBUAH perilaku di kawasan lain, belum tentu tak ada dan tak terkait dengan lingkungan gampong kita. Dengan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat terbuka, sangat memungkinkan banyak hal terjadi juga di gampong kita. Bukan menolak teknologi yang menjadi masalah, tapi sejauhmana perilaku bisa mengelola teknologi ke arah positif.
Teknologi, tergantungnya pada pemakainya. Berbagai fasilitas dalam handphone, tergantung untuk kepentingan apa digunakan oleh pemakainya. Adalah perilaku pemakainya yang menentukan seseorang menggunakan alat teknologi untuk kebaikan atau kemaksiatan.
Tapi dalam kenyataan, implikasi negatif memang selalu lebih besar. Chatting sangat berguna untuk orang yang berjauhan untuk saling berkomunikasi. Kehadiran webcam, mempermudah komunikasi itu. Tapi dalam pergaulan tanpa batas, webcam digunakan juga oleh orang-orang yang mengobral kemaluannya.
Kawasan yang terbuka seperti gampong kita, juga tidak terbebas dari perilaku-perilaku seperti itu. Remaja kita, laki-laki dan perempuan, juga terpampang wajah di berbagai situs jahil.
Ini adalah turunan perilaku. Foto bugil di handphone, atau rekaman orang berhubungan suami-isteri, adalah buah dari perilaku miring. Perilaku sangat ditentukan oleh bagaimana kehidupan di sekitar kita. Akhir-akhir ini, bisa dilihat dengan nyata.
Antara lain, beberapa gejala: Pertama, kawasan pariwisata sering dimanfaatkan oleh mereka yang berindehoi. Ketika kita mau menghabiskan waktu di lokasi pariwisata, kita akan malu sendiri dengan perilaku-perilaku yang seronok mereka. Itu akhirnya menjadi kelaziman.
Kedua, berita koran yang menampakkan gejala bersepi-sepi oleh orang berlainan jenis yang bukan muhrimnya, luar biasa banyak. Ironisnya, itu tak saja terjadi di kota-kota yang sebagian orang beranggapan sebagai tempat yang sedikit bebas. Kejadian itu juga berlangsung di gampong-gampong yang diklaim sebagai penjaga ranah nilai-nilai agama dan nilai-nilai sosial-budaya.
Ketiga, rumah kontrakan sangat kurang pengawasan pemilik atau masyarakatnya dari aktivitas yang di luar batas agama dan sosial-budaya. Sampai larut malam, kumpul-kumpul laki-laki dan perempuan masih saja terjadi.
Keempat, di jalan raya kita menyaksikan sebagian orang berlainan jenis saling berpeluk erat dan bersenda gurau dengan tidak wajar. Remaja-remaja sudah dengan gampang memperlihatkan bagaimana mereka memeluk pacarnya di atas kendaraan yang sedang melaju di jalan-jalan kota.
Kelima, orang tua yang sebagian sudah melunturkan pengawasan terhadap anaknya, baik putra maupun putri. Seorang anak lelaki akan merasa malu bila tak punya pacar. Seorang tua akan malu bila seorang anak putrinya tak ada lelaki yang menjenguk.
Keenam, pendidikan sudah kurang memberi porsi untuk menanamkan nilai-nilai agama dan sosial-budaya. Dana pendidikan yang mengucur ke Aceh selama lima tahun terakhir dalam jumlah yang besar, tapi sangat kurang diukur sudah sejauhmana efektivitas muatan kurikulum lokal yang selama ini berlangsung.
Ketujuh, kemajuan teknologi dengan hadirnya beragam alat rekam. Handphone yang memiliki camera, di satu sisi membuat seseorang akan mudah. Tapi antara sisi positif dan negatif, biasanya hanya berbeda tipis. Keberadaan alat teknologi tak menepis manfaat positif. Yang jelas, sebuah alat bisa digunakan untuk berkhutbah, bisa juga digunakan untuk berkirim gambar-gambar bugil.
Kedelapan, perkembangan global yang menganggap pergaulan bebas bukanlah sesuatu yang patut dirisaukan, asal setia kepada pasangan, atau menggunakan kondom. Slogan ini terus direproduksi secara global. Padahal, Islam dengan jelas mengatakan jauhi zina, karena itu kemungkaran.
Kesembilan, celakanya, sekarang di kota besar muncul mazhab baru bahwa kalau tak melakukan seks, itu berarti tak gaul.
Semua kondisi ini harus dapat menjadi alat untuk memetakan gejala kehidupan bebas di Aceh. Kenyataan ini, tentu tak mungkin hanya diselesaikan dengan perasaan gundah semata. Kenyataan ini harus diantisipasi dengan pekerjaan nyata.
Pekerjaan nyata, dalam hal ini mutlak memerlukan tiga piranti utama: (a) agama. Pembumian nilai-nilai agama harus dilakukan dengan optimal agar terlihat hasil yang optimal pula. (b) pendidikan yang harus terukur, sistematis, terencana, dan keberlanjutan. Muatan lokal, tak hanya mencakup bagaimana bahasa daerah dan kesenian daerah. Pendalaman agama dan ilmu budaya juga penting menjadi bagian dari muatan dalam pendidikan kita. (c) keluarga harus menjadi pengawasan dan pewarisi nilai-nilai agama dan budaya. Bukankah seorang anak itu ibarat peluru yang ditentukan oleh orang tuanya kemana mereka akan dibawa. Seorang anak selalu berhadapan dengan dua ending: bermakna, atau malapetaka.[sulaiman tripa]

PEMASANG

PADA suatu waktu, saya tiba-tiba tersentak dengan sebuah pertanyaan orang gampong yang sedang menghabiskan senja di sebuah bale. Kata mereka, koran-koran di gampong kita sekarang ini, sudah cukup sering menyiarkan iklan-iklan berbahasa yang tidak dipahami oleh orang-orang gampong.
Dalam satu hari, lebih sebagian iklan dipahami mereka. Padahal, mereka selalu berpikir bahwa jangan-jangan, iklan tersebut untuk memberitahukan masalah-masalah mereka.
Pernah suatu kali, rombongan tuha peut mengunjungi koran gampong. Waktu itu, mereka menanyakan kepada pimpinan koran seputar masalah iklan yang tidak dipahami. Orang-orang dari gampong itu tidak paham bahwa semua iklan adalah order. Seseorang yang memasang iklan, yang penting membayar kepada koran dan isinya tergantung dari yang memasang. Yang penting tidak menyinggung SARA.
Sampai pada kata-kata SARA, orang-orang gampong kembali tersentak. Apa itu SARA, tanya mereka. Lalu pimpinan koran menjelaskan, masalah-masalah yang mendiskriminasikan orang lain, dengan menyakitkan agama, ras, bangsa, dan sebagainya, termasuk dalam persoalan SARA.
Mereka bingung. Lalu, bagaimana kami tahu kalau di dalamnya ada SARA, sementara bahasa yang dipakai sama sekali bukan bahasa kami, tanya orang-orang gampong lagi.
Sesampai di sini, masalah dianggap semakin menggurita. Karena orang-orang gampong sebenarnya juga bisa memasang iklan dengan bahasa sendiri. Tapi, sebuah iklan, tentu butuh biaya.
Masalahnya, darimana biaya-biaya berbahasa asing itu? Mereka kembali bertanya, apa kami bisa mendapatkan dana itu biar bisa memasang iklan berbahasa sendiri?
Terang saja, pimpinan koran tak tahu tentang itu. Yang ia paham, bahwa setiap orang yang memasang iklan, harus membayar menurut kolom yang ditawarkan. Selebihnya, urusan lembaga yang memasang.
Tidak demikian bagi orang-orang di gampong semisal yang membacanya dari bale atau kedai kopi di gampong. Entah disadari atau tidak oleh para pemasang, bahwa orang-orang yang di gampong sebenarnya ingin sekali mengetahui semua isi surat kabar, yang terpasang di kolom iklan sekali pun.
Rombongan para tuha peut yang mengunjungi koran pada suatu waktu itu, sebenarnya ingin memberitahukan perihal itu pada pimpinannya. Tapi ternyata masalah memang tidak sederhana. Akibat ketidaksederhanaan inilah, maka wajar orang gampong tidak mengerti.
Problematika menjadi bertambah. Orang-orang tidak tahu bunyi iklan, juga orang-orang tidak tahu bagaimana sebuah proses iklan. Namun mereka melihat tiap hari, walau tak membacanya karena tak tahu bahasanya.
Ini menjadi sebuah kisah pembaca di gampong-gampong. Banyaknya pertanyaan-pertanyaan di benak-benak orang gampong, memperlihatkan bagaimana sesungguhnya mereka ingin tahu yang diberitakan sebuah koran, karena mereka berpikir bisa saja iklan-iklan itu untuk membicarakan mereka.
Intinya, mereka juga ingin memperbaiki nasib. Dengan mengetahui sebuah pemberitaan, sebenarnya juga menjadi media pembelajaran secara tidak langsung. Mereka ingin belajar secara terus-menerus. Walau lewat sebuah iklan. [sulaiman tripa]

Sabtu, 22 November 2008

EKSES

ORANG-orang lokal sangat malas, kata orang-orang dari Barat. Orang-orang Barat, sangat perhitungan, kata orang-orang lokal.
Orang-orang Barat, melihat banyak orang-orang lokal yang santai-santai pada jam-jam sibuk. Kemalasan ini juga diukur, semakin pudarnya semangat meuseuraya dalam masyarakat Aceh, di mana mereka mempelajarinya dalam berbagai buku sejarah Aceh.
Tapi, ketiadaan meuseuraya dalam masyarakat Aceh pascatsunami, adalah menyangkut efektivitas dan efisiensi; semua pekerjaan sudah bisa dibayar, lalu orang-orang yang menerima upah, selalu bisa dituntut bila pekerjaannya tidak selesai. Sebuah kerja, adalah persoalan atas-bawah; ada yang membayar, ada yang menerima bayar.
Tuntutan inilah yang tidak bisa dituntut dari proses meuseuraya. Maka lihatlah, pascatsunami, berapa banyak ada kegiatan rekonstruksi dan rehabilitasi yang meupangkai pada meuseuraya.
Dalam pelaksanaan sebuah pekerjaan, yang tujuannya diukur dengan sejauhmana hasil bisa dilihat, maka ada orang yang perintah dengan orang yang menerima perintah, menjadi penting untuk ada.
Pekerjaan bersama-sama, sering tidak efektif, walau ada nilai penting yang bisa dikuatkan dalam masyarakat. Beginilah anggapan orang-orang yang bergiat pada pekerjaan-pekerjaan praktis.
Jarang ada pengukuran efek. Biasanya, sebuah fasilitas umum yang dibangun tanpa saham orang-orang gampong, proses penjagaan terhadap fasilitas itu tidak maksimal. Sebaliknya, orang-orang akan malu bila yang dibangun dengan keringat sendiri tidak dijaga.
Beginilah yang logis. Perlu ada pengawasan, ketika proses penyadaran tidak tuntas dilakukan. Proses penyadaran, tidak selalu harus dilakukan dari atas ke bawah. Kita harus sering membuka mata bahwa nilai-nilai yang dari bawah, cukup banyak yang bernilai.
Pengawasan oleh semua mata sangat berbeda dengan pengawasan oleh beberapa pasang mata saja. Pengawasan yang terbatas, akan menyebabkan orang tidak saling meluruskan satu sama lain. Orang baru memberi perhatian ketika kepentingannya terganggu.
Dalam sebuah tatanan lokal, segala yang berasal dari pribadi, pada akhirnya berkaitan dengan antarpribadi. Selingkuh adalah masalah pribadi, namun berkaitan dengan masalah sosial karena nilai-nilai akan mengganggu orang lain.
Banyak masalah individu seolah-olah tidak terkait dengan orang banyak. Ini menjadi masalah saat Barat berbeda dalam melihat lokal. Para fundamental Barat berpikir seolah-olah hanya dengan konsep Barat saja yang mampu memperbaiki kehidupan umat manusia sejagad.
Dari asal mula sebagai pikir, lalu diunjukkan melalui perilaku dan kampanye secara global. Yang berlainan dengan konsep yang ditawarkan, dianggap sebagai anti. Sesuatu yang anti, akan dengan mudah disebutkan sebagai tidak maju, tidak sesuai, tidak memenuhi harapan. Lahirlah standar-standar, di mana alat ukurnya selalu standar yang digunakan oleh manusia tertentu.
Ada hal-hal tertentu yang sesuai, seperti kapling malas. Namun lihatlah kepungan yang membuat kemalasan, itu dari mana datangnya? Malas tak selalu berhubungan dengan pemasukan ekonomi. Seorang yang tidak bekerja untuk mendapatkan ongkos disebut malas, seorang yang tidak bekerja untuk kebersamaan juga harus disebut sebagai malas.
Lokal bersama sejarahnya, harus dilihat sebentuk komunitas yang berbeda dengan global. Menyelesaikan persoalan lokal, dengan demikian tidak mesti menggunakan kerangka-kerangka global.
Banyak masalah lokal yang diakibatkan oleh kejahatan global. Tapi lokal menjadi pihak yang tidak membela diri. Ketika terjadi berbagai bencana, lokal yang sangat mudah dituduhkan.
Padahal, global sudah cukup banyak menghabiskan energi lokal untuk memikirkan kapan lagi banjir akan datang ke gampongnya, bencana alam, minyak naik, listrik, sedang ekonomi (pendapatan) tak berubah.
Semua masalah itu, tentu tidak selesai bila malas yang menjadi tertuduh. Malas hanya ekses. Ini tidak pernah selesai, bila tidak mampu memahami bahwa kini, sejarah kampung yang tertulis dalam pelepah pinang, tidak selalu kita temui dalam buku sejarah modern. Maka ketika tsunami dikenal dengan smoong di Simeulu, maka itu sejarah kampung yang seharusnya diingat-ingat. Tapi katanya, itu hanya untuk orang yang di luar lokal, kalaupun orang-orang yang memperjuangkan lokal, kerap jauh lebih berbahaya ketimbang menghegemoni lokal.
Orang-orang lokal sering tak tahu bagaimana berbicara dengan gaya yang beralun-alun. Mereka tak tahu memproduksi bahasa yang bisa mengenakkan orang-orang mendengarnya. Maka jangan heran, ketika dunia memberi kemalasan kepada mereka, orang-orang gampong sampai tidak tahu lagi cara memperbaiki diri.
Tapi tak masalah, bila ingin menyebut bahwa banyak orang malas di sekitar kita. [sulaiman tripa]

Jumat, 21 November 2008

POLITIKUS

BASYAH, pemuda taat dari Gampong Seulaseh, akhir-akhir ini kelihatan sibuk sekali. Tak seperti biasanya. Lazimnya, Basyah hanya sibuk ke kebun di bineh gle. Di sana, Basyah memelihara sekitar 50 ekor ayam gampong. Ayam-ayam itu, diberi makan dengan umpan kota, yang disebut baja ayam, agar selalu bertelur.
Telur-telur itu, dikocok dengan air kopi bercampur susu. Rasanya nikmat sekali. Pecandu telur setengah matang, tiap pagi juga menunggu banyak telur di warung Apa Baka di sekitar pinggir gampong.
Sulit sekali mendapatkan boh manok gampong. Tapi yang benar-benar boh manok gampong, seperti yang ditemukan banyak pemilik ayam dari beurandang tiap bangun pagi.
“Sekarang ini, boh manok tanpa baja, itu sulit sekali,” kata Apa Baka.
“Boh manok itu, ada rona merahnya,” katanya.
Termasuk si Basyah, ia tak memberi ayam dengan lhoek (dedak) dan keureumeuih (ampas kelapa) lagi. Basyah sudah menggantinya dengan baja. Dengan umpan kota itu.
Tak jelas, kenapa orang di Gampong Seulaseh menyebut umpan sebagai pakan ayam itu sebagai baja. Padahal, baja itu berkelamin logam. Sebutan lain di Gampong Seulaseh, untuk pupuk juga disebut baja.
Tentunya, termasuk pakan ayam yang diberikan Basyah untuk ayamnya itu.
“Basyah ‘kan juga kepingin ayamnya bertelur banyak-banyak,” ujar Apa Baka, lagi.
Begitulah aktivitas Basyah. Memelihara 50 ekor ayam. Selain itu, Basyah masih mengelola 128 batang pohon coklat (kakau). Coklat itu ditanam di sela-sela kandang ayamnya.
Dulu, Basyah bahkan sibuk dengan menanam palawija. Sehabis panen blang, Basyah rajin menanam palawija di persawahan. Padahal, jarang masyarakat gampong yang menanam palawija sehabis panen padi di sawah. Tapi dulu, Basyah rajin melakukannya.
Kini, kesibukan itu sudah jarang terlihat. Basyah bahkan sudah jarang terlihat meuleuhop tubuhnya. Kesibukan Basyah seperti sudah berganti dari hari-hari biasanya.
Dalam minggu ini, Basyah sampai tiga kali bolak-balik ke kantor polisi. Basyah baru saja selesai mengurus surat keterangan catatan kriminal (SKCK) dari kantor polisi.
Minggu sebelumnya, Basyah sibuk memfotokopi ijazahnya. Ya, ijazah sekolah menengah umum. Lalu ia membawa ke sekolah untuk dilegalisir oleh kepala sekolah.
Minggu sebelum itu, Basyah mondar-mandir di kantor pajak untuk mengurus nomor pembayaran wajib pajak (NPWP). Padahal Basyah hanya masyarakat biasa, yang pajak bumi dan bangunan hanya Rp50 ribu pertahun.
Hari-hari sebelum itu, Basyah sibuk mengisi tiga macam formulir. Membuat akte kelahiran, sampai memperbarui kartu keluarga di kecamatan. Membuat catatan penduduk dari camat.
Pokoknya, orang-orang Gampong Seulaseuh, melihat Basyah menjadi orang yang sibuk. Belum lagi, dari pendiam, kini Basyah menjadi orang yang banyak berbicara. Dari jarang duduk di warung kopi, menjadi pembayar orang yang minum kopi, lalu bercerita banyak, sementara orang-orang Gampong Seulaseh berutang mendengarkannya karena Basyah sudah membayar kopi mereka.
Berhari-hari seperti itu. Pagi-pagi, Basyah sudah berpakaian rapi lalu pergi entah kemana. Naik bus, pulang-pergi, dengan tas jinjing di tangannya. Berwarna hitam. Orang-orang gampong tak pernah tahu ada apa di dalam tas itu.
Dari sayup, orang-orang gampong hanya mendengar kabar, kalau saat ini musim pemilihan orang-orang telah tiba. Mereka dipilih untuk menduduki beberapa kursi yang diperebutkan. Namanya kursi basah, atau bisa bernama apa saja.
Para pengisi kursi itu, seperti keharusan untuk banyak berbicara. Semua berebut untuk mencari pendukung ramai-ramai. Semakin ramai pendukung, semakin besar kesempatan memperoleh kursi.
Basyah menjadi ternyata telah menjadi salah satu orang yang berebut kursi basah itu. Makanya ia selalu membayar kopi orang-orang yang setiap pagi nongkrong di warung Apa Baka. Orang-orang tak lagi meminum boh manok gampong milik Basyah. Walau Basyah cukup sering membayarnya.
“Aku mau menjadi politikus,” kata Basyah, suatu pagi.
“Makanya aku butuh dukungan. Biar aku bisa membangun Gampong Seulaseh,” sambungnya.
Basyah lupa, banyak orang sepertinya yang berjanji lalu membayar kopi mereka di pagi datang. Padahal mereka tidak akan memilihnya lagi. Mereka akan memilih orang lain yang bukan poli tikus.
Tapi Basyah tetap tak mengerti. [sulaiman tripa]

Kamis, 20 November 2008

PESAN

INI adalah cerita lama, yang lahir kembali orang yang baru seperti Safiah. Namanya Munah. Perihal sudah membeli sebuah HP. Ia ingin bersaing dengan Safiah. “Memang aku miskin, tapi aku bisa juga seperti Safiah, minimal dalam pemakaian HP,” pikirnya. Dibelilah HP, yang sebenarnya berawal dari kisah Safiah –lalu ia juga mengulang seperti itu. Ceritanya begini.
Saban malam di Bulan Puasa, Safiah, janda kaya di Gampong Seulaseh, mengadakan pertemuan dengan orang-orang selevelnya. Semua ibu-ibu yang datang memiliki handphone (HP).
“Masa sih, aku kaya begini tak punya HP,” begitu kira-kira pikir Safiah.
Belum lagi, Safiah menerima kata-kata yang kurang sedap dari ibu-ibu; pelit, tak tahu kebutuhan, gatek (gagap teknologi).
Safiah tentu tak mau malu. Segera saja dialokasikan sejumlah uang untuk itu; sebuah HP. Bila perlu yang nampak lebih gagah dan wah, dari yang lain.
Benar saja, ia langsung ke kota untuk membeli HP yang sebesar bungkusan susu. Ya, biar lengkap dah! Bisa komunikasi, kirim pesan, bicara, bahkan kirim gambar. Tentu lengkap dengan kamera.
Dalam hati ia mulai membayangkan banyaknya kegunaan bila ada kamera di dalamnya; bisa buat film, bisa casting, dan sebagainya. Kok terlambat ia mengetahuinya. Kalau mau yang jahil-jahil, juga bisa instant. Seperti beberapa artis Indonesia yang membuat film porno, padahal mereka belum menikah. Mereka merekam adegan syur di ranjang di dalam kamera; lalu dibagi-bagikan!
(Kini, apa yang pernah dilakukan beberapa artis itu, ketularan sama pelajar. Mereka juga merekam adegan-adegan syur mereka sendiri du HP).
Empat hari sebelum hari raya tiba, Safiah sudah memiliki HP. Tak lekang di tangan. Kemana-mana, ia selalu menenteng. Padahal tasnya ada. Tapi kalau dalam tas sih, tak ada yang bisa melihat. Nada panggil juga distell dengan suara maksimal. Ya, biar semua orang bisa dengar. Apalagi, dalam HP-nya juga tersedia berbagai macam irama.
Tumben! Malam ke-28, Safiah ikut tarawih. Sesuatu yang tak pernah dilaksanakannya selama sebulan itu. Saat masuk, pengurus meunasah sudah mengingatkan untuk tak membuat gaduh; dengan berbagai suara.
Tapi HP Safiah tetap aktif.
Ia menyuruh pula beberapa kolega untuk menghubunginya selagi ia di meunasah. Beberapa kali, jamaah menoleh. Ia tak peduli, yang penting orang tahu kalau ia sudah memiliki HP –suatu barang yang di Gampong Seulaseh sebagai sesuatu yang sedikit langka; padahal di Gampong Baroh, anak-anak Taman Kanak-Kanak (TK) pun sudah pakai HP.
Sejak saat itu, Safiah merasakan reaksi-reaksi yang kemudian melahirkan sensasi-sensasi. Ada kepercayaan baru, tambah pengalaman, dan tentu, meuteumpok pengetahuan. Ia sudah tahu cara mengirim short massage service (SMS). Ia juga sudah tahu cara kirim multy massage service (MMS). Safiah juga sudah kenal polyphonic, three-g, dan video streaming.
Dengan HP baru itu, Safiah benar-benar merasa sangat luar biasa. Ia sudah bisa mendowload berbagai tawaran SMS untuk mengirim pesan ke kolega, memakai televisi, dan sebagainya.
Safiah tiba-tiba merasa terkejut. Dua hari sebelum lebaran, ia menerima sebuah SMS; “Aneuk cempala ateuh bak panah, saboh that ceudah yang mirah dada. Lon ngoen gata saling peumeuah, mangat jeut beukah ubena desya. Seulamat uroe raya.”
“O… kirim selamat uroe raya lewat SMS,” pikir Safiah tiba-tiba.
Dan, tak perlu lagi datang dari pintu ke pintu. Kirim SMS saja. Apalagi kalau ada yang sedikit mengganjal, ia kirim saja lewat SMS. Mumpung dapat momentum; hari raya.
Yang pertama ia kirim, untuk Haji Subi, duda gampong yang sedikit disukai Safiah. Ia mengirim pesan; “Dalam ketenangan jiwa mengalun Qalam Illahi, pada tutur bahasa tersirat kerinduan hati. Tak ternilai kata yang indah, selain maaf darimu di hari yang fitrah ini. Selamat hari raya!”
Safiah juga mengirim SMS untuk Toke Safa, lelaki yang sewaktu masih remaja sangat dicintainya. Ia menulis begini; “Apabila ada langkah yang membekas lara, kata-kata yang merangkai dusta, dan sikap yang menorah luka, di hari yang fitrah ini saya mohon maaf padamu. Semoga Allah selalu bersama kita!”
Untuk kawan-kawannya Safiah mengirim pesan; “mohon maaf lahir dan batin, selamat hari raya idul fitri. Pat ranup yang hana mirah, pat peuneurah yang hana bajoe, mungken lon tuan na salah, hana bak awai teuntee na bak dudoe (di mana sirih yang tak memerah, di mana penyepit yang tak berganjal, mungkin saya ada salah, tiada di awal tentu ada di akhir).”
Untuk saudaranya, ia kirim; “Ramphak langet kareuna bintang, ramphak blang karena peunula, ranphek kayee karena cadeung, ramphak ureung karena syedara (cantik langit karena bintang, cantik sawah karena ada tanaman, cantik pohon karena cabang, cantik orang karena kaum saudara). Di hari yang mulia ini, mohon maaf lahir dan batin, serta selalu dalam lindungan Illahi untuk kembali ke fitrah.”
Untuk teungku keusyik, Safiah menulis pesan seperti ini; “Cantik nian kain kebaya, dipakai orang pergi ke pecan. Bulan Ramadhan sudahlah usai, salah dan khilaf mohon maafkan.”
Untuk bekas pacarnya yang lain, Safiah mengirimkan; “Manakala hati selalu menduga, adakala pena salah menggores, di hari yang penuh baraqah, mohon maaf lahir dan batin. Semoga Allah melimpahkan hidayah serta mengantar kita kepada fitrah, Amien.”
Untuk teungku imuem, Safiah merangkai kata; “Kuala raja rap bineh laot, takawe eungkot jikap jeunara. Meuah desya lon nyang ka uliket, bek meusangkot paot di padang mahsya (muara raja dekat pinggir pantai, kita kail ikan dapat Jenara. Maaf dosaku yang di belakang, jangan bersangkut-paut di padang mahsyar).”
Safiah juga masih menyimpan SMS; “Pajan masa boh timen taplah, mungken wate grah ngoen uroe tutoeng. Nyoe keuh masa lon lakee meuah, pat na salah beu Tuhan peu ampon (Kapan buah timun dibelah, mungkin waktu dahaga kala terik mentari. Saat inilah saya minta maaf, di mana ada salah agar Tuhan ampuni).”
Safiah malah mendata seluruh nomor HP yang ada padanya. Kesemua nomor ia kirimkan pesan; “Ranub kuneng lon susoen lam bate, pineung ngoen gambe dalam ceurana, meuah desya lon baten ngoen lahe, gantoe lon hade bak uroe raya (sirih kuning saya susun dalam bate, pinang dengan gambir dalam cerana, maaf dosaku batin dan lahir, ganti saya hadir pada hari raya).”
Entah berapa ratus SMS yang ia kirimkan. Masalah biaya, tentu tak terlalu menjadi soal. Toh semua kartu seluler saling berkejar memberi kemudahan. Dari kartu berkemas sachet, sampai pulsa murah dengan harga sekian dapat sekian.
Setelah mengirim semua itu, Safiah bergegas mempersiapkan segala hal untuk menyambut tamu hari raya di rumah. Ia sudah menyimpulkan tak akan mengunjungi rumah orang.
“Sudah saya kirim SMS, sudah saya minta maaf, sudah saya ucapkan selamat hari raya, ngapain lagi saya kunjungi dari rumah ke rumah,” begitu Safiah bergumam.
Malam lebaran, saat orang lain bertakbiran, Safiah berdiam di rumah menunggu SMS. Tentu, atas semua SMS yang sudah dikirim ke orang-orang yang jumlahnya beratus itu. Sejak malam itu, matanya tak lekang di HP.
“Mungkin ada SMS yang masuk.”
Tapi sampai hari kelima lebaran, SMS-SMS yang ditunggu, tak juga datang.
Tak ada yang bertamu ke rumah Safiah, walau ia sudah mempersiapkan banyak makanan-minuman. Tetangga sekalipun. Padahal selama lebaran, rumah-rumah orang di Gampong Seulaseh bersesak. Mereka saling berkunjung satu sama lain.
Tapi tidak di rumah Safiah.
Safiah belum juga mengerti, walau semua orang Gampong Seulaseh sudah begitu mempertanyakan, “ada apa dengan Safiah?” [sulaiman tripa]

Catatan:
Beberapa SMS dalam tulisan ini adalah SMS yang saya terima dari kerabat, guru, sahabat, dan kolega (maaf, telah kugunakan).

Rabu, 19 November 2008

TAKUT

HAMPIR setiap hari kucing lewat jalan itu, ia selalu melihat tikus-tikus got keluar berlarian sambil kejar-kejaran bersama beberapa kawannya. Saat pertama kali melewatinya, seekor kucing sempat kaget. O, ternyata ada tikus yang sebesar badannya.
“Di sini sepertinya banyak sekali ceurapee,” kucing, awalnya mencoba bertanya-tanya.
“Tapi sepertinya itu bukan ceurapee. Ceurapee nggak seperti itu,” pikirnya lagi.
“Apalagi, ceurapee tak bisa hidup di tengah kota. Tapi, apakah ini kota?” tanya kucing lagi dalam hati.
Ya, seperti kucing itu, mungkin tak semua orang tahu ceurapee. Binatang yang mirip tikus, tapi ekor panjang dan cantik membedakannya dengan tikus. Orang-orang yang memelihara ayam, sangat takut pada ceurapee. Pasalnya ceurapee tak sungkan-sungkan memangsa ayam.
Pemangsa ayam yang lain, ular misalnya, juga takut sama ceurapee. Soalnya, ceurapee sangat suka dengan mata ular yang (mungkin) lezat. Makanya kalau jumpa ular, selalu mata yang dicari.
Pernah Apa Ali di Gampong Baroh, memelihara ratusan ekor ayam di belakang rumahnya. Hampir tiap hari ada saja dua-tiga ayamnya yang hilang. Tak berbekas. Orang gampong tahu, itu pasti dimakan ceurapee.
Dalam memakan mangsa, ceurapee jarang meninggalkan bekas. Bukan karena ditolong sesama kawannya, seperti rimueng pluek dengan beberapa mengejar seekor kuda, dalam acara satwa di siaran televisi. Ceurapee memang profesional. Ia sengaja tak meninggalkan bekas, biar besoknya ia bisa dengan leluasa memangsanya lagi karena sang empunya tak tahu kalau perliharaannya habis satu persatu.
Untung Apa Ali sedikit sigap dalam menjaga harta. Tiap pagi dan sore ia tak lupa mendata. Ya, semacam menghitunglah. Ayamnya dihitung dari keluar geureupoh, sampai kembali ke geureupoh lagi. Saat ayam-ayam keluar dan pulang untuk makan.
Masalahnya, ceurapee lebih profesional. Geureupoh Apa Ali dibobol dengan rapi. Ceurapee sudah lama mempelajari celah-celah dari geureupoh Apa Ali itu. Jadi mangsanya selalu saja raib. Ia selalu lolos. Kalau tidak jeli begini, ayam-ayam akan habis dengan sendirinya.
Di Gampong Baroh, karena terilhami profesionalisme ceurapee, ada seorang pelawak, Amat namanya, sekarang dipanggil dengan Amat Ceurapee. Karena ia pandai membuat orang sampai tertawa terpingkal.
Beda dengan tikus, gaya mangsanya meninggalkan jejak. Maka seringkali, tikus bisa terkena jebakan. Kalau ia makan buah-buahan, dari makanan rendahan seperti kulit pisang, sampai buah mewah seperti apel, tak pernah habis ia makan. Dalam hal makan, ia memang mirip tupee yang membobol buah kelapa menjadi boh lupieng.
Bukan hanya buah-buahan, tikus memakan ikan asin pun selalu meninggalkan bekas. Sisa ikan asin disebarkan ke rata tempat, sehingga tak jarang menebarkan bau yang tak sedap. Tahu ‘kan, bau ikan asin baru menyengat mengundang nafsu makan bila digoreng di siang hari saat sinar mentari terik sekali. Lawannya pasti kuah leumak (kuah santan seperti masakan Minang). Apalagi siang-siang bulan Puasa.
Saat semua rumah sudah gundah dengan ulah sang tikus, warga gampong sepakat untuk membasminya. Ada yang menggunakan racun, lem tikus, kandang perangkap, sampai memelihara kucing yang mampu dan mau mengejar tikus.
Di rumah yang banyak anak-anak, sudah pasti pemilik rumah tak akan menggunakan racun, karena bisa berbahaya bagi semuanya. Di rumah yang banyak barang elektronik, menggunakan lem tikus juga bukan pilihan yang baik, karena resiko terjerempet ke barang-barang itu saat tikus melawan-ronta. Di rumah yang sedikit sempit, model perangkap juga tak begitu bagus bagi tata letak rumah.
Banyak rumah kemudian memelihara kucing untuk menggunakan jasanya. Modal tak banyak yang harus dikeluarkan, karena makanan kucing juga bekas pemilik rumah makan –ketimbang terbuang. Kucing juga tak harus dibeli. Banyak orang gampong seberang yang memang berkarung-karung membuang kucing ke gampong ini.
Resikonya, kucing kerap tak jujur dalam menjalankan tugas. Ikan-ikan yang melelehkan liur, tak dilihatnya bila di depan tuan. Giliran pemilih rumah lengah, ia tak hanya melahap ikan-ikannya, tapi juga membawa lari piring-piringnya.
Celakanya, kucing juga kerap meninggalkan bekas. Tulang-tulang ikan yang tak habis dimakan, ditinggalkan meusiseue begitu saja di sembarang tempat. Kalau itu, tuan masih sangat mentolerir. Tapi yang sedikit menyebalkan, bangkai tikus juga ditinggalkan sembarangan. Itu ‘kan bisa menghilangkan nafsu makan tuannya?
Marwan, anak Apa Ali, suatu waktu sampai marah besar saat di bawah tempat tidurnya ada kepala tikus.
“Sudah resiko kita dalam menggunakan jasa kucing,” begitu Apa Ali mencairkan suasana dalam rumahnya.
Rupanya, Apa Ali masih sangat bangga biar kucing membuat beberapa masalah. Apalagi dapat kepala tikus, itu akan efektif sekali untuk menghitung jumlah tikus yang berhasil dimangsa; juga terlihat tikusnya yang cekatan dan berani.
Sampai suatu waktu, tikus-tikus sudah tak ditemui di rumahnya. Apa Ali sudah sangat lega. Persoalan tikus sudah selesai, walau gangguan ceurapee masih kerap terjadi. Walau harus menanggung makan kucing, tak masalah, karena tikus berhasil dibasmi.
Mendekati bulan Puasa lalu, di Gampong Tunong terjadi wabah penyakit. Setelah diteliti dokter, ternyata penyakit itu disebarkan tikus. Banyak warga terkena. Beberapa kali dilakukan operasi besar-besaran mengejar tikus, tapi tikusnya tak kelihatan berkurang.
Sang Kepala Gampong pun membuat kontes. Ketika sampai ke telinga Apa Ali ada kontes mengejar tikus, ia jingkrak kegirangan.
“Saya akan dapat uang besar tahun ini. Ya, dekat uroe raya (hari raya) pula,” pikirnya.
Wajar ia girang. Pasalnya, ia memiliki seekor kucing piaraan yang sangat cerdas dan berani dalam menangkap tikus.
Kontes itu pun diterima dengan segera. Kontrak perjanjian segera diteken antara Apa Ali dan keusyik. Lalu kucing pun mulai dilepaskan untuk beroperasi. Sang kucing kaget bukan main, saat melihat puluhan kucing di sana tapi tak berbuat apa-apa. Mereka tak seperti mengejar tikus. Tapi ia tak peduli. Ia menyisir gampong, tak ditemukan sisa-sisa kepala. Tak ada juga bulu-bulu yang jadi penanda. Tak ada pula gigi yang jadi penunjuk.
Di sudut jalan, ia mundur beberapa langkah. Ternyata seekor tikus yang sebesar badannya, sedang menuju ke arah kucing itu. Sambil berbalik arah, melirik kucing-kucing lain yang menonton fenomena itu dengan tenang, kucing Apa Ali mengambil langkah seribu.
Kok bisa? Bingung ‘kan? Kini, tikus-tikus got jauh lebih berani ketimbang kucing Apa Ali. Apa Ali tak terlihat lagi di muka umum ketika kucingnya menceritakan ada tikus yang sebesar ceurapee. [sulaiman tripa]

Handphone

PERKEMBANGAN informasi dan komunikasi, akan berbanding lurus dengan perkembangan alat teknologi itu sendiri. Bayangkan ketika 30 tahun lalu, orang-orang yang memiliki jaringan telepon bisa dihitung dengan jari. Di kota Banda Aceh, hanya beberapa orang saja yang memakai telepon. Sebelumnya, orang memakai telegram untuk menyampaikan pesan.
Tak berapa lama, telepon menjadi tersedia di mana-mana. Orang-orang yang tidak memakai telepon di rumah, tersedia banyak telepon umum dan warung telepon (Wartel). Maka untuk berbicara kemana-mana, bisa dilakukan kapan saja. Kekurangannya, kadangkala orang yang ditelepon tidak ada di sekitar telepon. Maka pager pun mulai dikenal.
Perkembangan teknologi berlangsung begitu cepat. Sebelum orang merasa puas memakai satu jenis alat teknologi, sudah hadir bentuk yang baru. Ketika orang belum semuanya memiliki telepon –bahkan ada orang yang belum tahu telepon, apalagi menggunakanya—sudah hadir berbagai alat telekomunikasi yang lain.
Handphone yang hadir pertama sangat terbatas fasilitas layanan yang ditawarkan. Tapi sekarang, beraneka ragam fasilitas layanan sudah tersedia. Perusahaan yang memproduksi alat telekomunikasi berlomba-lomba menciptakan yang baru yang merebut pasar agar orang-orang menyukai dan membelinya.
Kini, handphone bukan lagi alat yang asing. Orang juga tidak akan tercengang lagi bila ada orang yang di sekitarnya sudah memakai handphone. Perkembangan zaman terjadi begitu cepat.
Pada akhirnya, semua alat –sebagaimana alat yang lain—akan tergantung pada penggunanya. Bila penggunanya baik, akan menggunakannya untuk hal-hal yang baik. Akan tetapi bila penggunanya bermental “miring” maka akan digunakan untuk hal-hal yang buruk.
Begitu juga dengan handphone, bisa dipergunakan untuk hal-hal yang makruf, bisa juga dipergunakan untuk hal-hal yang mungkar.
Intinya, tergantung penggunanya. Alat itu bisa dipakai. Sedangkan untuk apa dipakai alat itu, sepenuhnya dikelola oleh pengguna. Yang sombong itu adalah penggunanya, bukan handphone-nya. Yang congkak itu manusia, bukan alatnya.
Maka sudah pasti tidak bisa disalahkan hanphone ketika sesuatu yang “salah atau tidak baik atau tidak benar” terjadi. Posisi itu ada pada pengguna, pada pengelolanya.
Di tempat-tempat yang mengharuskan handphone dimatikan, juga bukan salah handphone-nya, tapi orang-orang yang menggunakannya. Handphone bisa matikan, bisa dinyalakan. Logikanya, dimatikan atau dinyalakan, itu tergantung pada penggunanya –yang selalu melakukannya dengan alpa atau secara sengaja.
Bila di dalam masjid berbunyi handphone, padahal di segala sudut sudah tertempel pengumuman agar handphone dimatikan –ditambah ingatan yang diberikan bilal, maka bila handphone tetap berbunyi, itu merupakan cermin dari penggunanya –yang bisa saja karena alpa, bisa juga karena melakukannya dengan sengaja.
Ini adalah zaman sibuk, kata orang. Maka handphone sering dianggap untuk mencerminkan tingkat kesibukan. Apa yang terjadi ketika kesibukan itu tidak mau dikurangi walau untuk menghadap Tuhan sekalipun? Bukankah ketika orang masuk ke masjid, masuk ke meunasah, orang-orang sebenarnya meluangkan waktu untuk berhadapan dengan Tuhannya, Rabb-nya, Penciptanya? Nah, bila ada orang yang ketika sedang menghadap Tuhan, menghadap Rabb, menghadap Pencipta, ternyata masih bunyi handphone sebagai panggilan dari yang lain, bukankah yang lain itu sudah dianggap sebagai sesuatu yang penting juga –yang seharusnya tidak boleh terjadi ketika sedang menghadap Tuhan, Rabb, Khaliq?
Tapi kenyataannya, di dalam masjid, di dalam meunasah, di waktu shalat, di waktu menghadap Tuhan, Rabb, Pencipta, Khaliq, handphone-handphone juga sering berbunyi. Logikanya, apalagi di waktu yang lain.
Sebagai manusia, cukup sering terlihat, ketika ada pertemuan penting entah dengan siapa akan mau mematikan handphone-nya, yang barangkali tak semua orang mau melakukannya ketika ia berhadapan dengan Tuhannya.
Sebenarnya, ini menjadi “miring”, menjadi ganjil, menjadi irasional, menjadi tidak sehat, menjadi tidak waras. Tapi dalam kehidupan masyarakat kita, hal ini terjadi. Benar-benar terjadi, hingga kita kadangkala harus selalu mengurut dada, sembari mengatakan: namanya saja handphone! [sulaiman tripa]

Selasa, 18 November 2008

Klakson

DI jalan-jalan umum di Banda Aceh, kekacauan sudah terlihat. Pengemudi, sebagiannya sudah “miring”. Ugal-ugalan sering terlihat di jalan raya, sehingga ada ungkapan: jalan raya menjadi salah satu sebab “tercabutnya” nyawa manusia. Banyak orang yang sudah terakhiri hidupnya di sana.
Orang-orang mulai tidak sabar dalam menggunakan jalan raya, sehingga yang timbul adalah orang-orang akan langsung menerobos bila sedikit macet. Tidak sabar lagi menunggu dan bergerak seperti air yang mengikuti alur. Entah bagaimana kalau seandainya tingkat kemacetan Banda Aceh sudah sebanding dengan kemacetan di Jakarta. Mungkin akan banyak orang yang akan berantam, rebut, saling bersangar wajah karena ingin menggunakan jalan lebih dulu.
Ketidaksabaran ini, di Kota Banda Aceh, masih ditambah lagi dengan lokasi parkir di sembarang tempat. Jalan-jalan utama, tiba-tiba sudah menjadi lahan parkir yang bisa menghabiskan sampai dua pertiga bagian jalannya. Lihatlah jalan-jalan di Banda Aceh, bagaimana kacaunya sekarang. Mobil-mobil berbadan lebar pun masuk ke segala pelosok yang seharusnya hanya bisa dimasuki untuk jenis-jenis kendaraan tertentu saja. Ini persoalan, ketika ada yang menganggap kota ini sebagai kota yang tidak lagi memiliki aturan dan tata krama.
Setiap lampu traffic harus selalu dijaga lalu lintas, karena orang-orang yang tidak sabar akan langsung menerobos. Padahal dalam konteks sosial, ketika lampu merah sedang menyala, maka sesungguhnya kita harus menunaikan kewajiban untuk membiarkan orang lain yang mendapat lampu hijau untuk lewat.
Seharusnya, gampong kita yang berbudaya dan Islami, tidak akan membiarkan perilaku-perilaku yang asosial itu mengemuka. Toh lampu traffic bukan untuk polisi lalu lintas, maka seharusnya tidak perlu dijaga. Sebagai pemakai jalan, seharusnya ada kesadaran bahwa keegoan dalam memakai jalan tidak boleh ada.
Itu baru satu kekacauan. Masih ada kekacauan lain di jalan raya, yaitu bunyi klakson. Sedikit macet, mungkin karena suatu sebab, maka para pengemudi akan berlomba-lomba memencet klakson kendaraannya. Berhenti di traffic light karena lampu merah, begitu lampu hijau menyala, orang-orang menyalakan klakson, padahal kendaraan di depannya baru bisa bergerak sesudah beberapa waktu setelahnya karena harus memasukkan gigi, dan sebagainya.
Fenomena ini juga memperlihatkan keterkaitan antara bunyi klakson dengan tingkat kesabaran. Orang-orang yang sakit jantung, tentunya harus mengurangi mengendarai kendaraan sendiri karena akan menambah parah sakit jantungnya karena bunyi klakson yang kerap bersuara walau bukan sebagai pertanda apa-apa.
Seorang teman yang baru pulang menuntut ilmu di Malaysia bercerita, bahwa kalau di luar negeri sana, klakson baru berbunyi ketika ada lokasi-lokasi khusus yang banyak hewannya. Ini juga menjadi pembeda di tempat kita, bahwa jalan-jalan kota sekalipun ternyata cukup banyak hewan yang berkeliaran.
Akan tetapi terlepas ada atau tidaknya hewan, klakson pada kenyataannya selalu dibunyikan di jalan raya. Seorang dosen saya di kampus, mengatakan: sungguh tak sopan seseorang memberi salam dengan klakson. Tapi sekarang, menyahut salam juga dengan klakson. Mau dibilang apa, ya ‘kan?
Teman yang baru pulang menuntut ilmu di Malaysia tadi berseloroh: Jangan-jangan segala yang lewat di jalan raya di tempat kita, sudah terlanjur dianggap hewan oleh pengemudi kendaraan!
Mungkin bisa saja seperti itu. Namun ada juga kenyataan lain yang mendukung: lihatlah di tempat-tempat yang dilarang berbunyi klakson, orang-orang juga membunyikan klaksonnya. Melewati masjid atau meunasah misalnya, banyak tempat yang sudah dipasang rambu dilarang klakson pada waktu-waktu shalat, tapi bunyi klakson tetap ada. Orang-orang yang memakai knalpot bersuara besar juga sering membesarkan suara kendaraannya begitu sampai di tempat-tempat yang dilarang bersuara keras. Sangat sering terjadi seperti itu.
Banyak anomali sudah di sekitar kita. Dilarang berhenti, orang berhenti. Dilarang parkir, banyak yang memarkir. Dilarang lewat, dilewati. Jalan satu arah, menjadi dua arah. Sudah tidak jelas. Mungkin harus ditanya kenapa. Masalahnya, menanyakan kepada siapa?
Bingung ‘kan?
Mungkin, di jalan raya sudah kehilangan tata krama. Alat ukurnya bisa digunakan suara klakson. Menarik untuk mengamati bagaimana orang-orang seperti sangat senang dengan suara klakson. Seperti di tempat kita ini! [sulaiman tripa]

Senin, 10 November 2008

TUENG

ADA beberapa aktivitas yang menyangkut dengan kata tueng. Di antara yang penting, adalah tueng dara baro dan tueng linto baro. Selain itu, ada tueng ie sembahyang, dan sebagainya. Dalam tulisan ini, menarik untuk melihat tueng dalam konteks dara baro dan linto baro.
Ada beberapa hal yang berbeda dalam sebuah pernikahan, bahwa menikah antara seorang laki-laki dan perempuan, belum mencerminkan adanya proses tueng dalam masing-masing keluarga. Hal ini penting, karena sebuah proses pernikahan, adalah proses yang melibatkan banyak keluarga –bukan hanya dua buah keluarga.
Dalam hubungan dengan keluarga, adanya bentukan keluarga baru dikarenakan oleh hubungan dua keluarga dasar. Ada orang-orang yang menjalani proses ini tanpa melibatkan keluarganya, sebagai cermin dari eksistensi egois. Atau bisa jadi, tanpa pelibatan keluarga disebabkan oleh perilaku-perilaku yang tidak benar dari mereka.
Dalam konteks masyarakat, penerimaan ini berkaitan dengan proses interaksi dengan orang-orang yang lebih lurus yang akan dilakukan nantinya. Orang-orang tentu tidak bisa mengekang dirinya dalam sebuah rumah kaca dan membebaskan diri untuk berhubungan dengan orang lain.
Tak ada, manusia yang super sekalipun, bisa memenuhi segala kebutuhannya. Sekecil apapun pasti membutuhkan sesuatu dari orang lain.
Inilah yang menjadi dasar mengapa tradisi tueng itu ada dalam masyarakat. Ini, terutama, berkaitan dengan kenyataan bahwa perkawinan, kelahiran, dan kematian, ada tiga peristiwa besar dalam hidup manusia. Makanya bila ada kelahiran, perkawinan dan kematian, syedara akan marah bila tidak diberitahukan.
Sebagian keluarga juga menjai cermin, di mana tingkat persaudaraannya akan kental bila dalam kejadian itu, banyak syedara yang tak mendampingi. Demikian juga sebaliknya.
Tueng dara baro atau tueng linto baro, dengan demikian bermakna kekerabatan. Sekecil apapun khanduri perkawinan, semua keluarga akan didatangkan untuk diperkenalkan secara detail.
Aktivitas tueng itu berlangsung di rumah. Orang yang menerima akan memperlihatkan keadaan asli mereka. Demikian juga yang diterima, akan melihat kenyataan asli keluarganya. Jadi, tak ada dusta di antara mereka. Tak ada som gasien, lalu pulumah kaya.
Bentuk-bentuk inilah yang sudah menggejala ditinggalkan. Berubah. Sudah banyak orang yang tidak lagi melakukan aktivitas tueng karena lebih mementingkan khanduri sebagai sebentuk pesta. Orang-orang yang menikah, lalu mengundang orang banyak untuk hadir dalam pestanya.
Orang sudah mulai melupakan tueng menantu di rumah. Acara-acara penting dalam hidup sudah mulai diperhitungkan tingkat kepraktisan, dengan melakukannya di gedung-gedung yang umumnya mewah.
Melakukan di gedung, selain cermin praktis dan efektif, juga kampanye kelas. Orang-orang yang tidak berkecukupan tidak mungkin mampu melakukannya di gedung.
Dalam konteks praktis dan efektif, tak banyak hal yang harus dilakukan. Semua sudah tersedia. Tinggal dibayar dengan jumlah sekian. Di samping itu, keterkaitan dengan orang lain dalam konteks bantu-membantu, juga tak lagi dipandang sebagai beban.
Sementara kalau di gampong, di rumah, orang kampung sekalipun tidak ingin malu pada tamu yang akan datang. Prinsipnya. Makanya, mereka memperlihatkan perilaku saling membantu. Itu juga cermin dari tueng!
(Sulaiman Tripa)

SEURUNE

ANAK-anak di gampong seperti saya, sangat tidak sabar menunggu masa panen tiba, saat padi di sawah penduduk mulai menguning. Ada beberapa sebab, paling tidak: Pertama, begitu panen, anak-anak punya pendapatan lewat aktivitas yang bernama pileh pade. Anak-anak membantu membawa padi yang sudah dipotong ke tempat yang dibuat tumpuk-tumpuk yang seperti rumah kecil. Setelah selesai, semua berbanja dan masing-masing akan diberikan beberapa nibai (kumpulan batang padi yang sudah diikat) untuk menjadi milik si anak. Mereka akan mengumpulkan, membawa pulang ke rumah untuk kemudian dirontokkan (ceumeulho) lalu dijual.
Masa lalu sangat berbeda, anak-anak seusia saya sangat sulit mendapat uang untuk jajan. Makanya ada perbedaan wajah anak-anak begitu panen tiba. Mereka memiliki uang untuk berbelanja. Dan itu sangat jarang didapat. Biasanya hanya setahun sekali.
Kedua, batang-batang padi yang sudah dipotong akan dipilih yang besar-besar untuk dibuat alat tiup yang menghasilkan suara-suara. Waktu saya masih kecil alat itu namanya seurune. Batang padi (dipilih yang besar), dibersihkan, dilobangi dengan bentuk tertentu agar menghasilkan suara yang beraneka.
Para penemu suara dari batang padi yang akhirnya bernama seurune itu, sudah pasti tidak ditemukan dalam sejarah alat musik. Padahal orang-orang yang pada awal hingga menemukan bunyi itu, membutuhkan pikiran-pikiran, analisa-analisa, praktek-praktek, hingga sampai kepada suara yang diinginkan.
Setiap pembuat seurune, juga butuh imajinasi-imajinasi yang tidak mudah. Mungkin imajinasi itu sama ketika orang memikirkan untuk membuat seruling, beduk, gitar, organ, dan alat musik lainnya. Sama-sama butuh imajinasi. Tapi seurune adalah alat dari kampung yang dipandang kampungan oleh orang-orang yang mengaku tidak kampung.
Prosesnya pun menyebar dengan lambat. Tak ada bantuan tenologi informasi dan komunikasi. Bisa jadi, antara satu kampung dengan kampung lain, proses penyebaran seurune berlangsung lambat.
Sama seperti ilmu-ilmu kampung tentang pengumuman. Kenyataan adanya kekayaan lokal yang namanya kampanye ie beuna, juga berlangsung lambat. Namun berdaya tahan lama.
Sama seperti seurune, konsep lokal tentang ie beuna juga tidak banyak mendapat perhatian. Konsep itu hanya dibutuhkan ketika ada kegiatan-kegiatan eksplorasi kekayaan lokal. Sesudah itu, tidak lagi menjadi wacana yang terus meluas.
Ie beuna tetap jadi kekayaan masyarakat tertentu, dan jarang dikampanyekan secara luas agar juga menjadi kekayaan dan pengetahuan bagi yang lain. Alasannya sederhana, mungkin karena itu, informasi yang lahir dari kampung.
Seurune juga demikian. Gegap gempita baru ada ketika seurene yang berbasis tidak kamung lahir dan dimunculkan. Alat bantunya mesin. Kalkulasinya sangat matematis. Prediksinya sudah diperkirakan jauh-jauh hari.
Seurune ini, akan berbunyi bila diperkirakan ada suatu peristiwa yang telah dianalisis sebelumnya. Semacam pemberitahuan. Seolah kalkulasi ini tidak pernah salah.
Pada akhirnya, di kampung kita, kenyataan itu pernah terbalik. Tidak ada kejadian apa-apa, tapi seurune berbunyi. Alat teknologi itu, dikatakan sedang terganggu. Masalahnya, orang-orang yang menjadi ribut dan panik. Gaduh dan riuh.
Kejadian seperti ini, tidak pernah diprediksi. Inilah bedanya dengan anak-anak seusia saya dulu, ketika habis panen ramai-ramai ke sawah mencabut batang padi dan mengolahnya menjadi alat yang mengeluarkan suara dan enak didengar. Orang-orang tidak akan memaki para peniup seurune itu. (Sulaiman Tripa)

Sabtu, 08 November 2008

HP

PERKEMBANGAN informasi dan komunikasi, akan berbanding lurus dengan perkembangan alat teknologi itu sendiri. Bayangkan ketika 30 tahun lalu, orang-orang yang memiliki jaringan telepon bisa dihitung dengan jari. Di kota Banda Aceh, hanya beberapa orang saja yang memakai telepon. Sebelumnya, orang memakai telegram untuk menyampaikan pesan.
Tak berapa lama, telepon menjadi tersedia di mana-mana. Orang-orang yang tidak memakai telepon di rumah, tersedia banyak telepon umum dan warung telepon (Wartel). Maka untuk berbicara kemana-mana, bisa dilakukan kapan saja. Kekurangannya, kadangkala orang yang ditelepon tidak ada di sekitar telepon. Maka pager pun mulai dikenal.
Perkembangan teknologi berlangsung begitu cepat. Sebelum orang merasa puas memakai satu jenis alat teknologi, sudah hadir bentuk yang baru. Ketika orang belum semuanya memiliki telepon –bahkan ada orang yang belum tahu telepon, apalagi menggunakanya—sudah hadir berbagai alat telekomunikasi yang lain.
Handphone yang hadir pertama sangat terbatas fasilitas layanan yang ditawarkan. Tapi sekarang, beraneka ragam fasilitas layanan sudah tersedia. Perusahaan yang memproduksi alat telekomunikasi berlomba-lomba menciptakan yang baru yang merebut pasar agar orang-orang menyukai dan membelinya.
Kini, handphone bukan lagi alat yang asing. Orang juga tidak akan tercengang lagi bila ada orang yang di sekitarnya sudah memakai handphone. Perkembangan zaman terjadi begitu cepat.
Pada akhirnya, semua alat –sebagaimana alat yang lain—akan tergantung pada penggunanya. Bila penggunanya baik, akan menggunakannya untuk hal-hal yang baik. Akan tetapi bila penggunanya bermental “miring” maka akan digunakan untuk hal-hal yang buruk.
Begitu juga dengan handphone, bisa dipergunakan untuk hal-hal yang makruf, bisa juga dipergunakan untuk hal-hal yang mungkar.
Intinya, tergantung penggunanya. Alat itu bisa dipakai. Sedangkan untuk apa dipakai alat itu, sepenuhnya dikelola oleh pengguna. Yang sombong itu adalah penggunanya, bukan handphone-nya. Yang congkak itu manusia, bukan alatnya.
Maka sudah pasti tidak bisa disalahkan hanphone ketika sesuatu yang “salah atau tidak baik atau tidak benar” terjadi. Posisi itu ada pada pengguna, pada pengelolanya.
Di tempat-tempat yang mengharuskan handphone dimatikan, juga bukan salah handphone-nya, tapi orang-orang yang menggunakannya. Handphone bisa dimatikan, bisa dinyalakan. Logikanya, dimatikan atau dinyalakan, itu tergantung pada penggunanya –yang selalu melakukannya dengan alpa atau secara sengaja.
Bila di dalam masjid berbunyi handphone, padahal di segala sudut sudah tertempel pengumuman agar handphone dimatikan-–ditambah ingatan yang diberikan bilal, maka bila handphone tetap berbunyi, itu merupakan cermin dari penggunanya -–yang bisa saja karena alpa, bisa juga karena melakukannya dengan sengaja.
Ini adalah zaman sibuk, kata orang. Maka handphone sering dianggap untuk mencerminkan tingkat kesibukan. Apa yang terjadi ketika kesibukan itu tidak mau dikurangi walau untuk menghadap Tuhan sekalipun?. Bukankah ketika orang masuk ke masjid, masuk ke meunasah, orang-orang sebenarnya meluangkan waktu untuk berhadapan dengan Tuhannya, Rabb-nya, Penciptanya?. Nah, bila ada orang yang ketika sedang menghadap Tuhan, menghadap Rabb, menghadap Pencipta, ternyata masih bunyi handphone sebagai panggilan dari yang lain, bukankah yang lain itu sudah dianggap sebagai sesuatu yang penting juga –yang seharusnya tidak boleh terjadi ketika sedang menghadap Tuhan, Rabb, Khaliq?.
Tapi kenyataannya, di dalam masjid, di dalam meunasah, di waktu shalat, di waktu menghadap Tuhan, Rabb, Pencipta, Khaliq, handphone-handphone juga sering berbunyi. Logikanya, apalagi di waktu yang lain.
Sebagai manusia, cukup sering terlihat, ketika ada pertemuan penting entah dengan siapa akan mau mematikan handphone-nya, yang barangkali tak semua orang mau melakukannya ketika ia berhadapan dengan Tuhannya.
Sebenarnya, ini menjadi “miring”, menjadi ganjil, menjadi irasional, menjadi tidak sehat, menjadi tidak waras. Tapi dalam kehidupan masyarakat kita, hal ini terjadi. Benar-benar terjadi, hingga kita kadangkala harus selalu mengurut dada, sembari mengatakan: namanya saja handphone![Sulaiman Tripa]

Kamis, 06 November 2008

WATAK

DI gampong saya, ada enam aneuk bangai gampong (kita singkat saja dengan ABG), yang memiliki kepribadian berbeda-beda. Semua mereka bertingkah menurut gaya masing-masing. Perilakunya, kerap tak lazim, dan aneh, sepertinya memang cenderung meminta perhatian.

Pertama, namanya Bawas. Sehari-hari, Bawas ini sebagai penggali pasir. Lalu pasir itu dijual untuk mendapatkan uang hari-harinya. Sorenya, ia mejeng. Rokok kretek putih tak pernah lekang dari tangan kanannya. Bungkusannya, selalu berada di kantong belakang celana jeans yang dipakai, dengan tampak setengah bungkusannya. Bajunya sedikit ketat. Di dada sebelah kanannya, selalu berlambang kelinci. Barangkali, Bawas memiliki beberapa baju dengan cap serupa.
Selama ini, rantai sudah tak pernah --- dari lehernya dengan ukuran raksasa. Ia memakai kalung besar. Tapi di gampong, orang-orang menyebut rantai untuk orang laki-laki yag memakai kalung. Alasan orang gampong, karena kalung itu bukan perhiasan lak-laki. Dulu orang-orang gampong-----

Kedua, Rahimah. Seorang gadis, yang sangat suka memperlihatkan likuk tubuhnya. Ia selalu memakai celana jeans baggy, dengan ukurannya yang pas, yang tampak sedikit pusarnya. Buah dadanya juga sedikit menyembul. Bajunya, ketika celana dalamnya yang berwarna-warni sering tampak.

Rahimah, tipe gadis (entah ia masih gadis?) yang sangat suka senyum kepada siapa saja. Senyuman itu, akan tambah mengembang bila bertemua dengan pemuda-pemuda yang tanggung yang datang dari luar gampong. Ini tentu sangat disukai oleh orang-orang muda yang sehari-hari selalu punya jadwal mejeng.

Ketiga, Maruah, seorang pemuda yang tidak terlalu ganteng, tidak terlalu tampan. Keluarganya, seperti keluarga saya, miskin. Tapi penampilannya sangat berlebihan, hingga orang-orang yang melihatnya tak akan menyangka bahwa ia berasal dari keluarga miskin. Orang tuanya kelimpungan mencari duit untuk membeli baju baru untuknya. Bahkan sepetak tanoh blang yang dimiliki terpaksa dijual karena Maruah menginginkan sebuah sepeda motor.

Kini, di telinganya sudah berderet empat kerabu di telinga kanannya yang ditindik teratur, satu di antaranya ditindik dengan bertindih. Bahkan ia memiliki sau tindikan di hidungnya. Tak segan dan tanpa malu, ia menampakkan anting-anting itu kepada semua orang.

Keempat, Wahta, perempuan dengan rambut yang berwarna-warni. Ia tidak suka dengan jilbab. Sama sekali tidak suka. Walau di gampong sering dilakukan razia untuk orang-orang yang tidak mengenakan jilbab. Tapi ia memang tidak pernah tertangkap saat razia jilbab yang dilakukan di gampong.

Rambutnya kerap bertukar warna. Kemarin kuning, hari ini merah, besok biru, lusa bisa jadi oranye kayak kulit jeruk. Nah, warna pirang inilah yang paling ia suka. Mungkin ia sering memimpikan untuk mendapatkan rambutnya yang seperti kepunyaan bule yang akhir-akhir banyak keluar-masuk gampong.

Kelima, Brasta, lelaki tanggung yang sedang mencari identitas diri. Bila mencarinya, sangat mudah ditemui di rumah-rumah orang gampong yang memilik anak gadisnya. Ia sudah tahu rumah mana saja yang ada anak gadis. Ia sampai menggilir rumah-rumah dan duduk berlama-lama di rumah gadis tak perlu tahu, apa yang punya rumah suka atau tidak.

Karena ia orang asoe lhok, maka sering ada orang gampong yang merasa risih. Yang ada hanya jadi bahasa tertawaan. Lain halnya bila ada orang-orang yang di luar gampong yang bertingkah seperti itu.

Keenam, Pipis, anak orang kaya, memiliki motor, selalu membawa gadisnya untuk berlama-lama di pinggir pantai di sudut gampong. Ia memiliki 1001 cara untuk bisa mendedah tubuh perempuan di sana.

Kabarnya, ia anak seorang tokoh, salah satu pacarnya juga anak seorang tokoh di gampong. Suatu waktu, orang-orang gampong, terpaksa menangkap mereka yang sedang telanjang di pinggir pantai. Ada semak-semak di sana. Tapi karena ia anak seorang tokoh, maka tak ada proses pemandian terhadap mereka. Di gampong, orang-orang terlalu teringat sama orang tuanya yang punya kuasa.[ST]

PESTA

SUBUH itu, malapetaka terjadi juga. Polem Mansur merepet-repet. Sambil keluar, ia mengacung-acungkan pedang pusaka milik almarhum bapaknya yang meninggal melawan Belanda. Sudah berkarat dan panjang sekali.
“Mana dia? Mana dia?” teriak Mansur.
            Orang gampong belum selesai shalat subuh. Saat itu, Teungku Min memimpin shalat segera memberi salam. Tak berdoa seperti biasa. Semua jamaah berhamburan keluar meunasah mau melihat gaduh.
“Ada apa?”
          Mansur masih belum beranjak. Mulutnya bertambah gaduh dengan entah apa.
“Assalamualaikum?” Teungku Min sampai ke sana.
“O … teungku, neu piyoeh!”
           Teungku masih meraba-raba.
“Ini lho teungku, ayam si Isa sering masuk halaman rumah saya!”
           Ternyata persoalan ayam! Mansur memegang pedang hanya gara-gara seekor ayam.
“Tidak begitu teungku. Masalahnya, ayam ini telah menyebabkan rusaknya keharmonisan ayam-ayam saya!”
          Setiap pagi, ternyata, ayam Polem Isa, tetangga Polem Mansur itu, selalu berkokok di atas pagar pembatas. Dia selalu buang hajatnya ke halaman Mansur. Ternyata, Isa juga tak mengandangkan ayamnya.
“Ia begitu liar, teungku!”
          Dasar Polem Isa, buat kandang di belakang rumah yang dekat kamar tidur Mansur pula.
“Tapi ‘kan ayamnya tak pernah masuk kandang!” Isa berkelit. Katanya, ia tak punya weker, makanya ia pelihara ayam.
          Memang benar, ayam jantan Isa selalu berkokok disaat pagi buta. Seringkali, ayam kepunyaan Isa  menjadi komando para kokok ayam segampong.
          Akhir-akhir ini, suasana menjadi lain karena ayam jantan Isa sudah sering nyelinap ke kandang betinanya Mansur.
“Ayamku tak pernah bertelur lagi semenjak itu,” kata Mansur.
          Ayam Isa dituduh mandul. Pencemburunya selangit. Habis, pejantan lain dihajar bila mendekati betina Mansur.
“Padahal sudah tahu, ia mandul.”
          Beberapa kali Mansur mencoba mengusir, tapi selalu gagal. Pejantan Polem Isa sangat gesit. Beberapa kali juga di pasang jebakan, tapi tak juga kena.
          Masalahnya ternyata, betina Mansur juga menikmati suasana itu. Ia yang memberitahukan kalau tuannya memasang jebakan. Ia pula yang memberi tahu waktu-waktu yang aman mereka bertemu.
          Saban hari seperti itu. Pejantan datang diam-diam ke betina. Nyelinap tanpa suara. Betina pun tak keberatan dengan itu. Ia ikut saja saat pejantan si Isa mengajaknya. Rupanya dalam beberapa ketika, beberapa pasang sudah terkumpul di kandang milik Abuwa Raman, di rumah bineh blang (pinggir sawah). Mereka merasa harus mencari suasana yang lebih rileks. Tak buru-buru.
          Akhir-akhir ini, pejantan semakin sering mengajak betina Mansur keluar malam. Beberapa kali Mansur memeriksa kandang, e tahu-tahu kosong.
          Nah, ditunggu selama beberapa malam, dilihatlah betinanya dibawa pulang pagi sama pejantan Polem Isa. Mula-mula ia pastikan, jangan-jangan bukan betina miliknya. Lama-kelamaan, ia yakin itu miliknya.
          Besok pagi-pagi sekali ia peringatkan agar jangan terulang. Polem Isa dipanggil. Satu-dua malam, suasana sedikit reda. Habis itu suasana semula kembali seperti biasa.
          Kesabaran Polem Mansur sudah habis. Makanya subuh itu dengan pedang di tangan ia menunggu sambil merepet-repet. Ia berharap saat itu bisa bertemu. Tapi tidak. Entah lewat mana betina dibawa pulang.
          Saat keluar rumah di pagi buta itu, matahari memang belum bersinar, pejantan Polem Isa dengan gagah berdiri di atas pagar pembatas membelakangi rumah Mansur, dengan setumpuk tahi juga, lantas ia berkokok.
          Polem Mansur, kalap![Sulaiman Tripa]