Senin, 25 Agustus 2008

Khanduri dan Keurija

ADA dua hal di sekitar kita yang bermakna (hampir) sama, yaitu khanduri dan keurija. Rasanya, semua kita tahu apa itu khanduri, walau belum tentu mengerti apa itu keurija. Dua hal itu, kurang lebih sama. Khanduri atau kenduri, sederhananya adalah makan bersama. Jadi apapun yang dimakan secara bersama-sama, itu bisa dinamakan dengan kenduri. Tapi khanduri akan lebih dalam dari sekedar makan-makan (pajoh seumajoh). Setiap khanduri pasti ada doa bersama.

Seorang teman, dengan menyentil, bertanya begini: kok di Aceh itu selalu diakhiri dengan makan-makan? Rupanya, ia menyaksikan seorang gampong yang habis berkelahi sampai berdarah, lalu menjalani proses perdamaian dan diakhiri dengan makan bersama disertai berdoa.

Asumsi saya, pada berdoa itulah titik penting dari khanduri sehingga seseorang yang sudah saling berdarah-darah tapi kemudian bisa menjadi saudara. Dalam konteks resolusi konflik, seseorang yang mungkin sudah berdarah hatinya tapi bisa saling memaafkan, merupakan kenyataan kekayaan imaniah yang luar biasa. Terus-terang, biasanya sangat berat untuk bisa seperti itu, tapi di gampong-gampong di Aceh, penyelesaian secara damai ternyata berlangsung mudah. Menurut saya didoa itu yang penting dalam setiap pelaksanaan khanduri. Lalu bagaimana hubungannya dengan keurija?

Dalam masyarakat Aceh dikenal ada yang namanya keurija udep dan keurija mate. Walau sama-sama disebut keurija, tapi perlakuan terhadap keduanya sangat berbeda. Termasuk dalam hal penyambutan tamu. Dalam keurija mate, tidak ada unsur kemeriahan, seperti sebuah keharusan dalam keurija udep. Keurija mate lebih sering mendekatkan kita kepada akhirat ketimbang dunia.

Biasanya, seberada apapun pelaksana keurija mate, semewah apapun akan pelaksanaan penyambutan tamu, tapi tetap tak tepat bila disebut meriah. Kemeriahan inilah yang akan menjadi penanda seseorang yang membuat keurija udep agar terbentuk semegah-megahnya.

Dalam salah satu proses keurija, akhirnya berhubungan sangat erat khanduri. Tak tertutup kemungkinan, secara dominan orang akan menganggap sama. Tapi menurut saya, keurija itu mesti berlangsungnya khanduri dan khanduri dapat saja berlangsung tanpa keurija.

Nah, khanduri menjadi penanda adanya rasa syukur dari sebuah keurija. Dalam konteks yang lain, khanduri dalam keurija mate, selalu berhubungan dengan keinginan tuan rumah (walau sedang berduka) untuk memuliakan tamu sehormat-hormatnya. Bukankah khanduri dapat saja berbentuk segelas air putih?

Masalahnya, selain untuk memuliakan, juga ada untuk gagah-gagahan. Ada juga orang yang memanfaatkan keurija mate sebagai sebuah kepentingan yang harus diperjuangkan. Itu persoalan lain. Tapi ini sangat berpengaruh kepada tingkat meriah atau tidaknya sebuah keurija mate.

Sebenarnya sangat tidak etis menyambut keurija mate dengan meriah, karena kata itu hanya cocok untuk keurija udep. Tapi tahukah Anda bahwa disekitar kita ternyata hampir tidak ada orang yang bisa membedakan mana keurija mate atau keurija udep. Kita sering melihat ada keurija udep dalam keurija mate. Orang-orang didalam rumah duka, menganggap orang yang berkunjung (tamu) sebagai raja yang harus dilayani. Sedangkan sipengunjung menganggap itu sebagai bentuk lain penghormatan yang punya hajat. Sehingga tidak jarang tamu tidak hanya makan isi hidangan dirumah duka, tapi piring-piring tempat hidangan pun dibawa pulang.

Penanda lain dari semaraknya keurija mate di gampong kita adalah banyak makanan dan banyak orang hebat yang datang. Masalahnya bukan pada orang hebat, tapi pada berbagai persoalan kemudian yang harus ditanggung oleh empunya rumah duka, dimana orang hebat yang datang harus difasilitasi oleh orang yang berduka. Sementara empunya rumah duka umumnya untuk menyediakan secangkir teh saja sedikit susah.

Orang-orang datang dengan berbagai rupa. Mereka ingin berkunjung ke rumah duka dengan tujuan untuk memberikan semangat kepada seluruh keluarga yang ditinggalkan. Awalnya, kunjungan itu sangat membantu. Tapi akhir-akhir ini, sebagian tamu tidak lagi datang untuk memberi semangat, tapi untuk mengambil semangat. Hanya sedikit tamu yang tinggal yang benar-benar memberi semangat kepada seluruh keluarga korban yang ditinggalkan.

Hakikat keurija mate sudah tidak ada lagi. Orang-orang yang datang ke keurija mate, sepertinya sudah menganggap bahwa itu bukan lagi sebagai keurija mate, tapi sudah merupakan keurija udep. Keurija udep, tentu sangat didominasi oleh hiburan-hiburan yang tidak sakral, walau itu tidak berarti selalu duniawi saja. Orang-orang yang sedang mengunjungi keurija udep, mungkin sangat jarang mengingat kematian yang datang kapan saja. Inilah yang sedang dibangun di gampong kita. Kita bisa menyaksikan sendiri, ada orang-orang yang bersenang-senang dalam keurija mate, sehingga pelaksanaan keurija mate, hampir tidak ada beda dengan keurija udep.

Sebagian gampong sudah terjebak dalam hedonisme kehidupan itu, sehingga terkesan si empu rumah keurija mate seolah menjadi pemberi kesenangan kepada para tamu yang melayat.

Dengan kondisi seperti ini masihkah gampong kita bisa disebut sebagai gampong yang beragama? Karena di dalam gampong, kita banyak menyaksikan hal-hal yang tidak pernah diperkirakan dulunya kini sudah berlangsung, dan ironisnya bagia sebagian orang ini menjadi hal yang lazim ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Kita hampir tidak bisa lagi membedakan mana yang keurija mate dan mana yang keurija udep. Bukankah dari keurija mate dan keurija udep itu, kita bisa melihat konteks khanduri secara utuh? [Sulaiman Tripa]

MEUGAPAIH

GAPAIH, adalah lemak yang di bawah kulit. Di gampong-gampong, orang-orang yang banyak gapaihnya dianggap sebagai orang yang sehat.
Pasal, kalau kita ditanyai orang kita, siapakah orang-orang yang meugapaih itu? Jawabannya pasti hanya “orang kaya”. Padahal belum tentu. Di gampong saya, seorang anak miskin juga terlihat meugapaih. Hanya saja beda antara dia dengan anak orang kaya, kalau dia selalu makan nasi berulangkali, sedang anak orang kaya selalu makanan siap saji atau makanan yang disediakan di pusat-pusat jajanan. Paling tidak, berbungkus indomie yang akan dimakan tiap hari.
Atas dasar itulah, bila ada orang yang berlainan perilaku dengan keadaan sesungguhnya, selalu disebut, “bak kareng pih ka meugapaih”. Orang Aceh sedang mengingatkan, ungkapan, di mana langit dijunjung, di sana bumi dipijak. Tak mungkin seseorang ingin melakukan yang lebih dari kemampuannya.
Ungkapan “bak kareng pih ka meugapaih” itu ternyata menjadi perbincangan di balee gampong. Memang terdengar usang, tapi saya rasa masih mengena. Disebut usang, karena ungkapan-ungkapan ini sepertinya hanya cocok untuk masa lalu. Namun setelah ditimbang-timbang, rasa-rasanya, ungkapan itu jauh lebih cocok untuk masa depan –masa yang mungkin akan kita nantikan dengan berbagai kejutan dan fenomena yang belum terlihat.
Kejutan dan fenomena ini bisa saja sudah mulai bisa dirunut lewat berbagai gejala. Tapi itu persoalan lain. Masalahnya, bagaimana masa lalu dengan sekarang dan masa yang akan datang menarik benang merahnya walau dalam wajah yang sudah kusut. Dan, itu memang akan sulit dilepas.
Ada empat ungkapan berbeda. Tapi saya yakin, ketiganya bermaksud sama dalam kehidupan keseharian masyarakat Aceh. Dari ketiga ungkapan itu, juga melahirkan tanda tanya besar bagi saya sendiri: mengapa orang Aceh mengeluarkan ungkapan-ungkapan selalu berterminologikan hewan atau binatang. Bahwa, ada perbedaan yang sangat tajam, saat seseorang menyebut kepada orang lain (bisa jadi keluarga, teman, atau kawom) dengan jenis-jenis binatang. Ungkapan “gata lagee leumo” akan berbeda dengan ungkapan “gata lagee peulandok” atau “gata lagee rimueng”. Saya yakin, kita masih beranggapan ketiga contoh tersebut (leumo, peulandok, rimueng), semuanya adalah jenis-jenis binatang.
Masalahnya, walau ketiga-tiganya jenis binatang, sepertinya tidak bisa kita menyamaratakan sebutan terhadap orang-orang. Seorang teman, yang kita samakan dengan peulandok, akan bersama konsekuensinya yang kita terima bila kita samakan dengan rimueng atau leumo –apalagi kalau kameng, uleue, guda, dan binatang-binatang yang haram disentuh. Padahal sama-sama binatang.
Seorang teman bisa saja akan tersenyum senang bila kita sebut “gata lagee peulandok”. Tapi senyuman itu bisa saja tidak hadir (atau bahkan berubah menjadi murka) saat kita menyebut, “gata lagee leumo” atau “rimueng” atau “kameng”, dan sebagainya. Padahal, sekali lagi, semua itu adalah binatang.
Mungkinkah ini sebagai bentuk pelembutan sebuah sebutan? Lihatlah keempat ungkapan di bawah ini.
Pertama, le jilho ngoen jirod. Ungkapan ini, saya kira hanya diperuntukkan bagi dua jenis binatang gembala: keubeue dan leumo. Binatang yang jipeu umpeun, ia tak akan memakan lagi rumput di padang. Katanya, “untuk apa saya makan kalau nanti pulang ke kandang juga akan tersedia makanan”.
Kedua, ka meuhai taloe ngoen keubeue. Bayangkan juga, “ka meuhai minyeuk ngoen moto”. Sudah pasti, orang yang ingin memiliki keubeue atau moto, tak ingin biaya untuk bisa naik ke atasnya jauh lebih besar dari harganya.
Ketiga, ka kreuh bhan keue ngoen bhan likoed. Saya sarankan, sesekali, kita yang memiliki sepeda atau sepeda motor, untuk lebih mengempeskan ban belakang ketimbang ban depan. Rasakanlah (mungkin) hal-hal yang belum kita nikmati selama ini. Selain itu, lihatlah dua orang yang berbeda: (a) orang yang bersepeda motor yang ban motor depannya bocor. Lalu, bandingkan dengan: (b) orang yang bersepeda motor yang ban motornya belakangnya bocor. Dari dua orang itu, lihat cara mengemudinya, cara duduknya, sampai pada kecepatannya.
Keempat, bak-bak kareng ka jiduek gapah. Ingatlah, “Ngui meunurot tuboh, pajoh meunurot atra”. Bayangkan, seseorang yang kerempeng memakai baju besar. Seorang bertubuh mungil memakan tiga tabak khanduri. Di samping ada keanehan, juga akan terlihat ketidaknormalan. Itu pasti.
Gapah itu dominan pada leumo seu’iet. Tapi sedikit pada kareng. Ini bukan berarti kareng tak diinginkan orang. Kareng yang teulado, banyak orang yang tidak bisa melupakannya. Adakalanya, orang-orang yang kepingin makan ikan kareng jauh lebih dahsyat ketimbang keinginan untuk memakan sepotong sie keubeue atau sie leumo.
Maka wajar kalau sesekali kareng pun harus merasakan dirinya meugapaih.[]

Sulaiman Tripa

Jumat, 08 Agustus 2008

PATUNG

PATUNG, tiga puluh tahun yang lalu, masih menjadi barang yang dibenci di Aceh. Masyarakat Aceh, di masa lalu, sangat membenci patung. Patung, akan dianggap sebagai usaha untuk menandingi kekuasaan Tuhan dalam menciptakan makhluk-Nya.
Segala sesuatu yang dibuat menyerupai makhluk Tuhan, akan dianggap sebagai patung. Maka dalam kehidupan orang Aceh, dulu, tak ditemui ada patung-patung. Orang-orang tua akan marah bila anaknya diminta belikan patung. Orang-orang gampong yang kebetulan pergi ke kota lalu membawa pulang patung untuk anaknya, akan dicibir sesampai di gampong.
Di beberapa gampong, fenomena seperti itu masih menjadi kenyataan. Namun di banyak kawasan di Aceh, hal seperti itu bukan lagi sebagai sesuatu yang patut digelisahkan.
Perubahan pola pikir, persepsi, pandangan, asosiasi, atau bahkan sampai kepada interpretasi, sudah terjadi dalam masyarakat Aceh: tak hanya di kota-kota, tai juga sampai di pelosok gampong-gampong.
Maka patung, sudah ditemui dalam kehidupan orang Aceh. Patung mudah didapat sebagai alat permainan anak-anak. Orang-orang gampong yang pergi ke kota sesekali, tidak lagi sungkan untuk membawa pulang oleh-oleh kepada anaknya dengan patung.
Aset penjualan patung pun semakin menjanjikan. Berbagai perusahaan berlomba-lomba untuk mendesain patung masa depan. Dulu patung dibuat dari plastik atau karet. Kini banyak patung yang dari logam atau bahan-bahan lainnya. Kalau dulu patung tak dipasang pakaian, kini banyak patung yang diselingi dengan kreasi pakaiannya sedemikian rupa.
Untuk mendapatkan patung, kalau dulu hanya ada di took-toko tertentu, tapi kini, segala jenis patung akan mudah didapat di mana saja –termasuk pada penjual-penjual yang di kaki lima.
Bentuknya juga sudah berubah. Dari berbentuk celengan dan mainan, kini hampir semua alat sudah dijadikan patung: mainan, aksesoris, bantal, teman tidur, pajangan, jam, pokoknya segala sesuatu sudah tersedia dalam bentuk patung –bahkan pemuas nafsu biologis sekalipun, sudah disediakan lewat bentuk-bantuk patung.
Tak ada wajah patung yang cantik pada masa lalu. Tapi kini, semua dibuat patung. Setelah Mike Tyson mengigit kuping Holyfild, maka perusahaan coklat di Amerika membuat makanan (coklat) dalam bentuk patung. Ketika Britney Spears tenar, maka patung-patung berwajah Britney bermunculan di mana-mana. Bahkan setelah Zinedine Zidane menanduk Materrazzi di Final Piala Dunia 2006 yang lalu di Jerman pun, oleh perusahaan pakaian sudah dibuat dalam bentuk patung. Lengkaplah sudah.
Kehadiran patung-patung seperti itu, tentu saja, sedikit banyak akan merubah pandangan terhadap patung. Apalagi di hampir semua toko di Aceh, mudah ditemukan bentuk patung yang sedemikian rupa. Di Aceh sudah ditemukan patung-patung sebagai mainan anak-anak yang bisa berbicara, berpakaian Islami, bahkan patung-patung berkelamin perempuan sudah dipasang jilbab sedemikian rupa.
Kalau dalam bentuk lain, sudah sering ditemui. Katakanlah seperti pelampung, makanan anak-anak, dan sebagainya.
Dalam dunia yang lebih luas, fenomena patung menjadi persaingan tersendiri dalam konteks ilmu pengetahuan. Patung yang ada mesinnya, dinamakan dengan robot, mungkin untuk beberapa waktu mendatang akan mengambil seluruh peran yang bisa dilakukan manusia. Maka patung-patung hiasan, untuk waktu-waktu yang akan datang, mungkin akan digantikan oleh patung-patung yang bisa menggantikan berbagai tugas manusia tersebut.
Masa kini, yang tidak bisa dilakukan manusia adalah menciptakan nyawa. Dalam konteks tertentu sekalipun, misalnya penemuan kloning, semua kaum yang cerdas –baik berfaham liberal atau bukan—sepakat untuk tidak menggunakannya terhadap manusia.
Lewat proses kloning, manusia sudah menciptakan pembelahan sel, bukan menghidupkan sel. Ini perkembangan mutakhir yang terjadi dalam dua puluh tahun terakhir.
Segala perkembangan di dunia, pada akhirnya akan mengubah pandangan orang terhadap patung –terlepas sebesar apa tingkat perubahan tersebut.
Dalam konteks Aceh, perubahan pandangan itu juga terjadi dalam masyarakat. Inilah menjadi salah satu perubahan. Ya, dalam masyarakat Aceh![]

(Sulaiman Tripa)

Kamis, 07 Agustus 2008

PENGEMIS

DALAM kamus klasik, orang memahami pengemis sebagai peminta-minta. Dalam kamus kasat mata, yang dipandang pengemis adalah yang ada di Simpang Lima, Simpang Jam, Simpang Jambo Tape, simpang-simpang yang lain, serta terminal.
Dalam kamus sehari-hari, orang memahami pengemis seperti terumus dalam kamus klasik. Secara umum, orang melihat pengemis menurut yang tertangkap dalam kamus kasat mata.
Barangkali, dalam dua kamus itu, ada kemungkinan mendapat dua bentuk pengemis: sebagai “korban” atau sebagai yang “dikorbankan”. Pengemis yang “korban” adalah pengemis yang memang berasal dari golongan papa dan mereka sama sekali tak punya akses kemana-mana. Akan tetapi yang namanya pengemis yang “dikorbankan”, mereka juga berasal dari golongan papa, namun ada yang mengatur –pagi ada yang jemput untuk diletakkan di tempat tertentu dan sorenya ketika dianggap sudah melaksanakan tugasnya akan dijemput untuk dibawa pulang kembali ke tempat yang sepertinya disediakan.
Pengemis yang “korban” merupakan orang-orang yang tidak beruntung –menurut kamus masa kini. Sementara pengemis yang “dikorbankan” merupakan orang-orang yang jauh lebih tidak beruntung.
Dalam kamus agama, jelas dan tegas, bukan sesuatu yang dilarang bila memang sebagai orang papa. Jangan lupa, di sebalik itu, agama memberi catatan bahwa “tangan di atas jauh lebih baik dari tangan di bawah”. Orang papa harus tahu diri tentang hal itu. Namun orang yang berlebihan juga harus tahu diri, karena agama memberi catatan, bahwa “dalam sebagian harta kita, sesungguhnya ada bagian untuk orang-orang yang papa.”
Yang terlihat adalah keseimbangan, keserasian, kealamiahan, kerasionalan, masuk akal. Bahwa dalam dunia ada orang yang kurang dan ada orang yang lebih, adalah sesuatu yang masuk akal. Orang yang kurang membutuhkan orang yang lebih. Begitu pula sebaliknya.
Orang-orang yang tidak rasional adalah orang-orang yang tidak mengerti kenyataan ini. Dalam kamus kesombongan, orang-orang yang congkak karena kelebihan dan merasa tidak butuh golongan yang berkekurangan, bisa dianggap sebagai orang yang kurang waras.
Bayangkan ketika dunia ini hanya tersedia orang-orang yang kaya, maka sungguh semua orang kaya harus melakukan sendiri semua tugasnya. Dan ini, akan menimbulkan kekacauan yang luar biasa karena ternyata kebiasaan orang-orang yang kaya, adalah orang-orang yang kurang terbiasa melaksanakan sendiri segala tugasnya.
Sungguh, seperti menghadapi kematian kalau saja dalam dunia ini hanya ada masyarakat miskin semata. Maka kamus agama telah menyelaraskan berbagai kenyataan ini: “Tangan di atas lebih bagus dari tangan di bawah.”
Orang-orang yang papa menyorongkan tangannya kepada orang-orang dan instansi –yang menyediakan anggaran untuk mereka. Mereka memang berada pada posisi lemah karena telah memberanikan diri untuk mengekspresikan bahwa tangan mereka memang harus berada di bawah.
Ironisnya, sekarang ini, orang-orang yang berani memposisikan tangan di bawah tidak hanya dari golongan papa. Orang-orang terhormat, orang-orang atas, orang-orang yang berkelebihan, juga sering menempatkan tangannya di bawah untuk meminta-minta kepada manusia dan instansi –yang menyediakan anggaran untuk orang-orang papa.
Dengan menggunakan kamus moderen, maka tangan di bawah seperti ini tidak lagi dengan menggunakan tangan, tapi menggunakan surat, dan sebagainya. Peminta jenis ini, akan menghiasi suratnya, keterangannya, konsepnya, sedemikian rupa. Mereka akan melengkapinya dengan berbagai angka-angka yang bisa membuat segala permintaan menjadi rasional.
Dalam kamus klasik, konsep pengemis membuat manusia yang terakhir disebut menjadi tidak masuk di dalamnya. Namun dalam kamus moderen, bukankah menjadi sama saja?
Namanya, ya pengemis! Bukankah begitu?[]

(Sulaiman Tripa)

Senin, 04 Agustus 2008

BULE

SALAH satu penanda seseorang itu bule atau bukan, adalah di rambutnya yang pirang. Sebutan bule, kalau di gampong saya, hanya khusus untuk orang-orang luar negeri yang berkulit putih. Selain yang berkulit putih, walau itu orang luar negeri, kalau di gampong saya, tidak akan disebut bule.
Konon lagi kalau warna kulitnya hitam. Itu malah disebut negro. Yang jelas, ada perbedaan ketika menyebut bule dengan negro. Ada kebanggaan ketika menyebut bule yang tidak sama bangganya ketika menyebut dengan negro.
Maka di sini, orang-orang yang disebut bule akan senang hati menerimanya, tapi giliran menyebut negro, dianggap sedang mencaci maki.
Membedakan bule dan negro, adalah perilaku yang diskriminatif. Tapi, terus terang, saya tak begitu paham dengan makna kedua kata itu: bule dan negro. Saya hanya menangkap perbedaan reaksi dar orang dalam masyarakat gampong ketika menggunakan dua kata itu.
Okelah, kita anggak saja bahwa bule itu berambut pirang. Maka kita tutup buku terhadap negro. Kita akan bicarakan tentang rambut pirang saja.
Adalah suatu keanehan bila orang-orang yang tidak berambut pirang, lalu akan mewarnai rambutnya. Orang-orang seperti itu adalah orang yang miring. Warna rambut adalah ciptaan Tuhan, yang sama seperti warna kulit, atau warna bibir.
Sebagai ciptaan Tuhan, maka tidak seharusnya diutak-atik. Orang yang berusaha mengutak-atik, merupakan corak orang yang tidak mau menerima kenyataan. Kalau di gampong, orang seperti ini dikatakan sebagai; som gasien pulumah kaya.
Orang-orang yang sudah sekalipun, lalu menyembunyikan rambutnya yang sudah beruban, juga sebagai orang yang miring. Uban adalah penanda sebuah fase dari umur manusia, maka dapat dibayangkan ketika orang melawan penanda-penanda itu.
Kembali ke soal rambut pirang. Akhir-akhir ini, walau pun akan dianggap sebagai orang-orang yang miring, tapi nyatanya orang-orang yang mencat rambutnya agar terlihat pirang, itu jumlahnya bertambah banyak. Baik laki-laki, maupun perempuan. Biasanya, kalau perempuan, yang memakai penutup kepala, akan memperlihatkan sedikit bagian rambutnya, agar terlihat warna yang pirang itu.
Itulah orang-orang yang berkeinginan menjadi bule. Selebihnya, seputar kebanggaan tadi. Bahwa setelah tsunami terjadi di Aceh, banyak orang yang datang ke tanah ini. Banyak orang yang datang; ada yang berambut pirang, berkulit putih, ada juga berkulit hitam.
Mereka datang dengan berbagai maksud, berbagai tujuan. Datang karena menjadi pekerja atau konsultan di berbagai nongovernment organization (NGO) atau lembaga, baik negeri atau swasta.
Ada pula yang datang secara khusus untuk mewakili negaranya sebagai tenaga yang akan membantu pembangunan Aceh. Ada juga yang melancong untuk melihat ekses tsunami yang terbesar sepanjang sejarah.
Yang menjadi perhatian, adalah mereka yang datang sebagai pekerja. Mereka selalu ke lapangan, mewawancarai orang-orang, kadang-kadang disertai membawa sesuatu, buah tangan.
Mereka selalu datang dengan ditemani para pekerja lokal. Kalau ada kunjungan NGO, sebagian orang gampong sangat menginginkan bule yang datang. Mereka akan sangat merasa bergairah, walau timbul persoalaan di komunikasi.
Akhir-akhir ini, orang gampong sudah berubah. Sebagian orang lokal yang kerja dengan orang bule, juga akan disebut bule. Tapi diberi catatan kaki. Kalau bule lokal, sama sekali tak berambut pirang.
Entah karena ada beberapa persoalan yang tak tuntas di kalangan mereka, orang gampong mulai memprotes. Tapi sebagian protes itu, oleh bule lokal, kerap diputarbalikkan sebagai sanjungan.
Mudah-mudahan in tidak terjadi di sekitar kita.[]

(Sulaiman Tripa)

Jumat, 01 Agustus 2008

RAPAT

BEBERAPA hari lalu, saya mendapat pengalaman menggelikan dari sebuah rapat. Rapat yang saya maksud adalah musyawarah, bukan makna kata, yang berarti krap. Sengaja saya perjelas, karena di sekeliling gampong saya ada fenomena asing yang terlihat selama ini. Ketika ada pasangan anak muda lewat di jalan raya, pasti ada celutuk: meu sipade hana cre!
Ada pemandangan lazim di jalan, di mana anak-anak muda yang berpasang-pasang naik kendaraan, itu akan memeluk erat pasangannya. Itu bukan hanya pasangan yang sudah menikah, yang belum menikah pun sangat banyak. Makanya orang-orang yang lihat, mengatakan, tak ada ruang sebiji padi pun antara tempat duduk lelaki dan perempuan.
Nah, ini bukan cerita tentang krap atau rapat, yang bisa jadi bermakna dekat. Tulisan ini ingin melihat sebuah musyawarah, sebuah rapat yang berlangsung di sebuah tempat. Waktu menandatangani absen, saya sempat melihat siapa saja yang mengikutinya. Ternyata, kebanyakan adalah orang-orang yang bergelar.
Dalam musyawarah itu, yang terjadi adalah saling berbicara. Jadi siapa saja tak ada yang larang untuk mengatakan sesuatu, terutama kepada orang-orang yang di sampingnya.
Tujuan musyawarah itu untuk membahas berbagai persoalan di antara mereka. Sebagai pembahasan, tentu ada yang memberi pendapat, ada yang mengoreksi, dan ada yang menerima saja tanpa memberi komentar apa-apa. Namun sebuah musyawarah, di mana pun, selalu menuntut untuk tidak ada rapat dalam rapat.
Yang terjadi di sana, walau diikuti oleh orang-orang bergelar, ternyata banyak rapat dalam rapat. Sehingga yang terjadi bukan pembahasan, tapi adanya banyak pembicaraan.
Bukankah ini menjadi lucu?
Rapat di bale bineh blang saja untuk membahas rencana khanduri blang, tidak pernah berlangsung seperti itu. Padahal peserta rapat adalah orang-orang gampong. Seharusnya, dalam rapat yang dihadiri oleh orang-orang bergelar, bisa berlangsung lebih cemerlang lagi.
Rupanya rapat yang bagus tak selalu dijamin oleh pesertanya yang bergelar. Dawa bisa terjadi di komunitas apa saja. Dalam dawa, menjadi tidak jelas siapa yang dipimpin dan siapa yang memimpin. Dalam suasana seperti itu, sangat rentan untuk terjadi saling sak-meusak tubee.
Sesekali, bagi Anda yang belum pernah melihat gilingan air tebu, lihatlah bagaimana tebu yang satu selalu berhimpit dengan tebu yang lain. Jangan pernah bermimpi akan mendapat satu jenis air tebu bila konsepnya seperti itu. Orang gampong pun akan arif, untuk memberi kesempatan untuk orang lain bila ingin menikmati air tebu kepunyaan diri.
Dalam rapat juga begitu. Ada pemberian ruang berupa kesempatan untuk orang lain, akan melahirkan kesempatan untuk diri sendiri.
Pimpinan rapat harus mengerti hal itu, kalau tidak, janganlah memimpin rapat. Dalam rapat yang saya ikuti, pimpinan rapat justru tidak mengerti suasana. Maka ada banyak rapat dalam rapat.
Suasana juga lambat laun menjadi berbeda. Kursi yang tersedia di dalam ruangan awalnya terisi penuh. Namun tak berapa lama, hilang satu persatu. Kursi jadi kosong. Hanya tinggal beberapa orang saja.
Bayangkan bila rapat orang-orang yang bergelar saja seperti itu![]

(Sulaiman Tripa)