Kamis, 04 Desember 2008

SOE SIAL?

DI jalan raya, menjadi kawasan paling pas untuk memberi gambaran tentang ada kerusakan sosial yang sedang terjadi di gampong kita. Melihat jalan, karena konteksnya sosial. Di jalan ada kepentingan umum dan itu bisa dipakai oleh siapa saja.

Makanya kalau melihat di jalan sudah menjadi lahan parkir, itu sebentuk kerusakan sosial, bahwa ada orang yang ingin menguasainya dengan tidak terbeban memarkir kendaraan seenaknya. Banyak jalan yang sebenarnya sangat luas untuk dilewati kendaraan, tapi tiba-tiba menjadi sangat sempit karena sudah ada tempat parkir hingga mencapai setengah jalan.

Dengan sangat mudah orang-orang menghentikan kendaraannya. Padahal di belakang kendaraannya, pemilik kendaraan lain juga butuh kenyamanan. Tapi siapa yang peduli?.

Sepanjang jalan sudah ada para penjual makanan di kanan-kirinya. Di atas trotoar yang sebenarnya diperuntukkan bagi pejalan kaki. Tapi di banyak tempat, sudah dijadikan orang-orang karena alasan mencari rezeki. Seperti tidak ada yang mempertanyakan, di mana logika kehidupan sosial di mana tempat umum adalah milik sesama.

Seperti ada yang sudah mulai bergeser konsep: sosial seolah berganti dengan pertanyaan, soe sial? Seperti sudah melupakan perlunya keteraturan dalam kehidupan demi kepentingan sesama manusia.

Banyak orang yang beralasan, rezeki bisa dicari di mana saja. Sehingga untuk kepentingan perut, seseorang rela mengkapling milik orang lainnya. Banyak tempat yang sudah bertabur ketidakpekaan sosial seperti itu. Seperti ada perlombaan untuk selalu menyatakan: biarkan saja soe sial dalam kehidupan kita.

Ini adalah masalah hidup yang cenderung ada pergeseran tentang kenyataan sosial. Di sini, di gampong kita, sudah susah membedakan jalan yang satu arah dan jalan dua arah. Karena seperti tidak ada lagi aturan, karena terlihat siapa saja bebas memakainya. Bila sewaktu-waktu mengalami kecelakaan, tidak jarang, yang seharusnya bersalah, tapi berani membentak yang seharusnya memakai jalan dengan benar.

Di jalan raya, waktu beberapa detik saja terlihat begitu berharga, sehingga banyak pengendara yang tidak memberi kesempatan pejalan kaki memotong jalan di depannya. Tidak jarang para pengendara yang tidak mau memperlambat kendaraannya, justru akan memaki para pejalan kaki yang sebenarnya juga punya hak memakai jalan raya.

Rasa marah mudah sekali dilepaskan di jalan raya. Bila ada yang tidak disukai, ada yang mau menatap dengan murka wajah-wajah orang lain di sekitarnya. Orang-orang yang lemah terjepit. Siapa yang peduli?.

Mungkinkah gejala yang disebutkan Francis Fukuyama (2002) tentang modal sosial yang retak, sedang menampakkan gejalanya di gampong kita? Rasa kekerabatan yang selalu diagungkan di tanah ini, seperti terbantahkan bila kita mengalami pengalaman pahit di jalan raya.

Kepentingan umum seperti tidak lagi mulia di hadapan semuanya. Sudah seharusnya ada yang mulai mengambil peran untuk memperbaiki ikatan sosial kita yang bermasalah itu. Paling tidak, memulainya dari kasus-kasus yang tampak dari pemakaian jalan raya.

Yakinlah, kalau tidak dimulai sekarang, gampong kita akan semakin jatuh ke jurang yang dalam. Percayalah! (Sulaiman Tripa)

Rabu, 03 Desember 2008

Pendapat

SEORANG teman, yang sudah pernah saya tulis pendapatnya, mengatakan: tidak ada masalah bila yang terjadi adalah berbeda pendapat. Sering yang menjadi masalah adalah bila terjadi perbedaan pendapatan. Teman itu santai. Sering mengisi diskusi menulis.

Beberapa waktu lalu, kami sempat diskusi lagi. Pertemuan itu, seperti kangen karena lama sudah tidak berjumpa secara langsung. Saat itu, ia mengatakan: kalau ada pendapatan, biasanya pendapat bisa disamakan. Bila sebaliknya akan sulit, ada pendapat, masalah pendapatan biasanya tidak bisa disamakan.

Kata sang teman dalam pertemuan terakhir, saya jadi teringat, banyak kenyataan money politic, dalam pemilihan kepala kampung hingga kepala lorong. Banyak pendapatan berpotensi menyamakan pendapat, walau tak selalu akan seperti itu.

Di beberapa daerah, sudah nampak pada kepala kampung yang di endus para pengendus kasus korupsi. Beberapa sudah ditangkap. Ini menggambarkan bahwa pemilihan langsung belum memberi jaminan semua tidak bermasalah. Belum menjamin seseorang itu benar-benar bersih.

Dengan pendapatan, ada peluang untuk mengondisikan berbagai hal. Di kota-kota, ada tradisi pembuat buku biografi sang tokoh, lalu didiskusikan dengan mewah untuk mengumpulkan sanjungan-sanjungan. Untuk membuat acara mewah dan sambutan bagus, tentu butuh pendapatan. Jarang tokoh sederhana di kampung-kampung yang dikenal luas oleh publik yang lebih luas.

Untuk memperkenalkan seorang tokoh agar terkenal butuh dana besar. Seorang tokoh yang dicalonkan untuk menjadi pemimpin, juga butuh alat kampanye yang mahal. Sesederhana apapun tetap membutuhkan uang. Seorang akademisi yang ingin masuk karyanya di jurnal juga butuh dana. Jurnal-jurnal juga mengutip ongkos publikasi dari penulisnya. Bayangkan jika seorang professor dengan pendapatan kecil, bagaimana bias menyampaikan pendapat-pendapat besarnya.

Apalagi akhir-akhir ini, pendapatan di jalur politik dan pekerja sosial tsunami bias sepuluh kali lipat lebih besar dari gaji profesor. Ironisnya, orang-orang yang pendapatannya tinggi itu tak pernah memperjuangkan pendapatan professor. Yang ada adalah menggugat karya professor.

Ada beberapa professor yang akhirnya memilih jalan sendiri, mencari pendapatan di kanan-kiri. Kenyataan ini juga dihantam oleh orang-orang yang pandai-cerdas bicara di media. Mereka berkata: profesor sudah meninggalkan kampus.

Seseorang berbicara, tentu karena pendapatan. Walau untuk menggugat minimnya pendapatan professor, tak banyak yang mau melakukannya.
(Sulaiman Tripa)

Selasa, 02 Desember 2008

PEUJROH

ADA pengadilan damai di gampong-gampong yang diketuai oleh Keusyik, dengan dibantu oleh Teungku Imuem Meunasah dan anggota Tuha peut. Namanya, Peujroh. Pengadilan ini untuk menyelesaikan sengketa antaranggota masyarakat yang terjadi di kampung-kampung.

Ada yang masih berlaku sampai sekarang. Beberapa waktu yang lalu, pimpinan di gampong saya menggunakan ini sebagai jalur penyelesaian suatu masalah yang dianggap besar di sana. Ada dua pemuda yang berkelahi dan melibatkan anggota keluarganya.

Perkelahian itu terjadi hingga meributkan seluruh jurong. Lalu menjadi pembicaraan di warung-warung. Keadaan ini, dipandang bisa memicu lahirnya keributan-keributan baru.

Biasanya, orang yang kalah dalam perkelahian akan mencari-cari selah untuk bisa membalasnya. Begitu mendapat kesempatan, perkelahian bisa saja timbul kembali.

Lalu pimpinan gampong berembug untuk menyelesaikan masalah ini. Kedua pihak dipanggil untuk mengungkapkan masalah masing-masing. Masing-masing pihak, yang paling dominan dilakukan adalah membela diri.

Pihak yang didengar pengakuannya itu dibagi dalam dua waktu. Tidak satukan, agar masing-masing bisa menceritakan secara tuntas dan tanpa beban. Kemudian dihadirkan saksi-saksi yang mengetahui peristiwa itu.

Setelah itu para pemimpin kampung akan duduk terpisah sambil memikirkan jalan penyelesaian yang terbaik. Berbagai analisa dikeluarkan untuk mengungkapkan kemungkinan dan alternatif penyelesaian. Sebelum memanggil semuanya, mereka sudah memiliki beberapa alternatif penyelesaian yang akan ditawarkan.

Lalu, semua pihak dihadapkan dalam satu waktu. Pimpinan kampung menceritakan intisari yang disampaikan oleh masing-masing pihak, termasuk para saksi. Setelah itu, dalam ruang itu, masing-masing pihak masih dibenarkan untuk menyanggah atau menambah keterangan masing-masing. Setelah itu bubar.

Pada masa tenang, masing-masing pihak yang bersengketa dipanggil kembali di waktu yang terpisah. Pada saat itu, mereka ditawarkan beberapa alternatif penyelesaian yang dianggap akan sama-sama menguntungkan.

Bila di antara alternatif yang ditawarkan itu diterima, maka kedua pihak dipanggil kembali untuk disampaikan keputusan. Jadi, keputusan itu sangat mencerminkan kemauan kedua pihak, yang akan mencapai suasana saling menguntungkan.

Hal yang sangat diperhatikan dalam prose situ adalah menjaga perasaan malu mereka yang bersengketa. Bila tidak diperhitungkan perasaan malu ini, sangat berpotensi timbulnya sikap, semisal daripada singet got meutunggeng.

Inilah yang tidak diinginkan dalam kehidupan kampung, karena bila ini terjadi, permasalahan akan semakin besar dan sulit diselesaikan.

Atas dasar penyelesaian ini pula, hukuman masing-masing pihak diambil hanya yang benar-benar bisa menjadi obat. Termasuk dalam sengketa berdarah sekalipun, keputusan untuk penghukuman selalu memikiran segala hal ini secara matang.

Makanya di banyak sengketa, dengan proses seperti ini, para pihak sering merasa memiliki saudara baru, ketimbang berfikir sebagai mantan lawan dalam sengketa.

Setelah proses peujroh selesai, secara tidak langsung, para pihak yang membuat sengketa akan menjadi juru kampanye baru kepada orang lain agar tidak membuat sengketa dalam hidup.

Karena manusia, pada dasarnya adalah saling bersaudara. [Sulaiman Tripa]